"Untuk yang muda! Esok ada edisi khusus untuk kalian. Jangan lupa, beli korannya. Jangan sampai kehabisan karena edisinya terbatas." Tutur kakek pembawa kabar sembari berjalan mengitari desa langganannya.
Bertopi layaknya seorang koboi, berkaos pendek hijau dan bercelana biru. Kakek dengan sepeda ontel tuanya beraksi pagi petang pukul enam tepat mengantarkan Koran kepada langganannya dan menjajakannya kepada pejalan kaki pagi hari.
Kabar khusus pemuda yang dikatakannya membuatku penasaran, juga membuat desa ini gempar akan kabar itu. Menceritakannya kepada teman-teman di sekolah hingga menjadi gosip teraktual hari ini. Pak gurupun rela mendengarkan cerita murid-muridnya yang sibuk dengan sendirinya, menunda pelajaran hingga bel pulang berbunyi.
"Teed.." suara bel sekolah dasar yang membubarkan seluruh siswa dari cerita kakek pembawa kabar itu.
Berlari pulang ke rumah, tak sabar ingin segera memberitau orang tuaku tentang kabar ini. Rumah sederhana bercat hijau daun, disanalah tempatku juga ayah dan ibuku tinggal. Pintu rumah kudobrak, kutemui ayah dan ibu sedang bekerja di tempatnya masing-masing. Ayah di meja laptopnya dan ibu di meja jahitnya. Aku punya ide untuk menyatukan mereka dalam satu ruangan, tempatku berada lebih tepatnya ruangan keluarga. Dengan cara berpura-pura.
"Yah, Bu. Tolong, Di rumah ada maling!" Ucapku keras mengagetkan mereka. Seperti yang telah kuduga, mereka datang dengan tergesa-gesa ke tempatku berada. Tetapi yang tak kuduga ialah Ayah yang datang membawa kujang dan Ibu yang datang membawa pisau dapur dan gunting. Kacau.
"Kemana malingnya? Dimana?" Tanya ayah dengan suara yang sedikit mengangkat namun tergesa-gesa.
"Malingya adalah Aku, pencuri perhatian Ayah dan Ibu." Ujarku sembari memberikan senyuman.
Tampak di kedua wajah mereka rasa kesal yang menumpuk. Kujang terlempar jatuh dan pisau juga gunting ibu tersentak ke lantai yang menimbulkan bunyi Khas "Ting,ting." Mengatakan yang sebenarnya untuk mengubah wajah mereka yang semula kecewa menjadi gembira serasa adalah solusinya. Aku bercerita panjang lebar tentang pembawa kabar dan Koran minggu itu. Namun pada intinya, aku hanya ingin orang tuaku membelikanku Koran.
"Santai saja, nak! Pasti Ibu belikan, apalagi koran yang menambah wawasan" Jawab ibu setuju padaku.
Ya, aku senang sekali mendengar jawaban Ibu. Pergi dari rumah untuk hobiku, mendaki bukit, sepertinya lebik asik untuk mempercepat waktu. Tetapi restu orang tua harus kukantongi terlebih dahulu.
"Yah, aku mau ke bukit." Izinku pada ayah yang sedang asik di depan laptopnya.
"Jangan sampai pulang jam Sembilan malam!" Jawab ayah pasrah.
Aku tak tau apa yang membuat orang tuaku baik sekali hari ini. Apakah karena mereka sibuk sehingga apa yang akan kulakukan diizinkannya?
Perlengkapan mendaki telah siap. Hanya makanan di dalam tas, kaca mata, sandal daki dan mantel. Bukit yang tak terlalu jauh dari rumahku bernama rong-marong, ketinggiannya hanya 1200 m. Untuk mendakinya hanya butuh waktu satu jam. Aku telah berada di depan rumah, menunggu teman karibku yang bertinggal tak jauh dari rumahku, masih tetangga. Ini adalah kali ketujuh, kami mendaki bukit Rong-marong.
"Ayo,Ti!" Suara yang tak asing lagi bagiku mengagetkanku, tampak ia adalah Iil, teman karibku yang kumaksud awal tadi.
Berjalan perlahan menuju bukit, disambut tulisan perbatasan selamat datang pada kami. Semoga saja kami selamat sampai ke puncak bukit, bahkan sampai pulang kembali. Berjalan lurus dari gerbang menoleh kanan-kiri. Bukit ini sama dengan bukit lainnya. Sama mempunyai hutan, binatang buas, rerumputan besar nan liar dan pemandangan indah dari ketinggian.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bebas Terbatas
Short StoryBebas Terbatas adalah buku kumpulan cerpen pertama karya penulis pemula M. Zulfiyan Alamsyah. Berisi tentang Warna-warni kehidupan yang siap mewarnai imajinasi kehidupan pembaca. Selamat membaca!