Di Sekolah Dasar pelajaran IPA hanya sekedar IPA. Tetapi di SMP, kami belajar fisika dan biologi yang merupakan cabang dari pelajaran IPA sendiri. Saya merupakan murid yang sangat payah dalam pelajaran eksak seperti matematika. Semua pelajaran tentang berhitung, saya payah dalam hal tersebut. Termasuk, fisika. Atau awal dari suatu bencana.
Pak Tama, guru fisika kami. Seorang laki-laki mungkin 50tahunan. Badannya tinggi, berkacamata, rambutnya rata-rata abu-abu. Setiap berjalan pasti membawa kertas dan map di tangannya yang terkadang ia himpitkan dibawah ketiaknya. Tiap mengajar selalu menggunakan laptop. Kami hanya disuguhkan powerpoint dan ia menjelaskan semua materi fisika yang rumit dan banyak. Saya, seperti rata-rata murid pada umumnya mencatat semua yang ia ucapkan dan apa yang ada di depan proyektor.
"Len, lo kan nyatet. Sebenernya lo ngerti gak sih materinya?" Tanyaku ke Ilen.
"Enggak, Li. Lo juga gak ngerti kan? Udah catet aja.." Kata Ilen cuek.
......
Pak Tama tetap menjelaskan materi di depan kelas. Materinya banyak, rumit, dan bertele-tele. Saya melihat ke sekeliling saya banyak murid yang mencatat, dan ada beberapa yang tertidur karena mengantuk didongengi Pak Tama. Pak Tama sepertinya menyadari beberapa murid tertidur ketika ia menerangkan materi tetapi dia tidak memperdulikannya.
Menit-menit berlalu jam kedua telah selesai, namun kami masih harus menempuh satu jam lagi menghabiskan waktu dengan Pak Tama. Anak-anak pencatat yang semula fokus lambat laun teralih karena bosan. Tulisan yang dimulai dengan rapi lambat laun menjadi tidak beraturan. Barisan pojok telah menambahkan armada tidur cantiknya. Begitupun barisan paling belakang, suara tawa yang tadinya pelan, perlahan-lahan berubah menjadi suara gerombolan yang memecahkan suasana kelas.
Suara tersebut menggegerkan armada tidur cantik di barisan pojok, begitu pula anak-anak pencatat yang telah teralih konsentrasinya. Pak Tama kali ini tidak diam. Dia bangun dari tempat duduknya, dan tanpa banyak bicara dengan suara yang lantang namun tetap tenang, beliau berkata
"Kamu yang paling belakang! Maju!" Kata Pak Tama.
"Saya, Pak?" Tanya anak laki-laki dengan baju tak beraturan.
"Bukan kamu, sebelahnya!" Kata Pak Tama.
"Saya, Pak?"
Lalu berdirilah anak laki-laki itu. Badannya besar, tinggi, dia berjalan menuju Pak Tama tanpa rasa malu maupun rasa bersalah. Anak laki-laki itu tahu apa yang tadi ia lakukan. Tetapi, ia tidak menyadarinya. Tidak menyadari kesalahannya. Dia berjalan tanpa rasa tegang. Sangat santai. Hingga akhirnya ia berada tepat disamping Pak Tama.
"Kamu tahu tadi apa yang kamu lakukan?" Tanya Pak Tama.
Membuat gaduh kelas, tidak memperhatikan pelajaran, tidak menghargai guru, mengganggu teman yang (tidak) konsentrasi, dan tidak merasa bersalah akan itu semua.
Yang ia lakukan hanya,
Diam.
Walau dalam diam, tak terlihat sama sekali raut bersalah di wajahnya. Seakan menantang Pak Tama, namun raut menantang pun tak ada di wajahnya. Ia tampak kosong tapi serius. Tidak ada yang tahu apa yang ada di pikirannya.
Misterius.
Seperti ada sesuatu yang terpendam didalam dirinya.
"Nama kamu siapa?" Tanya Pak Tama, sambil mengambil absen.
"Arief pak." Langsung dijawabnya.
Pak Tama tidak marah, Arief pun tidak menantang. Dia sopan.
"Sekarang, kamu keluar dari kelas saya. Kamu duduk didepan kelas. Terserah mau apa saja." Kata Pak Tama tenang, namun tegas.
Arief langsung berjalan keluar ketika Pak Tama kembali duduk dikursinya. Saya lihat dia duduk dikursi samping pintu bagian luar. Sendiri. Dengan handphonenya. Entah apa yang ia lakukan tapi selama satu jam dia duduk disana. I peeked a little. Dia diam. He was so calm. Melihat kebawah. Entah apa yang ia lihat. Lalu, angin pun bertiup dan menutup pintu. Bruuk. Bayangannya terhalang pintu kelas.
Saat Kelas Fisika berakhir, kami kembali ke ruang kelas semula.
BREAKTIME!!
