Hari kelima belas.
Riki sibuk memerangi batinnya sendiri sambil beberapa kali mencuri lihat ke arah Anggit yang tengah mengecek kamera di tangan--mungkin sedang menilai foto-foto yang diambil tadi. Hampiri atau tidak? Riki belum bisa memutuskan mana yang akan dia pilih. Tapi masa nggak gue hampirin sih? pikirnya.
"Ki," panggil seseorang, yang tak lain adalah Arman. Cowok itu melihat ke arah pandangan Riki sebelumnya lalu bertanya, "Kenapa lo?"
"Gue? Nggak kenapa-napa."
"Hm? Daritadi ngeliatin Anggit mulu."
Riki menelan ludah karena telah tertangkap basah. "Perasaan lo aja kali." Dan dengan bodohnya, dia tetap mengelak.
"Serah lo, dah. Btw gue mau duluan nih. Udah nggak ada apa-apa lagi kan?" tanya Arman. Kemudian suaranya mengeras ketika mengganti sasaran pertanyaannya pada Anggit yang berada beberapa meter di depan mereka. "Nggit! Udah beres semua, kan?"
Riki ikut mengalihkan atensi pada Anggit. Pandangan mereka sempat bersirobok sebelum Anggit mengangguk kecil dan mengacungkan tangannya membentuk tanda 'ok'. Detik berikutnya, Arman menepuk bahu Riki dan menyempatkan berkata pelan, "Ajakin pulang bareng sih, si Anggit," sebelum meninggalkan Riki dan mengirim salam perpisahan terakhir untuk Anggit di antara langkahnya yang panjang-panjang.
Di lapangan basket, tersisa segelintir anak. Riki memperhatikan teman-temannya satu per satu terlebih dahulu selagi berpikir. Kemudian, napasnya terhela. Badannya pun digiring menuju bangku di mana Anggit sedang duduk manis. Cewek itu baru menyadari kehadirannya tatkala Riki duduk di sebelahnya.
"Lo belum pulang, Ki?" Anggit memulai percakapan tanpa melepas perhatiannya dari layar kamera.
"Belum. Lo ... dijemput?" tanya Riki pelan, kelewat pelan hingga Anggit mungkin samar mendengarnya.
"Yap."
"Udah dateng?"
"Jemputan gue?" Riki mengangguk (meski Anggit tidak melihatnya). "Belum sih. Belum ada telepon. Kenapa memangnya?"
Riki sehening mungkin mengirup napas dalam-dalam. "Itu ... gue ..."
"Eh, Ki!" Anggit tiba-tiba menepuk pelan lengannya, membuat Riki tersentak dan tergagap. Cewek itu mencondongkan tubuhnya ke arah Riki demi menunjukkan hal yang membuatnya berseru tanpa peringatan. Retina Riki pun menangkap sebuah foto yang terpampang di layar kamera. "Lo kelihatan keren, nih," ucap Anggit masih bersemangat. "Ini juga, ini juga, di sini juga. Hm, kenapa kebanyakan foto lo semua, ya?"
"Nggit..."
"Ya?"
"Lo mau pulang bareng gue?"
"Boleh."
Tanpa sadar, keduanya menahan napas. Yang satu terkejut oleh jawaban cepat yang diberikan, sementara yang lain baru berhasil mencerna pertanyaan yang sempat dilontarkan padanya. Secepat kilat mereka langsung berpandangan.
"Lo ngajak gue pulang bareng?" ulang Anggit dengan nada sangsi.
"I...ya?"
"Dalam rangka apa, nih?"
Riki memutar otak cepat. "Karena ... pengin aja."
"Serius?"
"Eh, tapi lo udah ada jemputan ya. Kalau lo--"
"It's okay. Gue terima tawaran lo. Tunggu sebentar."
Anggit merogoh ranselnya selama beberapa saat, mengeluarkan ponsel dari dalam, dan menempelkan benda pipih itu ke telinga setelah menekan layarnya beberapa kali.
i l i w y s
Anggit tahu dia telah mengambil keputusan yang gila. Supergila, iya. Tapi, bagaimana ya, Anggit juga tidak menemukan alasan untuk menolak ajakan Riki. Ya, memang ada supir yang biasa menjemputnya, namun hal itu belum bisa menutupi pertanyaan 'kenapa enggak?' untuk menerima tawaran Riki tanpa pikir dua kali. Mungkin, lebih tepatnya, Anggit merasa penasaran.
Namun, baru beberapa menit mengenyakkan diri pada jok penumpang, Anggit diserang kantuk yang kurang ajar. Dia sempat menahan kantuk beberapa kali karena merasa tak enak pada sosok yang tengah menyetir di sebelahnya. Matanya sampai berair. Anggit sempat melebarkan matanya selebar mungkin dan berusaha menghibur diri dengan pemandangan di luar jendela, tapi usaha itu tidak berhasil. Matanya kukuh ingin terpejam.
Ketika mobil berhenti di lampu merah, dering ponsel mengagetkan Anggit yang setengah terpejam.
"Halo, Bun?" Suara Riki. "Masih perjalanan. Hah? Memang dia dimana?... Kok sampai sore?... Hmm, oke, deh."
Tanpa perlu melihat ekspresi Riki sekarang, Anggit tahu cowok itu sedikit kesal di akhir sambungan. Kentara lewat nada suaranya.
"Kenapa, Ki?"
Riki menggaruk pelipis. Sibuk memilah kata. "Gue harus jemput adik gue."
Rasa kantuk Anggit berkurang lima persen. "Wah, iya? Yaudah, apa masalahnya?"
"Adik gue udah nunggu di kafe setelah lampu merah depan. Lo ... nggak papa?"
Anggit ber-oh ria. "Nggak papa, dong. Gue juga penasaran sama adik lo."
Riki tersenyum masam.
Ketika hampir mencapai menit kesepuluh semenjak meninggalkan lampu merah terakhir, Riki mengambil belokan ke kiri dan memelankan laju mobil hingga akhirnya berhenti di depan sebuah kafe minimalis beraksen krem. Riki membunyikan klakson. Seorang cewek pun berjalan ke arah mobil mereka.
Setelah melihat ada seseorang yang menempati jok penumpang di sebelah supir, cewek itu menghentikan langkah sejemang. Dahinya berkerut selagi langkahnya lanjut terajut. Lalu, senyuman penuh arti pun menghinggapi bibirnya.
"Hai, Kak Riki-ku! Eh, ini pasti Kak Anggitania, ya?" Niki langsung heboh memenuhi seisi mobil, mengalahi musik yang mengalun dari radio. Kepalanya condong; kini berada di tengah-tengah Riki dan Anggit.
Riki mendengus halus, sementara Anggit balas menyapa meski sambil terheran-heran akan fakta bahwa adiknya Riki tahu namanya bahkan ketika mereka tidak pernah bertemu sebelumnya.
"Aku tahu nama Kakak dari line-nya Kak Riki," cengir Niki.
Lewat itu, Anggit lantas teringat kejadian tempo hari.
"Eh, btw kalian udah jadian, nih?" celetuk Niki dengan santai.
"Nik!" seru Riki tertahan.
Anggit melempar tatapan bertanya-tanya pada Riki.
"Jadian gimana, Niki?" tanya Anggit akhirnya ke subjek di jok belakang.
"Eh, belum ya?" Niki menutupi mulutnya. Riki memejamkan mata. Kalau cowok itu sedang tidak menyetir sekarang, sudah dia jadikan daging cincang adiknya itu. "Sori, Kak. Habis aku semangat banget sih, ehehe."
Anggit perlahan diselimuti kecanggungan. Dia tidak tahu harus melontarkan apa karena dirinya pun gagal mengolah kata.
"Nggak usah dengerin dia, Nggit." Riki buru-buru menambahkan.
Niki terkekeh di belakang.
Anggit mesem saja, masih syok dengan sosok Niki dan juga ... tentu saja, Riki.
➆
KAMU SEDANG MEMBACA
i like it when you sleep
Short StoryMulanya Anggit tidak masalah dengan sistem pengacakan tempat duduk tiap beberapa waktu sekali. Namun, pendapatnya lantas berubah ketika ia mendapat teman sebangku yang tidak seru sama sekali. Namanya Riki dan Anggit harap satu bulan bakal cepat berl...