#12 Friendzone, HTS?

405 43 38
                                    

Farel terus saja mengetuk-ngetuk meja. Membuat Rara risih. Tidak biasanya Farel seperti ini. Padahal Rara tidak tahu, kalau dia sedang menahan rasa gugupnya mati-matian.

"Rel?"

"Hah?" Farel terkesiap, ketika jemari Rara menyentuh ujung jarinya. Farel merasa jantungnya berdegup lebih cepat.

Rara memicingkan mata, menatap penuh selidik. "Lo kenapa, sih? Kayak orang yang lagi gelisah gitu?"

Farel diam. Sialan, umpatnya dalam hati. Orang lagi grogi segala ditanyain kenapa lagi. Lah, gue harus jawab apa?

Rara mendengus kesal, ia menyeruput hot cappuccinonya dengan mata terpejam. Ada sensasi aneh ketika ia meminum minuman kesukaannya itu. "Lo diem mulu, lagi nahan boker?" Celetuk Rara.

Farel pasti bisa.

Farel menarik napas dalam-dalam, lalu mengembuskannya secara perlahan. "Ada yang mau gue omongin, ini serius. Dan gue harap lo gak bercanda dulu untuk kali ini."

Rara sempat menatap Farel, lalu sedetik kemudian, Rara mengalihkan pandangannya ke luar jendela, dengan segelas hot cappuccino yang ia genggam.

"Ra, gue suka sama lo." Farel berkata dengan sekali sebut. Rara yang mendengarnya langsung terkejut, membuat hot cappuccino yang ia genggam tumpah dan mengendai tangannya.

Rara meringis kesakitan, "Aww ..., hot cappuccino benar-benar hot!" Farel membantu Rara membersihkan tangannya, dan meniup-niupkan bagian yang terkena cappuccino. Rara sempat melirik ke arah Farel yang sedang serius, ada perasaan aneh yang selalu mengganggunya setiap kali berdekatan dengan Farel, namun ia selalu menolak perasaan itu. Entah, rasanya ... ini semua belum tepat pada waktunya.

"Untung gak pa-pa, cuma merah aja, nih. Kita pulang, yuk? Kasih apa gitu biar gak melepuh."

Rara diam sesaat, "Yaudah, kita pulang."

                                   ***

Di sepanjang jalan, baik Rara maupun Farel, mereka sama-sama terdiam. Menciptakan rasa canggung pada keduanya.

"Ra, gak usah dipikirin soal tadi, ya? Dan jangan sampai lo membuat jarak di antara kita. Gue disini cuma mau mengungkapkan apa yang ingin gue sampaikan. Soal perasaan gue ke lo. Cuma ingin lo tahu, tanpa perlu membalasnya. Gue bukan mengungkapkan kalau lo harus jadi pacar gue kok, jadi, lo tenang aja. Lo bebas memilih siapa yang lo suka, tanpa perlu lo pikirin kalau gue juga suka sama lo. Gue cuma mengungkapkan aja. Karena bagi gue, kenyamanan hati lo lebih penting. Jadi, jangan jaga jarak sama gue karena gue suka sama lo, ya? Kita harus tetep sahabatan, seperti biasa. Jangan sampai jadi canggung gini. Oke?" ujar Farel sambil tersenyum, lalu dia mengusap poni Rara dengan sayang. Rara dapat melihat, bahwa ada sebuah ketulusan dalam senyuman Farel. Senyuman yang selalu ia kagumi.

Rara hanya tersenyum menaggapinya, lalu ia mengalihkan pandangannya pada jalanan. Perasaan ini, tidak boleh terjadi. Karena ada banyak hal yang lebih penting bagi Rara.

Setelah lima belas menit, mereka sampai di depan rumah Rara. Farel turun terlebih dahulu, lalu membukakan pintu untuk Rara. "Silahkan, tuan puteri."

Farel, masih sama seperti Farel yang biasanya. Seolah tidak pernah ada yang terjadi barusan.

Rara terkekeh, mencoba seperti Rara yang biasanya seperti Farel. "Geleuh da, ih!"

Farel menjulurkan lidah, membuat Rara ingin menghujaminya dengan jitakan atau cubitannya. "Gak masuk ke rumah?"

"Gak deh, mau langsung pulang. Salam sama mama mertua, ya?" Rara jadi merasa bahwa jantungnya telah berdenyut.

Menutupi rasa gugup, Rara langsung menjambak rambut Farel. "Mimpi aja terus lo!"

"Biarin! Mimpi kan gak bayar!"

Rara menghela napas, bodo amat dengan tingkah Farel. Dia segera membuka pagar rumah, tanpa salam perpisahan dulu pada Farel. Namun, langkahnya tiba-tiba terhenti.

"Rel? Lo gak mau tahu, gimana perasaan gue ke lo?"

