Lost

3.5K 257 15
                                    

Malam itu terasa sepi sekali. Emma melirik kembali arloji yang ada di pergelangan tangan kirinya, menunjukkan pukul 10 malam. Dulu, Emma selalu membayangkan jam berapa jika di Indonesia. Namun itu semua dirasa tidak perlu. Emma putus asa, ia tidak bisa berpikir kedepan. Semuanya berantakan.

Hanya suara binatang-binatang kecil malam hari yang menyerukan suaranya. Taman tersebut sepi. Satu-satu nya penerangan yang ada hanyalah lampu yang berdiri tegak disampingnya dan gemerlap lampu gedung-gedung di depannya yang terhalang pohon rindang namun tidak terlalu besar. Mungkin kali ini hanya Emma yang tersisa sedang duduk termenung menatap tatanan cahaya lampu kota. Jika ada yang melihat dirinya disini, mereka pasti akan menganggap Emma adalah seorang gadis yang gila yang rela duduk sendirian di bangku taman. Atau yang lebih parah, ia akan dianggap hantu penunggu taman.

Pandangan Emma terus saja memandang kebawah, pikirannya berkecamuk. Pernyataan Irina membuatnya mati rasa. Benarkah Marc setega itu bermain di belakangnya? Yang lebih parah, Marc bermain begitu liarnya dengan gadis yang tidak mempunyai hubungan apa-apa dengan Marc. Sakit, namun tak berdarah, Emma terus saja memegangi dada bagian kirinya. Rasanya sulit sekali mengungkapkannya.

Emma mendengar suara mobil berhenti. Ia tau jalanan dan tempatnya duduk sangatlah jauh. Bukti bahwa mungkin hanya ia yang tersisa disana. Emma tau itu pasti Marc. Tak butuh waktu lama langkah derap kaki yang tak beraturan menghampiri. Mungkin orang itu sedang berlari, batin Emma.

Marc berjalan setengah berlari menuju taman. Tak perlu usaha keras bagi Marc untuk mencari Emma. Mata nya menangkap seorang gadis sedang menundukkan kepalanya dengan rambut kuncir kuda menghiasi kepala nya.
Marc berjalan mengendap-endap melalui belakang. Setelah sampai, Marc menangkupkan kedua tangan nya pada kedua mata Emma.

Emma sontak terkejut dengan perlakuan itu. Ia memegang tangan kekar yang menutupi mata nya. Tangan ini milik Marc, lembut dan halus. Emma kenal betul.
Ia melepas tangan itu dan menoleh kebelakang.

"Marc..." panggil Emma semanis mungkin.

Dan setegar mungkin walaupun beberapa kali ia meyakinkan diri bahwa ia bisa berakting baik disaat seperti ini. Ayolah Emm, kau adalah aktris, tunjukkan bakatmu disini jangan sia-sia kan pembelajaranmu tentang teater batin Emma menguatkan diri.

"Hay Emma. Si gadis polos--" balas Marc melangkah ke depan Emma dan berjongkok di depan Emma, "--maaf aku terlambat lama. Aku benar-benar minta maaf" lanjut Marc memperagakan tangannya dipertemukan satu sama lain memohon keras.

"Tidak apa Marc. Aku juga baru sampai" balas Emma senyum. Lagi.

Emma berbohong jika dirinya baru saja sampai. Ia memaksa dirinya sendiri untuk memainkan peran palsunya disini.
Senyum Marc mengembang, rasanya lega saat Emma bisa memaafkan dirinya.
Emma lagi-lagi terkagum pada indahnya senyum itu. Namun setelah ini, ia tidak akan lagi memandang senyum semanis lengkungan sinar rembulan itu.

"Duduklah Marc" ucap Emma suaranya mulai serak.

Marc mengangguk dan menuruti perintah Emma. Ia tidak sedikitpun curiga akan suara Emma yang mulai serak itu. Marc duduk namun menghadap kearah Emma. Pria itu masih setia memakai jaket ber logo kan manufacture Honda Repsol yang berwarna biru tua. Emma kembali menunduk dan memegangi kedua lututnya. Ia lebih seperti gadis jepang lengkap dengan tata cara duduknya.

"Apakah aku gadis yang polos seperti yang kau katakan Marc?" tanya Emma masih setia menunduk.

Marc mentautkan kedua alis nya itu. Tak biasanya Emma bertingkah seperti ini. Gadis itu dingin. Biasanya Emma akan selalu tersenyum dan bergelayut mesra di salah satu lengan Marc. Kini hanya tertunduk dan memegangi kedua lututnya itu.

"Ya. Semua orang menyukaimu karena kepolosanmu ini" balas Marc sembari berfikir yang membuat nada bicaranya berubah.

"Apakah kau termasuk orang-orang itu?" Emma menanyakannya dengan wajah memerah.

New Romantics (Marc Marquez Fanfict)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang