*Bonus*

5K 148 32
                                    

#8
[Event Flashfiction]

ID: 1147091579204010855
URL: http://line.me/R/home/public/post?id=nej3236z&postId=1147091579204010855

Aku mencoba menahan air mata yang memberontak keluar dan mengalir. Namun tetap saja aku tak bisa menahan gravitasi yang begitu kuatnya. Aku tak lagi peduli dengan pandangan orang-orang di cafe ini. Ku lihat pria didepanku yang menatapku nanar. Pandangan matanya seakan-akan ingin menerkamku.

"Ayolah Emma, aku tak bisa melihatmu seperti ini," kudengar ucapan Marc yang begitu lembutnya.

"Aku sekarang begitu tersadar. Mungkin saja bukan? Mungkin saja jika kau bertemu seseorang yang lebih sempurna untukmu dan kau jatuh hati padanya meskipun kau sudah berkomitmen dengan orang lain?"

"No no," balas Marc, "Dengar, kurasa jika kau sudah berkomitmen pada seseorang, kau tidak boleh biarkan dirimu untuk mencari kesempurnaan orang lain."
Segera air mataku mengalir deras. Ingin sekali ku berteriak bahwa dia tidak mengerti apa yang sedang ia bicarakan. Tetap saja kerongkonganku seperti mempunyai pikiran sendiri untuk mencegahnya.

Nama seorang gadis masih terngiang di kepalaku. Gadis yang lebih sempurna dariku, dan lebih sempurna bagi Marc.
Tak ada jawaban lagi dariku setelahnya. Tiba-tiba saja lengkungan senyum Marc ia lemparkan padaku. Oh ya Tuhan, setelah ini aku tak bisa lagi memandang senyum indahnya, menantang mata elangnya, mengelus lembut pipinya, dan mengacak-acak rambutnya yang hitam itu. Dan kenyataan yang paling pahit, aku tak bisa lagi mengusap wajahnya yang penuh keringat setelah ia bertanding di lintasan sirkuit MotoGP.
Kesalahan terbesarku, membuat Marc bertanya-tanya tentang kejelasan hubungan ini. Aku tersadar bahwa tak selamanya kesenangan dan romantisme itu ada.

Hubunganku dengan Marc? Tidak ada yang berubah. Kecuali jika setiap tatapan, setiap candaan, setiap kami bermesraan, hanyalah sebuah kebohongan belaka. Dan aku tidak berdaya, aku tak bisa berbuat apa-apa. Aku tak bisa terus terang dengannya. Aku sadar ini adalah hidupku. Ini adalah hubunganku. Ini adalah duniaku. Dan ini adalah kesempatanku untuk mencintai seseorang yang benar-benar aku cinta. Tapi kemudian semuanya berhenti. Semuanya terasa sia-sia. Marc bertemu seseorang yang mengerti dirinya apa adanya.

"Maafkan aku Marc," akhirnya aku membuka suara.

"Kau adalah wanita yang mengenali cinta sejati, tapi kau mengabaikannya," jelas Marc.

"Ya. Aku masih menjadi wanita itu, sampai akhirnya aku memilih orang yang salah." Tak bisa kusangkal, rasa amarah dan kecewa masih menyelimutiku.

"Tapi kali ini aku tak bisa bertahan karena aku tak lagi mencintaimu--"

"Tapi aku..." ku mencoba untuk menyela ucapannya yang pasti sungguh menyakitkan bagiku, namun gagal.

"Jangan mencoba merubah pikiranku. Aku terlalu jahat untuk berbuat baik kali ini. Aku tak bisa mencintaimu seperti ini. Begitu banyak jarak diantara kita. Tapi aku tak ingin teruskan seperti segalanya baik-baik saja," duniaku runtuh. Semua mimpi indahku sirna seketika. Hatiku mencelos begitu lepasnya. Tak terasa air mata semakin deras adanya.

"Emma tolong, jangan seperti ini. Aku tak kuasa menghadapi hatimu yang hancur."

"Apa yang harus aku lakukan? Aku tak butuh kejujuranmu. Itu sudah terlihat di matamu. Dan aku yakin mataku ungkapkan isi hatiku. Tak ada yang lebih mengenalku daripada dirimu. Dan karena kaulah satu-satunya yang penting bagiku. Katakan padaku, pada siapa aku berpaling saat kau meninggalkanku?" Suaraku bergetar dan aku berusaha memperjelas setiap kata karena suaraku mulai serak.

Perlahan, sebuah tangan mengelus lembut pipiku dan mengusap air mata yang mulai mengering. Aku terlonjak kaget saat kulihat tangan Marc berada di wajahku. Sampai sekarang pun aku masih terpesona dengan proporsi wajah tampan rupawan itu.
Aku bersumpah bahwa aku akan merindukan momen-momen ini.

"Kau pantas mendapat seseorang yang lebih baik dariku. Yang lebih mengerti apa mau dan keinginanmu," suara itu. Ya, suara yang sering aku jadikan bahan bully-an untuknya. Setelah ini, suara itu tak akan lagi memenuhi kepalaku setiap malam.

Marc mencabut tangannya dan melirik arloji mahal yang ada di pergelangan tangan kirinya. Tidak, aku mohon jangan sekarang. Aku masih ingin melihatmu untuk yang terakhir kalinya. Ekspresi wajah Marc menunjukkan jika ia siap melepas sesuatu, melepasku.

Ingin sekali ku cegah Marc yang mulai berdiri dari duduknya dan memandang keluar jendela. Semuanya terlambat. Mau tak mau aku harus menerima hal ini. Kau tau, menarik paksa sesuatu yang masih kau genggam erat akan menimbulkan memar dan luka dalam di tanganmu.

"Malam semakin larut, ini juga sudah lewat dari jam tidurmu, kan?" Aku tercengang sekaligus senang saat Marc ternyata masih mengingat jadwal tidur ku yang begitu teratur setelah beberapa bulan ini kami saling menjauh.

"Selamat malam Emma. Semoga kita dapat bertemu kembali," derap langkah menjauh dariku terdengar bagaikan tuts piano lagu perpisahan.

Setelah derap langkah kaki itu hilang, aku menundukkan kepala sengaja agar poniku menutupi mata yang sembab. Tak terasa sudah satu jam lebih aku terdiam disini. Gemuruh hujan mulai terdengar di luar, seakan-akan langit pun tau jika seorang Emma Watson untuk pertama kalinya menangis karena cinta.

Tidak! Aku menegakkan kepalaku kembali. Perlahan-lahan kupaksakan senyum di bibir walaupun hati berkata sebaliknya. Hey, seribu pedang masih menancap begitu dalam.
Biarlah ini menjadi pelajaran. Biarlah hal ini menjadi pengingat akan diriku pada Marc. Aku tak ingin kejam atau terlalu memaksakan hatiku.
Masih ada hari esok. Hari dimana ketika aku mengingat bahwa tak ada lagi Marc disampingku, itu membuatku hancur.
Marc Marquez, pria yang selalu membuatku tersenyum di setiap detiknya, dan pria yang terlihat gagah ketika mengendarai motornya.

Oh ya dan satu lagi. Marc, kau adalah patah hati terbaikku.

***

Mulmed : fwc1112 Mi Corazone - Marc Marquez.

New Romantics (Marc Marquez Fanfict)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang