Cuaca pagi kali ini membuat Langit harus memakai jaket birunya. Dengan tas ransel berwarna hitam, ia berjalan masuk ke dalam kelas 12 IPA 8.
Pagi-pagi yang sejuk seperti ini, dikejutkan dengan pemandangan Nadine yang terus berkutat dengan buku-buku soal Fisika-nya. Hal itu sontak membuat Langit mengernyit heran. Ia tak habis pikir, bisa-bisanya Nadine tidak bosan melahap soal-soal latihannya itu.
Sebenarnya, Langit itu cowok yang cerdas. Hanya saja, sikap malasnya itulah yang menjadi biang dari ulahnya di SMA ini. Bagi Langit, pintar sama cerdas itu beda jauh. Pintar itu karena rajin. Cerdas itu emang karena udah bakat atau dari IQ-nya.
IQ-nya yang tinggi itu mungkin turunan dari ayahnya, seorang insinyur yang banyak mengembangkan proyek sipil di berbagai tempat. Tidak hanya merancang berbagai jenis pesawat, ayahnya turut serta dalam pembangunan jembatan atau proyek negara lainnya.
Makanya, tak heran, Fisika dan Matematika selalu ada dalam kehidupan ayah Langit, yang mana selalu diajarkan pada putranya itu.
Kembali ke awal, Langit merasa suntuk melihat teman sebangkunya itu terus berkutat dengan bukunya. Alhasil, ia datang menghampiri sambil menaruh tas ransel yang digendongnya itu.
"Gue pikir, lo udah ngerjain banyak soal. Ternyata, satu soal aja gak bisa lo kerjain," ujar Langit enteng.
Nadine mendelik ke arah teman sebangkunya itu. "Berisik. Pagi-pagi lo udah nyari keributan aja."
Namun perkataan Nadine nampaknya tidak dihirau oleh Langit. Ia justru duduk di sebelah gadis itu dan mengambil pensil Nadine tanpa izin.
"Hey!" keluh Nadine yang kesal karena Langit tiba-tiba merebut pensilnya.
"Pantes aja soal lo gak selesai-selesai. Dari persamaan gayanya aja udah salah," kata Langit yang menaruh pandangannya pada soal Fisika Nadine. "Ini, kan, udah diketahuin kalau gayanya 30 Newton. Terus konstanta geseknya 1/5. Ya, lo bisa cari, kan, gaya geseknya berapa? Abis itu lo bisa masukin ke persamaan F-fk=m.a. Nah, ntar lo bisa nemu percepatannya berapa. Gitu aja kok dibawa ribet, sih, Nad."
"Lo bisa Fisika, Lang?" Nadine menaikkan kedua alisnya bingung. Ia tidak menyangka Langit bisa mengerjakan soalnya, dan lagi, dengan mudah.
Langit tersenyum miring sambil memalingkan wajahnya. "Ya, bisalah. Emangnya lo pikir gue bodo banget apa? Cuma cowok yang gak ada kerjaan dan ngerjain orang?" jawabnya, dengan gayanya yang arogan. "Makanya, jadi cewek jangan suka ngeremehin orang. Udah, ya, gue mau keluar dulu. Bosen gue, terus-terusan di sini," timpal Langit sembari mengacak-ngacak rambut Nadine yang terurai panjang sepunggung.
Duh, tuh cowok gak pernah apa gak nyebelin sehari aja? keluh Nadine dalam hati.
Masih mengenakan jaket biru dongkernya, Langit melangkahkan kakinya di sepanjang koridor sekolah. Kedua matanya menyapu sekeliling, berusaha menemukan sesosok pemuda yang dicarinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Longshot
Teen Fiction[ HIATUS ] Semua orang pasti mengakui dirinya sebagai pemimpi. Nadine salah satunya. Semenjak nilainya yang semakin jatuh, hal itu membuat jalan Nadine semakin sulit untuk masuk ke ITB. Nadine yang berubah menjadi ambisius, lagi-lagi harus...