"Lo harus deket selalu sama Anya, lo harus bisa ngasih perhatian yang lebih sama dia, lo harus..."
"Stop. Kenapa harus Anya?" Mobil berhenti.
"Ya gak apa-apa. Lo gak mau terima? Ya itu sih keputusan ada di tangan lo."
"Isya. Ini masalah gua sama lo, dan masalah ini karena Anya. Tapi kenapa lo malah sangkut pautin sama Anya lagi?"
"Karena Anya itu sahabat gua. Seburuk apa pun dia, gua tetap sayang dia. Walaupun gua marah sama lo karena lo ingkar janji, dan malah lebih mentingin Anya, tapi itu di mata gua dia gak punya salah."
"Tapi kan dia gak mentingin lo? Dan kenapa persyaratan ini bawa-bawa nama Anya?"
"Apa? Gak mentingin gua? Maksud lo?"
"Ia. Padahal dia udah tau kan kalo lo itu lagi di tugasin buat temenin gua, kemana pun gua pergi. Dan dia seharusnya tau dong kalo lo seharusnya pulang sama gua, tapi kenapa dia malah minta pulang sama gua? Dan dia juga minta ke party sama gua."
"Heh. Asal lo tau. Dia gak mungkin kaya gitu kalo bukan karena lo duluan."
"Kok gua? Kok lo masih aja belain dia?"
"Ia lah. Dia minta pulang bareng sama lo, terus lo terima kan? Jadi ini sebenernya bukan salah Anya dong, tapi salah lo. Dan Anya ngajak lo ke party bareng karena lo udah anter dia, seakan lo itu udah baik sama dia. Dan makanya Anya jadi kaya gitu."
"Ok. Ok ini salah gua. Tapi kenapa persayaratan ini harus pake nama Anya?! Gua punya salah sama lo, bukan sama Anya."
"Ya gua tau. Ya gak apa-apa."
"Bohong. Jujur Isya."
"Udah deh Al jalan aja. Kapan nyampenya?"
"Gua gak akan jalan, sebelum lo jawab pertanyaan gua tadi."
"Oh yaudah. Makasih tumpangannya." Keluar mobil.
"Eh Isya!"
Gua nyebrang ke halte. Dimana halte yang sama, saat gua main hujanan bareng sama Al. Al keluar dari mobil, dia berlari ke arah gua.
"Ngapain? Kok keluar dari mobil?"
"Ada juga gua yang tanya lo gitu. Ngapain lo turun dari mobil?"
"Tadi lo bilang apa? Lo gak akan jalan kan? Yaudah mending gua tunggu angkot atau taxi."
"Abisnya lo gak mau jawab. Isya, balik sama gua ayo." Geleng. "Isya, kalo gua balik gak bawa lo, gua nanti kena marahan."
"Lah kok gitu? Gua kan pulang ke rumah gua, bukan ke rumah lo?"
"Aduh." Menepuk jidat. "Maksud gua, kalo lo pulang ke rumah gak sama gua, nanti gua gak enak sama mama lo. Dan nanti mama gua juga gak enak sama lo, dikiranya gua pelit atau jahat sama lo. Dan nanti ujung-ujungnya gua kena marah sama mama gua."
"Gak kok. Nanti gua jelasin, udah sana lo pulang aja."
"Please Isya pulang sama gua." Al menggandeng tangan gua, dia pegang erat.
"Gak mau. Lepas Al! Malu! Al lepas..." Gua memberontak sampai ke dorong ke arah jalan raya.
"Isya." Untung aja tangan gua langsung di tarik Al, dan kini tubuh gua berada di pelukan Al.
Gak tau kenapa, gua ngerasa hangat banget. Dan terjadi lagi, gua ngerasa ada getaran cinta. Gua ngerasa semakin sayang sama dia.
Aduh apa-apaan ini? Kok aneh? Gua ngerasa nyaman banget deh? Gak mau lepas. Dan gua semakin ngersa sayang sama dia. Getaran ini semakin bertambah.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Thrill of Love
Teen FictionTidak enak hati, itulah yang aku rasakan. Karena mamah, aku jadi seperti ini. Kini aku menderita, kalau bukan karena mamah, aku tidak akan jadi temannya. Aku di tugasi untuk membantu murid baru, dia anak teman mamah ku. Merepotkan, pasti. Dia sudah...