Kamar kosku telah terkunci rapi, siap untuk ditinggalkan khusus hari ini, hari yang begitu istemawa untukku. Entah orang lain mengistimewakan hari ini atau tidak, aku kurang tahu. Yang kuketahui hanyalah hari ini adalah hari ulang tahun kekasihku, seorang wanita yang akrab dengan sapaan Mouvieda.
Sengaja melarikan diri dari pekerjaanku hari ini, karena izin yang kuurus untuk libur dari pekerjaan tak direspon oleh Bang Bojal, Bos berbadan besar perusahaan batubara, tempatku bekerja. Hari ini saja. Ya, hanya hari ini aku melarikan diri. Sepadan jika mengingat hari ini, hari yang istimewa. Semoga saja proyek ulang tahun yang telah kususun ini, aman-aman saja.
Perjalanan panjang dari tanah perantauanku menuju pulau kecil, tempat dimana aku dilahirkan juga dia, Mouvieda. Membuatku harus bersabar mengarungi lautan dari nusa tenggara barat menuju pulau Sapeken, pulau yang tercatat sebagai pencetak para perantau tangguh. Sekitar satu setengah hari waktu yang dibutuhkan. Namun beda cerita bila perantau Sapeken yang mendayung perahunya, bisa jadi waktu Selama itu dipangkas menjadi satu setengah jam, mengalahkan kecepatan kapal cepat yang berada di nusantara ini, perahu kecil yang bertenaga besar.
Sudah kukatakan jika tak butuh waktu lama bagi perantau Sapeken. Terbukti, setelah mendayung dengan tenaga besar yang kini hampir terkuras. Kini, aku telah bersandar di dermaga utama pulau ini. Bahkan, kini aku tengah berkelana berjalan menuju rumah kekasihku. Perlahan, mengingat-ingat kembali alamat rumahnya. Maklum, sudah tujuh bulan lamanya, aku berada di perantauan.
Aku memang tak membawa apa-apa kecuali uang sebesar dua ratus ribu rupiah yang kusimpan di kantong celana hitam. Hari mulai sedikit memanas, untung saja, kaos putih yang kukenakan ditambah angin pesisir membuat keadaan panas-panas sejuk, cuaca yang lama kurindukan kala di rantau.
Menyusuri jalan agak ke dalam, tepatnya plosok. Aku kembali mengasah ingatanku. Wajar saja, hanya dua kali aku menuju rumahnya dan ini adalah kali yang ketiga. Melewati kebun yang menyerupai hutan dan menembus pedesaan-pedesaan. Jangan sangka, aku lelah sekali karena perjalanan ini kutempuh dengan mengendarai sandal jepit biasa.
Dengan sabar, aku mendapati rumahnya setelah perjuangan dan pengorbanan kulakukan. Kuusap keringatku dengan segera, sangat-sangat ingin mengetuk pintu rumahnya dengan terburu-buru memberikan kejutan dengan kedatanganku disini, dihari spesialnya pula. Berdindinding kayu, tak begitu besar dan bisa dikategorikan sederhana, itulah rumahnya.
"Tok,tok." Ketukku pada pintu kayu dengan raut muka yang ceria ingin segera bertemu belahan jiwaku.
"Ah, bang Ilman. Baru datang bang?" Pintu terbuka, namun yang kuharap belum muncul juga. Mungkin karena dia belum tau, siapa yang datang?
"Iya, Abang baru datang. Ngomong-ngomong Mbak Vidanya ada, dek?" Tanyaku pada calon adik iparku yang tadi membukakan pintu rumahnya untukku.
"Abang jangan bercanda. Bukannnya Mbak Vida merantau sama Abang. Pesan terahirnya saat Abang pergi merantau setelah tiga bulan lamanya, katanya mau mengejar Abang." Jawabnya membuatku tak percaya.
"Yang benar saja? Jujur Abang gak lagi bercanda." Ditengah-tengah aku bertanya, meminta penjelasan lebih jelas lagi tentang kepergiannnya. Calon adik iparku tak menjawab lalu menutup pintu rumahnya dengan keras, membuatku tersentak dan sadar jika ini tidak ada unsur kebohongan.
Suasana tiba-tiba saja berubah menjadi sunyi, namun tak lama hancur karena bunyi suara tutupan pintu yang amat keras. Adik iparku masuk ke dalam rumahnya tak memercayaiku, membuat aku meneteskan air mata melihat perjuanganku sampai disini, mulai kabur dari pekerjaan, berlayar mengarungi lautan yang luas dan berjalan berkelana menuju rumahnya yang lumayan plosok. Namun naifnya aku tak menghubunginya, karena kuingin kedatanganku kali ini menjadi kejutan di hari jadinya. Kemana lagi aku harus mencarinya? Memang, dulu aku sempat meminta izin padanya untuk merantau ke Jakarta, namun naas, aku berlayar ke timur hingga berlabuh di Nusa Tenggara Barat. Aku yakin, kini ia berada di Jakarta, semoga saja ia aman disana, di kota yang sulit bagiku untuk mempertahankan hidup.
Hilang sudah bayangannya, formasi skema untuk acara ini yang telah kupersiapkan luluh-lantah berantakan. Tak terurus, sengaja kubiarkan berantakan lalu hilang bahkan sampai terbang kemana-mana. Pergi perlahan dari rumahnya, berharap ada seorang wanita yang kupinta memanggilku untuk tidak pergi, tampak aku mengharap keajaiban, setidaknya aku memohon seperti sinetron-sinetron itu terjadi. Kutunggu panggilan itu, namun tak kunjung ia datang memanggilku. Disaat seperti ini, saat aku yang jatuh dari yang namanya cinta, tiba-tiba saja panggilan datang di handponeku. Sontak aku tersenyum karena harapanku yang terkabul dengan cepat. Tak lama melihatnya dan masih tersenyum, aku bergelimang air mata sembari tersenyum karena telepon panggilan yang kudapati dari Bang Bojal, Bigboss perusahaanku.
"Aku tahu, kamu tengah pulang sekarang. Sudah tak usah kembali, masalah gaji biar kukirim ke alamat rumahmu. Baru saja, aku berkata memakai kalimat yang halus. Kalimat kasarnya ialah , Kamu dipecat!" Putusnya. Belum aku menanggapi suara orang besar itu, dia mudah saja mematikan handponenya, kuhubungi lagi, namun tak ada tanggapan. Sudahlah, kuteriakkan tangisanku memenuhi desa ini. Uang yang kucari diperantauanku, kutabung. Kini, hanya itu yang kupunya untuk sementara sebelum kiriman itu datang dan aku mendapat pekerjaan kembali. Apa yang akan kukatakan pada orang tuaku? Aku malu, belum lagi berpikir tentang barang-barang yang kutinggal di rumah kosku. Untuk sementara, cukup sudah ceritanya. Inilah aku, perantau yang jatuh, tertimpa tangga pula.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bebas Terbatas
Short StoryBebas Terbatas adalah buku kumpulan cerpen pertama karya penulis pemula M. Zulfiyan Alamsyah. Berisi tentang Warna-warni kehidupan yang siap mewarnai imajinasi kehidupan pembaca. Selamat membaca!