- 13 Maret 2016.
Langit-langit kamarku benci padaku.
Terakhir kali aku melihatnya, dia menertawaiku. Aku ambruk di tengah kasur, sendirian, dan dia cuma tertawa.
"Bagaimana?" tanyanya. "Masih belum kapok?"
"Belum," erangku sambil meninju bantal supaya lebih lembut. "Belum."
Hal itu terjadi lagi selama seminggu berikutnya. Di setiap saat aku pulang dengan bahu lebih rendah dari normal, dengan kepala berdenyut keras, atau dengan leher sangat tegang hingga uratku mengancam akan copot, dia menertawaiku.
"Bagaimana?" tanyanya setiap saat. "Belum kapok?"
Sudah menjadi nyaris ritualistik bagiku untuk menjawabnya dengan kata yang sama. Lima huruf yang diulang-ulang di setiap saatku mendapatkan stimulus yang tak kunjung berubah. Ibadahku adalah menjawab langit-langit kamarku dengan, "Belum." Hanya demi menamparnya di wajahnya yang congkak.
Langit-langitku tidak selalu menjadi antagonis dalam hidupku di negeri asing ini. Jika bukan karenanya, mungkin aku tidak akan pernah bisa berkelana ke tanah tempat cinta bersemayam. Mungkin aku tidak akan pernah bisa mencicipi rasanya terbang ke Norwegia dan mengunyah senja bersama kekasihku. Atau ke Finlandia. Aku lama penasaran dengan bulan di Finlandia. Aku belum pernah mencernanya. Aku harus mencobanya sesekali nanti. Ingatkan aku.
Jika bukan berkat langit-langitku, aku tidak akan pernah tahu apakah inklinasi politis merupakan turunan genetis atau pengaruh lingkungan. Mungkin ideologi tidak akan pernah mati. Benda pipih berukuran lima kali lima meter di atas sanalah yang akhirnya membisikkan padaku hal yang tumbuh menjadi tewasnya nasionalisme. Globalisme telah lahir dan sekarang sedang menangis keras. Entah siapa yang rela menyusui anak haram itu. Andai aku bisa menyusu, mungkin aku akan mengadopsinya seperti aku mengadopsi dua anak kucing dulu. Sekarang semuanya sudah kulepas, tentu. Semua anak akan tumbuh besar pada waktunya.
Sudah berjam-jam ini langit-langitku diam. Dia memang begitu. Dia akan menertawaiku, memastikan aku sudah kapok pergi keluar dari kamar ini, mendengar jawabanku yang repetitif sambil terkekeh, tetapi lalu diam. Akhirnya, setelah sunyi yang terasa sangat canggung, dia angkat bicara lagi.
"Kau yakin belum kapok?" tanyanya. "Maksudku, Bung, keadaanmu bertambah parah setiap kaupulang. Aku bahkan sulit mengenalimu."
"Belum," beoku pada kebiasaan. "Belum."
"Apa kau bahkan bisa mendengar dirimu sendiri? Kau mengatakan itu dengan nada yang sama, suara yang sama, dan tekstur dan ambitus yang sama setiap kali aku menanyaimu. Jawabanmu mulai terasa robotik."
"Belum," jawabku lagi. "Belum."
"Aku jadi penasaran," lanjutnya. "Sudahkah otakmu jadi limas? Prisma? Aku kebetulan tahu mereka sangat suka mencetak kubus di luar sana. Otakmu kuat, Bung. Namun jika kau terus-terusan keluar...."
"Belum," jawabku lemah. "Belum."
"Apa kabar gerigimu? Apa mereka sudah muak? Melayanimu adalah sebuah kehormatan besar, tetapi kau malah memilih untuk pergi meninggalkan tempat ini. Kasihan mereka. Kapan kita akan mulai memutar mereka lagi hingga lancar seperti dulu?"
"Belum," kataku. "Belum."
"Lalu indramu—astaga, aku bisa menangis melihat keadaan mereka. Tidakkah kau sadar betapa tumpul mereka sekarang? Kita dulu mengindra seantero alam semesta, Kawan. Sekarang kau hanya mengindera mereka. Bukankah sudah waktunya kita kembali berpetualang?"