Farel terlihat terkejut, wajahnya jadi tegang. "Eh? Gue-"

"Gue juga suka kok, sama lo." Rara memotong cepat, dia langsung mengunci pagar dengan kilat. Dan berlalu, dengan semburat merah di wajahnya. Meninggalkan Farel yang mematung tak percaya atas apa yang baru saja ia dengar dari bibir mungil seorang Rara.

Rara juga menyukainya.

                                ***

Sesampainya di rumah, Farel terus saja menarik senyumnya. Membuat mama dan papanya jadi heran, mereka takut kejiwaan Farel terganggu. "Rel? Sehat?"

Farel memeluk kedua orangtuanya yang sedang duduk di ruang tamu, lalu menciumi punggung tangan serta pipi keduanya. "Alhamdulillah, sehat. Farel sayang kalian."

Mama dan juga Papanya saling tatap, kemudian mereka tersenyum. Dan mengambil kesimpulan, bahwa anak sulungnya tengah jatuh cinta.

Farel menoleh ke arah kamar adiknya yang terbuka, lalu menghampirinya. "Jul, besok lo mau gue beliin apa?"

Juli--adik Farel--langsung menatap aneh pada Farel, tidak biasanya kakaknya seperti ini. "Lagi ada maunya ya lo?"

"Gak boleh su'udzon!" Farel menyentil dahi Juli.

Juli meringis, mengusap dahinya yang terasa panas. "Abis lo tumbenan banget nanyain gitu sama gue, Bang. Kan gue lagi gak ulang tahun! Atau, jangan-jangan lo abis jadian, ya?!" Tebak Juli yang membuat Farel tersadar akan suatu hal. Farel nampak berpikir keras, lalu melenggang ke luar kamar Juli.

"Akhirnya lo laku juga, Bang!" Teriak Juli yang tak di hiraukan oleh Farel.

Farel masuk ke kamarnya, lalu segera merebahkan tubuhnya yang lelah. Seulas senyum pun terukir lagi dibibir Farel, kala ia mengingat perkataan Rara beberapa menit yang lalu. Sebersit pertanyaan muncul, apakah ia dan Rara resmi menjadi seorang kekasih? Apakah ia harus menanyakan statusnya pada Rara? Farel menggeleng cepat, ia tersadar bahwa Rara hanya mencoba mengungkapkan perasaannya, sama seperti dirinya. Ia tidak boleh meminta lebih.

Farel menghela napas, ternyata cinta itu tidak sesederhana yang ia kira. Farel menarik kesimpulan, bahwa ia dan Rara sama-sama menyukai, namun sama-sama tidak berniat memiliki. Farel tidak keberatan. Ia tetap senang, karena cintanya terbalas. Ia yakin, kalau jodoh itu tidak akan kemana. Sejauh apa pun cinta itu pergi, kalau jodoh, ia pasti akan berlabuh pada pemiliknya.

                                ***

Pagi ini, menjadi pagi yang berbeda bagi Rara. Ia harus menahan malu karena ulahnya sendiri. Farel yang sedang berjalan di sampingnya, jadi terasa berbeda. Farel sih, biasa saja. Tapi, Rara tidak bisa.

"Silahkan masuk nona, belajar yang bener, ya?" ucap Farel yang kemudian mengusap poni Rara. Tanpa menunggu jawaban Rara, Farel segera pergi ke kelasnya.

Rara menghela napas lega, berlama-lama dengan Farel bisa membuatnya kekurangan oksigen. Rara berjalan ke arah mejanya, ia mendapati Ari yang sedang mengobrol bersama Putra. Akhir-akhir ini, Ari memang sering mengobrol bersama Putra.

"Eh ada Rara, makin mesra aja sama Farel. Eh, Ra, gue udah keliatan kembar belom sama Ari? Putra dan Saputra." Putra menyeletuk, membuat Ari terkekeh, lalu kemudian menjitak kepala Putra dengan kencang.

"Najis, ih! Lo makin ngaco, ah. Mending ngantin, yuk!" Ari langsung menyeret Putra ke luar kelas. Ari sempat melirik ke arah Rara, ketika pandangan mereka bertemu, Ari segera membuang muka.

Rara diam. Ada rasa sesak yang menghimpit dadanya. Ari ... sedang menjauhinya. Apakah Ari marah karena tempo hari ia tidak datang ke kedai? Rara merasa matanya berembun, apakah ia akan menangis? Mengapa? Apa karena Ari menjauhinya? Kenapa Rara jadi sesesak ini?

                                 ***

AN : Halluu... makasih buat yang tetap setia baca sampe sekarang. Maap ya, chapter ini agak pendek *emangnyayanglainpanjang?*

Semoga suka, ya?😊😊😊 Arinya baru muncul dikit hehe... btw, maaf buat typonya, ya... yang siders, ditunggu terus kok vommentnya😜

Reftaniar

Cintapuccino; A Cup Of LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang