Persiapan sekolah telah terkemas rapi, menaikkan kaos kaki putih dan menali sepatu kebanggaanku. Waktunya berangkat tetapi tunggu dulu, aku teringat sebuah pesan, panjang dan memiliki arti untukku. Tetapi yang mana?
"Jangan lupa cium tangan orang tua sebelum berangkat." Sepertinya bukan itu. Yang mana?
"Kamu, Siapkan puisi sastramu karna kamu akan menjadi tersangka!".pesan pak wildan agak sinis. Entah mengapa setelah aku berpikir mengingat lebih dalam, akhirnya aku teringat juga tentang pesan itu, pesan yang dimana nanti aku akan menjadi tersangka dalam permainan yang tak pernah aku ketahui sebelumnya."Sidang pengadilan sastra."
Memasukkan tangan ke dalam kegelapan tas hitamku. Kucari sekertas puisi yang telah kusiapkan kemarin. Kuobrak-abrik dengan lembut hingga berhasil menemukannya. Ini dia, puisi berjudul "Aku" yang sengaja kubuat untuk acara kelas nanti. Hem putih kuangkat sedikit, rok merah kubangkitkan agar tak ada noda kotoran. Hanya untuk hari ini, hari spesial dimana aku menjadi tersangka. Sepertinya akan menyenangkan, pikirku dalam hati.
"Bu,pak! Aku berangkat." Ujarku kepada orang tuaku sembari mencium tangan mereka. Menaiki sepeda prempuan, bewarna merah muda yang berarsitektur tradisional. Aku mengayuhnya sembari tersenyum ingin menebak apa yang akan terjadi nanti. Sekolahku tak jauh, hanya 1,5 km barulah aku sampai di sana. Jangan salah! Perempuan sepertiku di desa kembang pura ini biasa menang dalam beradu cepat sepeda di jalan raya dengan para lelaki. Muda, tua sama saja. Tak butuh waktu lama, aku sampai di istana ilmuku,sekolah dasar kembang pura 12 dengan 3 lantai yang diisi penuh 12 kelas, lantai ke-2 ada 6 kelas begitu juga lantai ke-3. Ruang guru, perpustakan, musholla dan ruangan laboratorium di lantai bawah.taman didepan sekolah, hijau, lebar, luas, bagai hutan yang terawat. Indah memang kembang pura ini.
Menaiki lantai 2 dan masuk kelasku ,5A . Betapa terkejutnya aku karena kelas telah tersusun rapi layaknya sidang di penyidangan asli. Kursi tengah untukku, suporter duduk dibelakang kelas, saksi disamping kiriku, pengacara disamping kananku dan hakim didepanku. Wow, keren sekali langkah pertama ini.
Duduk di kursi tersangka, Aku menunggu sembari membaca-baca lagi, puisi khususku ini. Teman-teman suporter mengerumuniku layaknya Aku adalah maling yang tak bersalah.
"Tenang,ca!" Bujuk Ela ketua kelas 5A ini.
Satu persatu teman-temanku meninggalkanku sendiri seiring masuknya pak Wildan ke kelas ini. Aku pasti bisa. Semangatku berkobar saat pak Wildan memulai permainan ini. Mengambil alih perhatian dariku, diam kelam menghampiri kelas ini. Takut sekali.
"Mari kita mulai jika saksi: Joko dan Alfi, pengacara: Aksyif dan Daus, tersanka: Ica dan penonton telah siap semua?" Tanyanya pada kelas ini.
"Tentu kami siap, Pak!" Jawab salah satu siswa yang kuketahui adalah si badan besar. Ia adalah bigbos kelas ini.
"Baiklah, kita mulai!"
Ditengah-tengah pak Wildan memulainya, aku memandanginya. Rambut tipis dan muka yang runcing menandakan orang yang optimis dan sinis. Baiklah, Mari Kita mulai permainan ini.
"Aku...
Adalah Wanita perkasa
Lebih daripada Mereka" Bait puisi pertamaku, kuucapkan sedikit gugup dengan suara yang lantang dan gagah. Penonton terpaku padaku.
"Stop! Silahkan saksi!" Pelemparan permainan oleh Pak Wildan sebagai hakim kepada saksi agar mengkritik tulisanku.
"Begini, Pak. Dia adalah wanita yang kurus, lemah juga cengeng. Mengapa di mengangngap dirinya perkasa." Kritik Joko yang disambut tepuk tangan riuh dari tribun penonton.
"Dan juga pak,di puisi ini mereka itu siapa? Menurut saya ini tidak jelas, pak." Lagi-lagi, Alfi yang bertugas sebagai saksi melontarkan kritikannya yang di sambut suara setuju oleh penonton.