"Belum," jawabku untuk terakhir kali. "Belum."
Langit-langitku mendesah risih. "Aku merindukanmu, Bung. Aku rindu bercengkerama dengan isi otakmu. Aku rindu menari bersama indramu. Aku rindu bercinta dengan nalarmu. Ke mana saja kaupergi?"
Aku mengabaikannya dan akhirnya memejamkan mata.
Kala aku terbangun lagi, aku kehilangan arah waktu. Apakah aku sedang menghadap depan? Belakang? Berbaring? Ah, tunggu. Waktu sedang tidur. Sejak kapan dia masuk selimut bersamaku? Aku tahu aku selalu tidur bersamanya, tetapi dia selalu bangun sebelum aku. Alarmku tidak akan mau berteriak berisik jika bukan karenanya. Setiap pagi, aku akan membuka mata dan dia akan menguap pergi dari sisiku. Ini adalah kesempatan langka. Jarang-jarang aku bisa mengamati waktu sedang tidur.
Wajahnya elok. Sangat cantik. Aku termangu selama dua menit penuh yang terasa seperti selamanya, karena selama waktu tertidur, aku tidak bisa mengukurnya. Aku merasakan tangannya yang lembut memelukku, tidak mau lepas. Pelukannya hangat. Aku mengelus rambutnya. Dia bergeser sedikit, mengecap dua kali, lalu kembali tidur. Aku terkekeh.
Langit-langitku. Dia sedang terpaku di atas sana, tidak tidur, menatapku dengan penuh harap. Namun dia beku. Waktu masih tertidur.
Langit-langitku. Ah, haruskah aku terpikir soalnya di momen langka seperti ini? Masalahnya, sebenci-bencinya aku padanya, aku tahu dia ada benarnya. Isi otakku juga rindu bercengkerama dengannya. Indraku juga rindu menari dengannya. Nalarku juga rindu bercinta dengannya. Aku mengecup dahi waktu di pelukanku.
"Sayang," bisikku. Ia tetap bergeming dengan begitu damai. Aku tidak tega membangunkannya ... bahkan jika harus. Aku terlalu cinta padanya. Aku kembali mengelus rambutnya. Aku sangat ingin memejamkan mata dan kembali tidur, tetapi aku akan terbangun dan mendapati waktu sudah berlari pergi. Tidak, aku terlalu rindu pada waktu. Aku mengecup dahinya sekali lagi.
Langit-langit beku di atas sana masih menatapku dengan tatapan harapnya yang beku. Entah sampai berapa lama aku akan punya kehormatan tidur bersama waktu. Aku akan harus menyambut lagi langit-langit itu setelah waktu terbangun. Aku mengerang kecil dengan frustrasi. Aku harus melakukan sesuatu soal dirinya nanti.
Nanti, nanti. Ketika. Saat. Kala. Waktu tengah tertidur di pelukanku. Untuk apa aku memikirkan yang tidak ada?
Tunggu, apakah waktu bahkan benar-benar ada?
Tunggu—jika waktu tidak ada, apakah aku bahkan bisa menunggu?
Tunggu—aku tidak bisa menunggu!
Waktu sedang tidur bersamaku!
Aku tersenyum. Waktu itu ada! Yang berarti aku itu ada! Akulah bukti keberadaanku! Akulah Tuhan yang kucari!
Waktu bergeser sedikit lagi, dan saat aku melirik ke arahnya, ia sedang memberiku tatapan penasaran dan tersenyum kecil. Nakal sekali. Lalu, perlahan, langit-langitku bangkit lagi.
"Bagaimana?" tanyanya lemas.
"Baik," jawabku. Kedua matanya membelalak.
"Apa?"
"Baik," ulangku sambil menatap waktu. Ia terkekeh danmengecupku sekali sebelum akhirnya menghilang. "Mari bercinta."
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Aspira: Buku Catatan Dahaga
Poesie- 8 Juni 2016. Akronimia: Semua yang tertulis dalam cerita ini Pernah terbengkalai, terabaikan, atau ditulis tanpa Inti yang jelas. Suatu hari, terbersit Rasa ingin mengumpulkan Apa yang ada menjadi satu : Badan yang utuh. Mungkin sekadar Untuk mema...