Ilen, temanku memang akrab dengan Arief. Jadi, kami pun berbicara mengenai insiden fisika tadi.
"Rief, gila lo tadi. Nekat banget. Btw, tadi lu ngapain aja pas keluar kelas?" Tanya Ilen.
"Ya, main hp aja, liat foto Adrian. HAHAHAHAHAHA" Katanya, tidak ada rasa bersalah ataupun malu sama sekali.
Adrian adalah teman sekelas kami yang setiap hari dijadikan bahan guyonan oleh Arief dan teman-temannya. Teman-temannya ya termasuk saya. Hehehehe. Sekedar informasi, Adrian itu badannya gemuk, pendek, botak, dan hitam. Matanya kecil dan pipinya lebar. Sangking lebarnya, pipinya seakan-akan menekan hidungnya walhasil hidungnya sangat mini. Perawakannya mirip beruang grizzly gemuk. Jika beruang grizzly terkadang menyeramkan, Adrian tidak pernah terlihat menyeramkan.
"Nih Len, Li. Mau liat fotonya Adrian gak? HAHAHAHA" Pertanyaan Ilen pun teralih dengan topik Adrian.
"Tadi tuh, Gua keluar gara-gara si Adrian." Kata Arief.
"Hahaha. Kok bisa rief?" Saya menimpal.
"Abis, gendut. HAHAHAHAHHAHAHAH"
Percakapan itupun akhirnya dilanjutkan dengan saling bertukar foto candid Adrian yang lucu. Jujur, moodbooster saya tahun itu, Adrian. Dia pribadi yang sangat unik. Arief is a bully. Tetapi, Adrian tidak pernah berkecil hati, atau merasa tertindas akan hal itu. Seperti, Adrian tidak menyadari bahwa dirinya dibully. Memang hanya sebatas perkataan tetapi tetap saja kadang-kadang menyakitkan hati. Adrian merupakan tipikal orang yang sangat percaya diri, lucu, sabar, dan songong HAHAHAAHAHA. Karena terdengar banyak tawa di sekitar kami, murid-murid yang lain pun mulai bergabung bersama kami dan kami semua bertukar lelucon tentang Adrian.
"Ah gitu lu Rief. Pantesan tuh lu kena sama Pak Tama. Abis ngebully Gua mulu sih.." Kata Adrian dengan nada yang sangat lucu dan bikin tertawa.
"Makanya jangan gendut..." Kata Arief. Gak sadar diri.
HAHAHAHAHA
Setiap murid di kelas pun dibuatnya tertawa.
-----------------------------------------------------------------------------------------
Saya salut sama Arief. Dia punya masalah hari ini, tapi dia tidak terlihat sedih sama sekali. Bagi saya, dipaksa keluar kelas itu bukan hal yang kecil. Apalagi, waktu pertama kali guru lihat dan ketemu kita. He has ruined his own "first-impression" to Pak Tama. Saya yakin ada rasa sedikit sedih dihatinya, but he cured it himself. Or he just simply don't care.
But after all,
He's an icebreaker.
Dia timbulkan masalah dalam dirinya sendiri.
Lalu dia sembuhkan dirinya sendiri.
Dia pulihkan dirinya seakan tidak pernah terluka sebelumnya.
Semua sendiri,
Tidak ada yang tahu bagaimana caranya,
Tidak ada yang membantunya,
Saat dia duduk diluar kelas tadi, saya sempat menginting sedikit. Arief duduk disana sendiri menunduk dan berdiam. Tertampak wajah serius disana. Seakan dia menyimpan sesuatu didalamnya atau dia hanya meratapi diri dengan berteman dengan diam. I was wondering about him, hingga akhirnya angin meniup pintu dan menghilangkan bayangan Arief dari saya.
Saat itu, menurut saya itulah saat-saat ia menolong dirinya sendiri menyembuhkan dan memulihkan hal-hal yang baru saja terjadi. Maafkan apabila saya tidak bisa membawa readers akan suasana di kelas Pak Tama saat ia menyuruh Arief untuk keluar dari kelas. Suaranya tenang, tetapi sangat cukup untuk menegangkan satu ruangan. Kalau Adrian yang berada di posisi Arief, mungkin dia akan menumpahkan air matanya sedikit dan tidak mengeluarkan sepatah katapun saat istirahat. Namun, tidak dengan Arief.
Bagaimana cara dia melakukan itu semua?
Apakah semua lelucon ini kamuflase dari masalah yang terjadi?
Atau dia hanya anak laki-laki yang tak berperasaan dan tidak mempedulikan apa yang terjadi disekitarnya?
How mysterious.
YOU ARE READING
Halfway
Teen FictionKisah ini merupakan kisah pribadi yang seseorang alami. Tentang manisnya cinta pertama, dan perihnya patah hati. Tentang kehidupan di Sekolah Menengah Pertama. Tentang pertemanan, tentang anak laki-laki, dan tentang lelucon. Halfway diambil dar...