Keadaan hening, sunyi sementara yang entah sampai kapan hilangnya. Bapak tua itu berada pada posisi tersebut. Melamun dengan lamunan yang panjang, matanya mulai berkaca-kaca menghiasi muka keriput kecoklatan sembari menatap anak lelakinya yang tertunduk ketakutan. Duduk berdua di bangku panjang beralaskan kayu murni, didepannya ada meja yang disusul dibelakangnya seorang pengurus duduk sembari mengetik sebuah surat keputusan terhadap Anak Bapak tua itu.
Di dalam ruangan inti yang tak begitu besar, Bapak dan Anak itu fakum melihat dinding-dinding putih membosankan. Mengharap banyak kepada tuhan, agar anaknya itu selamat dari masalah yang dibuatnya sendiri. Tak begitu besar namun juga tak begitu kecil, hanya Mencuri, anak ini terancam didrop out dari asrama pendidikan.
Sudah dua tahun lamanya anak itu belajar di asrama pendidikan dan hasilnya, jauh lebih baik daripada sebelumnya, saat ia bebas melakukan apapun yang dikehendakinya. Perasaan anak itu senang, pasti bahagia saat seseorang akan bebas dari asrama pendidikan yang sebegitu ketat. Namun, ia masih takut, tak tahu apa yang terjadi jika pada surat, resmi tertulis namanya didrop out. Lebih tepatnya pada bapaknya yang kini doanya semakin kuat, begitu juga ia mulai menangis perlahan, memikirkan juga tentang apa yang terjadi jika anaknya benar-benar didrop out. Mengingat anaknya yang hampir dewasa namun masih saja berperilaku layaknya masih remaja. Tak akan bisa terbendung atas kemauannya mengingat dirinya sendiri yang mulai rabun, tak kuat dan tak dapat beraktivitas banyak. Kehawatiran mulai datang menghadannya.
Bunyi keyboard laptop masih terus berdetak, bertanda belum selesainya pengetikan tentang identitas anak itu. Keadaan masih sama, tak jauh berbeda seperti tadi. Fakum. Tak ada suara kecuali isak tangis bapak itu. Karena melihat Bapak, anak itupun ragu apa yang akan dikerjakannya sekarang. Hendak menangis atau tersenyum? Tampak ia bimbang, pusing hingga memutuskan untuk diam dengan muka yang berseri-seri.
"Selesai. Mari Bapak dan Adek ikut saya menuju ruangan keputusan." Ujar seorang pengurus yang telah selesai mengetik identitas anak itu untuk keputusannya. Berjalan keluar ruangan melewati kantor-kantor pengurus yang masing-masing ada bagiannya, berukuran kecil namun cukup untuk sebuah kantor asrama.
Berjalan tak lama, akhirnya mereka disambut di ruangan tujuan, ruangan keputusan. Tampak pengasuh sedang duduk di kursi, juga bapak dan seorang anak itu. Membacakan namanya agar lebih dekat, Pak pengasuh dengan tenang memulai keputusan. Perasaan tegang mewarnai kejadian ini, baik bapak maupun anak itu sendiri.
"Salim, kelas dua. Terbukti benar-benar mencuri. Untuk dijadikan kaca perbandingan di asrama pendidikan ini, kami dewan guru terpaksa memutuskan, bahwa salim didrop out dari asrama pendidikan tercinta. Beribu-ribu maaf kami ucapkan, semoga menjadi lebih baik dengan bimbingan orang tua." Putus pengasuh yang berseragam resmi dengan jas yang menempel di badannya juga celana hitam yang menemaninya. Menutup dengan singkat acara keputusan ini lalu pergi sembari menahan air mata sembari meminta maaf kepada Bapak anak itu.
Rumah tak begitu besar milik Bapak itu menjadi tempat tingggal mereka. Duduk di sofa, Bapak itu memanggil anak tercintanya. Bukan hendak marah, melainkan memberi kebebasan baginya agar ia patuh kepadanya dan tidak mengurung diri di kamar pribadinya.
