ANOLIVIA

803 47 7
                                    

- 29 Oktober 2015.


Leksika. Elipsis. Tanda tanya. Tanda garis. Titik koma. Diksi manis. Semuanya mulai menyaru satu padu di depan mataku yang separuh termangu. Berpola ria tanpa tata. Badai sepai halai-balai. Saling kawin miskin izin. Kacau-balau silau halau. Ada nama mana nirmana. Mana? Makna? Apa?

Aku tahu kamu mau tahu sapu janu anu maju-mau lalu tahu-tahu jatuh. Tapi di sini sini lari nanti menanti kali-kali diri ini silih berganti jadi begini. Sayang halang datang dalang dibuang ke belakang. Padahal asal-muasal massal dangkal bebal abal bersesal; kukesal.

Kata cinta lama-lama lupa makna. Arti diksi kini-kini nirhayati. Dulu cinta tahu nirmala. Sekarang cinta dikarang nama. Mulut bisa sebut cinta. Tapi apa hati kata?

Bukan maksud ingin muna, akan kemelut izin saya, saya juga tahu rasa cinta, masalahnya apa kamu sama juga? Benar-salah itu biasa. Yang kelabu bagaimana?

Prediksi—praduga—pasti-pasti—saja. Ah, tak juga. Kuingin sua ke sana, bertemu dirimu, bersama berjalan. Mungkin makan. Canda dan tertawa bersama literatur dan karya sastra. Sedikit filsafat rendah dan bumbu-bumbu indah. Ilmiah. Segalanya sangat naluriah.

Mungkin saja kita bisa bertukar mata dan semua indera. Mencoba merasa emreka. Bahasan nyata? Lelucon? Guyon? Tatap mata nirkata? Aku menanti semuanya.

Ruangan sialan. Kapan kulepaskan? Kala tertawa. Aku malu. Wasana hanya wacana. Abhati berjanji, tapi tak ditepati. Aku mau ke sana. Aku akan ke sana.

Leksika, elipsis, tanda tanya, tanda garis, titik koma, diksi manis, aku terperangkpa dan tidak bisa lepas. Namun aku tidak mau lepas. Sungguh takkan lepas. Karena aku tahu dirimu—dan persis dirimu itu yang kumau.

***

Aspira: Buku Catatan DahagaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang