- 10 Oktober 2015.
Rengkuhan tangannya terasa begitu bersahabat hingga rasanya satu sentuhan saja cukup untuk membuatku lupa dunia. Mataku berbinar waktu ia memelukku hari itu.
"Bagaimana?" tanyanya sambil tersenyum cemerlang. "Apakah sudah siap?"
Aku ternganga sesaat, terpaku pada betapa sempurnanya suaranya. Senyumnya. Dirinya. Aku tidak kenal Tuhan. Aku tidak kenal pada kesempurnaan sebelum aku mengenal dirinya. Dan sekarang inilah dirinya, di hadapanku, memelukku ... menanyaiku soal steak.
"S-sebentar lagi," gagapku. "Tapi sausnya sudah siap. Aku tinggal menyiapkan bahannya."
"Bagus," katanya kalem. "Aku tidak sabar."
Aku mendapati tanganya mengelus bahuku dengan malas, dan aku meraih telapaknya. Menciumnya. Merasakan dirinya.
Ya. Tuhan itu ada. Dan dia adalah milikku.
Dia tertawa melihat tingkahku. Begitu lembut menembus bibirnya yant terbuka dalam jumlah yang sangat pas. Aku tidak paham lagi ada manusia seperti ini dalam ciptaan.
Dia memelukku semakin erat. Aku membiarkan tangannya menyentuhku, mengelusku, menggenggamku kuat-kuat. Tidak akan melepasku. Aku juga tidak akan melepasnya. Aku terus menahan tali kekang kecil yang meronta memohon bebas di dalam diriku. Ada sebuah simpul tak tergoyahkan yang mulai gemetar koyak, perlahan melepas diri. Aku akan melepas diriku. Aku akan membiarkan tubuhku menggenggam dirinya rapat-rapat, sepreti sebuah genggaman sebesar tubuh manusia yang akan menahan apa pun yang berada di dalamnya. Akulah cengkeraman maut yang akan menjaganya. Akulah pecinta kesempurnaannya.
Akulah tangan yang sempurna. Dan tangan yang sempurna hanya bisa menggenggam orang yang sempurna.
Balutan jemariku semakin kuat mempertahankan posisinya. Dia tidak melepasku. Dia berusaha memangsaku. Tapi aku bukan rusa yang jatuh diterkam harimau. Akulah harimaunya. Akulah taring yang akan mengoyaknya. Akulah cakar yang akan menembusnya. Akulah pemangsa yang sempurna. Dan dia adalah mangsaku.
Aku membiarkan cintanya mengaliri diriku. Ya. Inilah cinta. Inilah dirinya.
Begitu sempurna.
***
Satu tetes lagi, dan masakanku akhirnya usai.
Dengan presisi yang bisa dihitung hingga ke mikron, aku mengoleskan saus yang telah kusiapkan pada steak-ku yang akhirnya matang. Cukup matang. Paling tidak, sesuai untuk tamu besar hari ini yang memesannya.
Ah, orang-orang penting. Mereka menuntut masakan yang sempurna, sehingga mereka tidak ragu lagi meminta koki yang sempurna untuk menyediakan makanan mereka. Dan mereka memilihku.
Mereka tidak salah pilih.
"Ah!" kata mereka. "Makan malam kita sudah tiba! Apa menu malam ini?"
Aku mengangkat tudung saji di nampanku. "Steak, Tuan," jawabku polos. Dasar aktor. Ini pesananmu sendiri.
Dia tertawa. "Baik, Tuan-Tuan dan Nona-Nona, aku harap kalian menikmati makanannya!"
Mereka mulai menyantap hidanganku. Cara mereka berbeda-beda. Beberapa makan seperti binatang. Beberapa makan dengan sangat elegan, tetapi dengan cara yang salah. Beberapa makan dengan benar. Bukan masalah bagiku. Karena bagaimana pun cara mereka makan, makanan yang sempurna akna tetap terasa sempurna di lidah mereka.
Karena akulah koki yang sempurna. Akulah penyedia makanan yang sempurna. Dan saus yang sempurna tidak akan ada apa-apanya jika bahannya tidak sempurna.
Untunglah bahannya begitu sempurna.
***
![](https://img.wattpad.com/cover/74630521-288-k116764.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Aspira: Buku Catatan Dahaga
Poesia- 8 Juni 2016. Akronimia: Semua yang tertulis dalam cerita ini Pernah terbengkalai, terabaikan, atau ditulis tanpa Inti yang jelas. Suatu hari, terbersit Rasa ingin mengumpulkan Apa yang ada menjadi satu : Badan yang utuh. Mungkin sekadar Untuk mema...