"Pakai semua barang eletronik yang pernah Bapak sita kemarin. Tetapi dengan syarat, kamu harus patuh terhadap perkataan Bapak dan jangan mengurung diri di kamarmu! Kini, kau tak kulanjutkan lagi sekolahnya!" Pesan Bapak itu kepada anaknya yang membuat senyum mengembang di bibirnya. Dengan senang ia meninggalkan Bapaknya sendiri dan pergi tak mengingat lagi tentang Ibunya yang telah wafat dua tahun lalu saat ia berangkat ke asrama pendidikan. Mengambil semua barang eletroniknya dan memindahkannya ke kamar. Mulai dari kabel hingga laptop kerja lengkap. Semuanya telah dipindahkan bagai orang yang merenovasi rumahnya. Melihat anaknya semangat, Bapak itu tersenyum dan tidak memikirkan bagaimana kedepannya.
Sekian tahun berlalu setelah proses drop out kala itu. Bapak keriput itu kian sedih, sangat-sangat kecewa telah membebaskan anaknya. Di masa tuanya ini, pastilah setiap orang tua ingi selalu berbahagia, berkumpul bersama anaknya dan dekat bersama anaknya. Namun harapan Bapak itu untuk dekat dengan anaknya sangat sulit terkabul, bagai mustahil saja. Kini air mata yang dulunya terakhir jatuh saat proses drop out, kini terulang kembali karena anaknya kian hari, kian berdiam dikamarnya. Ini tak luput juga karena barang-barang eletronik yang diberikan Bapak dahulu. Saat ditanya, anak itu menyentak. Saat disuruh mengulangi karena bapak mulai agak tuli, ia membangkang. Padahal, jika berpikir ke belakang saat anak itu kecil kemudian bertanya pada Bapaknya, pastilah Bapak dengan sangat ihlas menjawab berkali-kali, diulangi walau anaknya tak paham dan terus bertanya. Terutama saat ia mulai belajar eletronik kepada Bapaknya.
Kini Bapak itu terbaring di kasurnya menunggu ajalnya tiba karena tak kuasa lagi melihat anaknya yang dengan leluasa meninggalkannya. Faktornya juga karena didikan Bapak itu sendiri hingga kini ia lemas dan tiada siapa di dekatnya. Jika telah sepert ini, sang bapak terkulai lemas dan akan segera menemui ajalnya, tiba-tiba saja anak itu datang ke kamarnya membawa makanan kesukaan bapak itu, walaupun Bapak tidak bisa, tidak kuat lagi memakannya. Bapak hanya tersenyum melihat anaknya kini menaruh perhatian padanya. Rupanya anak itu sadar akan keadaan bapaknya, ditanyanya apa yang diinginkan Bapak, namun Bapak hanya menggeleng dan menunjuk anak itu kemudian kearah hatinya, menandakan jika ia ingin anaknya selalu berada di sampingnya.
Anak itu kini berada di samping bapaknya, mengabulkan permintaan yang mungkin menjadi permintaan yang terahir di hidupnya. Sadar kemudian merawat Bapaknya dengan sebaik-baiknya rawatan. Semakin hari, semakin berkembang senyum, performa dan stamina Bapak itu hingga anak dan Bapak itu kian sehat bersemangat, kembali lagi seperti tak ada yang telah terjadi disekitarnya. Namun naas, taqdir berkata lain. Bapak yang bersemangat di hari-harinya itu tiba-tiba saja jantungnya seperti akan ditarik. Untung, anaknya siap berada di sampingnya yang membuat Bapak tetap tersenyum walaupun ajal telah dirasakan akan membawa pergi ruhnya tak lama lagi. Tersenyum, tersenyum dan tersenyum. Disangkanya anak itu jika Bapaknya hanya jatuh biasa. Namun, barulah ia sadar saat bapaknya perlahan menutup matanya dalam senyuman. Pergi ke alam sana yang entah, mereka akan bertemu lagi atau tidak.
Siapa yang akan mengurus anak itu sekarang. Dia masih remaja yang kelakuannya hanya sibuk di depan barang eletronik yang tak memberikan hasil apapun baginya. Siapa, siapa dan siapa? Yang akan memberinya makan, uang, nafkah dan segalanya. Anak itu bingung hinga akhirnya memutuskan untuk menyusul bapaknya, mati. Diambilnya pisau dari dapur dan segera kembali ke tempat Bapak berada sembari memeluknya. Anak itu dengan segala ketakutan menusuk dirinya sendiri hingga bolong. Dan kini, mereka sadar, jika mereka sama-sama tiada.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bebas Terbatas
Short StoryBebas Terbatas adalah buku kumpulan cerpen pertama karya penulis pemula M. Zulfiyan Alamsyah. Berisi tentang Warna-warni kehidupan yang siap mewarnai imajinasi kehidupan pembaca. Selamat membaca!