Semakin hari, semakin minggu, semakin dekat jua Arief dengan Donita. Posisi saya, juga dekat dengan mereka. Saya dibuat cemburu setiap saatnya. Tetapi mereka tak tahu, atau mungkin tahu?, Ah. Tidak mungkin. Saya pandai dalam menyembunyikan perasaan. Tidak mungkin Arief sadar dan tahu akan hal itu saat itu.
Pertemanan saya dan Donita jadi makin merenggang. Namun tampaknya memang tak banyak yang bergaul dengan Donita. Belum setahun bersekolah, sudah tersebar kabar bahwa ia merupakan anak perempuan yang centil. Tidak hanya ke penduduk kelas, tetapi juga anak-anak kelas lainnya, hingga kakak kelas. Semakin saya mual melihatnya, tapi selalu saya tutupi tiap saatnya.
"Li!, Nanti pulang bareng ya?" Kata Donita dua jam terakhir sebelum pulang sekolah.
"Eng.. Enggak dulu Don. Aku kayaknya mau main dulu nanti sama Mayam." Kataku menolak.
Memang saya tak mau lagi berhubungan dengannya. Tetapi kami masih sekelas, arah rumah kamipun searah. Seakan kami ditakdirkan bersama, tapi saya menolak.
"Oh yaudah Li..., kalo mau pulang bareng ajak-ajak aku ya?" Ajaknya.
Ih.
Ogah.
Tetapi, tetap saja dijawab "Iya Don.. SIYAP." dengan senyuman yang seolah tulus diluar, namun tidak didalam.
Hatiku tak karuan ketika melihat Donita. Entah apa yang ia lakukan, rasanya menjijikan. Apalagi, jika ia berinteraksi dengan Arief-ku. Rasanya ingin ku labrak, lalu ku usir dari sekolah. Aku penasaran akan apa yang Arief pikirkan tentangnya, apa dia suka?, seperti kelihatannya. Bila iya, mati aku. Bila tidak, bahagia aku.
Rasa penasaran yang terpendam di pikiran saya ini rasanya seperti sesuatu yang ingin membludak keluar. Tapi bingung, bagaimana cara membludakkannya. Kalau ditanya langsung, nanti pasti dia akan curiga dan berpikir bahwa saya menyukainya. Bagus sih, tetapi belum saatnya dia tahu. Saya belum siap untuk lihat reaksi dia. Jadi apa boleh buat? Yang pasti, akan saya tanyakan. Namun, tinggal menunggu waktu saja.
"Sibuk amat Rief. Lagi ngapain sih? Handphone melulu..." Kataku membuka.
"Ah ini, Donita... Ada-ada aja HAHAHA" Katanya dengan tawa.
"Kok HAHAHA?" Penasaran.
"Iya, ini di bbm.." Kata Arief yang fokus dengan handphone-nya.
Saya cemburu. Dia acuh. Sakit hati rasanya. Dan saya, waktu itu sadar bahwa itulah saat yang tepat untuk saya menanyakan pertanyaan yang selama ini menghantui saya.
"MMMM.. Donita ya?, Donita terus..." Saya pancing dia.
Tak ada reaksi, hanya dia fokus dengan handphone di tangannya.
"Rief, lo suka yaa sama Donita?"
Rasanya seperti pertanyaan bunuh diri.
Bagaimana bila dia bilang iya?, Apa yang harus dilakukan?, Bagaimana bila saya tak bisa sembunyikan emosi saya yang nantinya akan timbul karena refleksitas?, Bagaimana bila dia jadi ilfil, walau jika dari awal memang ia sudah tak ada rasa.
Bagaimana?
Bagaimana?
Saya hanya diam menunggu jawabannya, berharap.. bukan seperti yang saya pikirkan.
"Ah Donita.." Katanya sambil menaruh handphone-nya.
Saya masih deg-degan.
Berusaha menahan diri akan apapun yang nanti jadi jawabannya. Kedua mata saya menatapnya dengan serius.
"Masa gue suka sama cabe-cabean." Lanjutnya, sambil menatap wajah saya.
"HAHAHAHAHAHA" Lalu disambungnya dengan tertawa.
Tak percaya saya dibuatnya.
"Ah masa sih? Bohong kali.. HAHAHAHA" Kata saya menimpal.
"Ya enggaklah Li, emang gua gak tau kelakuan dia gimana?, yang gak sekelas aja tau, masa gua gak tau??" Katanya tenang dan santai.
Saya rileks mendengarnya.
Setelah berkata itu, Arief pun mengambil handphone-nya lagi.
"Yaudah rief, gue ke bawah dulu ya.. mau beli katsu sama mayam." Izin, hehehe
"Oh iya Li.." Kata Arief menatap sebentar.
Saya senang akan jawabannya.
Rasanya tak terganjal lagi semua penyakit hati.
Semenjak itu, biasa saja sudah perasaan saya bila bertemu Donita.
YOU ARE READING
Halfway
Teen FictionKisah ini merupakan kisah pribadi yang seseorang alami. Tentang manisnya cinta pertama, dan perihnya patah hati. Tentang kehidupan di Sekolah Menengah Pertama. Tentang pertemanan, tentang anak laki-laki, dan tentang lelucon. Halfway diambil dar...