"baik,silahkan pengacara tersanka!" Lempar suara di lakukan lagi oleh pak Wildan dialihkan kepada penolongku.
Di permainan sidang sastra ini aku baru mengerti jika saksi adalah pencari kesalahanku, pengacara adalah penolongku, dan hakim adalah penengah di antara kami. Ilmu yang tak sengaja kudapat dari permainan yang menurutku seru, sidang sastra.
"Menurut saya, perkara itu adalah pengaduan penulis. Yang berhak menjadi siapa saja ialah penulis.Entah penulis hendak menggambarkan dirinya menjadi anak kecil atau malaikat. Itu terserah dia." Bantu Daus, teman pintar yang menolongku dari kekalahan kata.
"Menurut saya, Mereka adalah lawan penulis. Jika penulisnya perempuan maka Merekanya adalah kaum lelaki. Dan sebaliknya jika penulisnya lelaki. Bahkan bisa jadi lawannya itu adalah benar benar musuhnya." Bantu Aksyif membuat semangatku mengudara.
"Oke, Kritikan dan sanggahan sama-sama bagus. Tetapi Saya sebagai hakim menetapkan kepada tersanka bahwa tersangka masih aman." Putus Pak Wildan memenangkanku.
"Aku...
Putri kesalahan,
Wanita muda nan perkasa." Bait puisiku yang kedua membuat kelas ini bisu.
"Begini,pak. Bagaimana ia menghina dirinya sebagai putri kesalahan. Padahal ia adalah wanita yang jujur." Kritik Alfi disambut tepuk tangan ceria oleh penonton anggota kelas.
"Oke, tanggapan pengacara?" Tanya pak Wildan kepada pengacara yang dibalas dengan gelengan kepala mereka
"Skor imbang, 1:1." Keputusan Pak Wildan yang membuat hatiku bimbang.
"Aku...
Adalah wanita cngeng,
Yang ditangisi oleh seluruh alam." Bait ketiga puisiku yang kubaca dengan sedikit mengeluarkan air mata karena penghayatanku yang sedikit mendalam.
"Hu..." Penonton bertepuk riuh untukku.
"Begini, Pak. Bagaiman ia menangis dan tangisannya ditangisi seluruh alam? Tidak mungkin, Pak!" Kritik Joko.
"Bisa kog!" Suara yang tiba tiba muncul dari arah suporter, rupanya Ela yang mencoba membantuku. Seperti tak terima saja Ela itu atas kritikan Joko
"Tanggapan?" Tanya pak Wildan kepada pengacara yang dijawab dengan isyarat gelengan kepala yang berarti tidak.
"skor 2:1 untuk kebenaran saksi. oleh karena itu, tersanka harus di hukum dengan sebenar-benarnya hukum.yaitu,berdiri di depan tiang bendera selama 30 mnit Karena terbukti kalah dalam mempertahankan argumennya." Tegas pak Wildan
Aku kalah dan harus menerima hukuman. Tetapi tak apa, sebagai pengalaman. Lagi pula puisi ini memang jelek dan salah. Seperti puisi tadi, Aku adalah wanita perkasa .
"maafkan kami,ca!"Suara maaf aksyif dan Daus.
"santai saja, aku wanita perkasa? Aku malah senang bisa dihukum seperti ini." Jawabku tenang membuat lega hati mereka.
"Pelajaran yang dapat kita petik adalah penulis bisa menjadi segalanya. Bisa menggambarkan dirinya itu siapa saja. Benar?" Petik pak wildan dari permainan ini.
Perlahan aku berjalan menuruni tangga, mengulur waktu agar tak terlalu lama aku berdiri nanti. Anak tangga peranak tangga kulalui satu-persatu, mengantarkanku kedepan tiang bendera yang berada didepan sekolah ini. baiklah, hanya gara-gara permainan sidang sastra, aku dihukum berdiri 30 menit didepan tiang bendera. Lebih baik rasanya daripada harus karantina. Kepada sang saka merah-putih. Hormat, grak!
Lima jariku telah brada di pelipis mataku. Berdiritegak lurus menggambarkan wanita perkasa. 30 menit itu tak lama, apalagi suaramendung dan berangin mampir di desa Kembang Pura ini. Wahai merah-putih!Terimalah abdiku padamu, menghargai guru.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bebas Terbatas
ContoBebas Terbatas adalah buku kumpulan cerpen pertama karya penulis pemula M. Zulfiyan Alamsyah. Berisi tentang Warna-warni kehidupan yang siap mewarnai imajinasi kehidupan pembaca. Selamat membaca!