Pintu yang sempat tertutup, kala itu terbuka lebar di saat Langit meninggalkan kamar--hendak turun ke bawah.
Daun pintu yang sudah dipoles cat kayu itu hanya bisa Nadine pandang sembari duduk dengan penuh penyesalan di dalam kamar. Memangnya salah kalau kata itu terucap dari mulutnya?
Mungkin ya bagi Langit. Atau itu yang Nadine pikir.
Tak ingin berlarut dengan penyesalan, Nadine menyapu pandangan ke sekeliling secara asal. Sedetik, perhatiannya tertuju pada sebuah bingkai yang menyuguhi beberapa sertifikat kejuaraan taekwondo dan olimpiade sains.
Berharap Langit tidak ada di sekitarnya, Nadine melihat ke arah pintu yang tidak ada siapapun di luar kamar. Buru-buru ia melangkahkan kaki ke arah meja yang menopang berbagai macam penghargaan dan foto di atasnya.
Sebuah bingkai foto yang menampilkan figur anak laki-laki bersabuk biru, tengah menggigit medali emas serta memegang sertifikat kejuaraan Taekwondo tingkat kota. Tak hanya itu, ada foto seorang pria yang tengah mengenakan helm proyek dengan latar sebuah konstruksi stadion yang masih dalam pembangunan. Hingga dari sini, Nadine bisa melihat ada sebuah foto terpajang, memperlihatkan seorang wanita yang merangkul anak laki-laki yang masih balita.
Jadi, ini dia penjelasan singkat keluarga Langit?
Sepertinya, Langit lahir di antara keluarga ceria yang berambisi tinggi dan berkarir dengan baik di bidangnya masing-masing. Lantas, mengapa Langit tidak pernah menunjukkannya pada teman-teman di sekolah? Seharusnya, Langit bersyukur dan bangga memiliki keluarga yang selalu mendukungnya. Tidak seperti Nadine, apapun yang ia pilih seringkali dianggap salah oleh kedua orangtuanya di rumah.
"Udah puas ngelihatnya?"
Sebuah suara berhasil membuat Nadine tersentak dan menoleh ke arah pintu. Berdirilah Langit di sana, membawa sebuah nampan dengan kedua gelas berisi es jeruk di atasnya.
"Kenapa lo gak pernah nunjukin ke temen-temen, sih, kalau lo pernah tanding Taekwondo?" tanya Nadine, penasaran. "Dan lo dapet emas lagi, Lang."
"Emangnya biar apa? Biar jadi tukang pamer, gitu?" balas Langit, terdengar sewot.
Mendengar itu, Nadine hanya bisa termangu sebelum ia berusaha menjelaskan kalimatnya. "Eng ... bukan gitu. Maksud gue, kenapa lo gak kembangin lagi bakat bela diri lo di sekolah? Kan lo pasti jadi anak populer di Pancasila kalau ternyata lo jago Taekwondo, Lang."
Ada jeda sejenak diantara pembicaraan saat itu. "Lo pernah gak, sih, jadi anak yang bersyukur?" lanjut Nadine, mengepal kedua tangannya erat. Mengatakan penjelasannya kali ini, malah membuat gadis itu jadi emosional. "Dengan semua penghargaan dan dukungan orangtua lo, harusnya lo makin bangga."
KAMU SEDANG MEMBACA
Longshot
Teen Fiction[ HIATUS ] Semua orang pasti mengakui dirinya sebagai pemimpi. Nadine salah satunya. Semenjak nilainya yang semakin jatuh, hal itu membuat jalan Nadine semakin sulit untuk masuk ke ITB. Nadine yang berubah menjadi ambisius, lagi-lagi harus...