Tujuan sekolah adalah untuk belajar. Dan begitupun yang saya lakukan di masa SMP. Proses belajar-mengajar yang saya lalui di sekolah dasar sebelumnya sungguh berbeda dengan yang ada di sekolah menengah. Guru-guru di sekolah dasar saya lebih sedikit dan kegiatan pembelajarannya pun sederhana. Tidak ada tugas berat yang berarti. Yang terberat mungkin tugas membuat kliping dan makalah sederhana.
Di tahun pertama saya berada di SMP tugas terberat yang harus saya lakukan adalah melakukan presentasi powerpoint. Walaupun saya membuat sendiri powerpoint tersebut, belum tentu saya menguasai materi tersebut. Jangankan menguasai, membaca pun mungkin tidak. Yang saya lakukan mungkin hanya merapikan tulisan yang berantakan. Intinya saya sangat tidak terbiasa menerangkan materi yang belum diterangkan guru. Saya merasa kinerja guru di sekolah ini buruk karena terlalu banyak memberikan tugas dan membebankan semuanya ke murid. Kami dipaksa untuk belajar sendiri. Saya berpikir sekolah ini sekolah RSBI tetapi mengapa kualitas pembelajaran dan gurunya masih kurang baik dengan sekolah saya sebelumnya?
Ternyata, tidak hanya saya yang merasakan hal tersebut. Sebagian besar murid di kelas kami merupakan murid dari sekolah negeri. Mungkin hal ini biasa terjadi di sekolah negeri. Saya yang sebelumnya bersekolah di sekolah swasta merasakan perbedaan seratus delapan puluh derajat. Guru kami di sekolah swasta penuh perhatian, hafal nama kami, dan tahu betul bagaimana karakter perseorangan kami. Yang sangat berbeda dengan guru di sekolah negeri. Dan ada satu orang yang merasakan perbedaan tersebut seperti halnya saya. Dia Arief. Dia berasal dari sekolah swasta pula. Terkenal di Jakarta. Tetapi, dia tidak terlalu memikirkan akan hal tersebut. Mungkin, yang ada di pikirannya saat itu hanya bermain, bersenang-senang, dan tertawa.
Hari itu hari pertama guru Bahasa Inggris kami masuk. Sudah beberapa kali dia mangkir dari jam pelajaran yang harusnya dia isi di kelas kami. Alasannya saya belum tahu hingga sekarang. Saat dia memasuki kelas, semuanya biasa saja tapi satu yang harus saya beri tahu, dia culun. Katakan saya sombong, namun memang di kelas kami rata-rata anak merupakan dari kalangan menengah keatas. Kami masih kelas tujuh, masih kekanak-kanakan. Dan ya, kami menganggap remeh dia. Tidak kami tunjukkan memang, tapi seusai kelas berakhir kami membuat lelucon-lelucon tentang bagaiman dia menggunakan kacamatanya, bagaimana cara dia berpakaian, bagaimana cara dia mengucapkan kalimat-kalimat dalam bahasa inggris. Hal yang membuat kami jengkel adalah caranya memberi tugas yang begitu banyak dalam satu pertemuan yang mungkin diperuntukkan mengejar ketinggalan nilai karena kelalaiannya sendiri mangkir dari jam pelajaran di kelas kami.
"Tugasnya tadi apa aja ya?" Tanya Ilen si teman sebangku.
"Bikin card tentang idol, bikin card tentang temen, factsnya, hobinya, sama satu lagi praktek procedure text bikin makanan." Jawabku.
"Eh Li, Gue yang card bikin sama Nadine ya. Gapapa kan?" Kata Ilen.
"Iyaa gapapa kok Len, nanti gue sama Putri aja deh."
Shit.
Why Ilen why!?
My worst nightmare was to get to work together with Putri.
Dia orangnya malas, dan terlalu agresif menurut saya dalam suatu pertemanan.
But, the show must go on my friends.
It was a hard one working with Putri. But guess what, I nailed it. Semua card yang berisi profil tentang semua murid di kelas ditempel di dinding kelas. Seperti biasa, cards buatan anak perempuan pasti bagus, penuh pernak-pernik, warna yang serasi dan tulisan-tulisan rapi. Membosankan. But guess what, I am that one of that girls type. I'm boring I know.
Saya melihat tiap tempelan di kelas dan mata saya tertuju pada bagian karya anak laki-laki. Saya lupa bagaimana anak laki-laki menghiasi cards yang mereka buat, yang saya ingat warna dasarnya tidak jauh dari hitam, putih, abu-abu atau merah. Satu yang masih teringat jelas diingatan saya. Card yang dibuat oleh Hanan tentang Arief. Hanan tampaknya sedikit putus asa mencari foto Arief jadi ia menempelkan foto Arief yang ia dapat dari facebook. Arief terlihat sedang rebahan tidak melihat kearah kamera dengan setengah wajah dengan mata yang mengantuk. Lucu sekali. Hiasan yang dipakai pun bukan gambar mobil-mobilan atau bola, melainkan hal yang sangat unik dan sangat terkenal di waktu itu.
TROLL.
GAMBAR TROLL.
I can't help but laugh at it.
I laugh a lot maybe.
It was the picture of him and it was also the troll face.
Saat kami sedang berkumpul bersama dan mengobrol, Arief akhirnya membawa masalah card tentangnya yang dibuat Hanan.
"Ah sialan nih lu Nan, pake foto Gua yang itu."
"Abis elunya gak ngasih-ngasih Gua foto rip,"
"Emang nih semua salah si Maryani." Kata Arief menyalahkan guru Bahasa Inggris kami.
Dia yang kesal pun mulai mengolok-olok Mrs. Maryani. Mungkin terdengar kasar, tapi kami semua tertawa tiap kali Arief mengolok-olok Mrs. Maryani. Dari cara ia menyampaikan leluconnya sudah membuat kami tertawa dan leluconnya pun lucu walaupun terdengar jahat. Pada waktu itu, ada sebuah jingle komersial dari produk minuman namanya Markiza bisa dicek di youtube. Nah, Arief dan Hanan menyanyikan jingle iklan tersebut dengan mengganti yang harusnya Markiza menjadi Maryani.
"Maryani... Maryani... Maryanii.. Gaje pasti.." Hanan dan Arief pergi turun ke bawah menuju kantin.
Kami tertawa melihat tingkah mereka. Ada-ada saja.
YOU ARE READING
Halfway
Teen FictionKisah ini merupakan kisah pribadi yang seseorang alami. Tentang manisnya cinta pertama, dan perihnya patah hati. Tentang kehidupan di Sekolah Menengah Pertama. Tentang pertemanan, tentang anak laki-laki, dan tentang lelucon. Halfway diambil dar...