Sebait Masa Lalu

14 1 1
                                    

Berhubungan dengan lelaki ini cukup membosankan, membuat otak jenuh dan terkadang enek melihatnya. Lelaki berkacamata, kurus dan sisiran rambutnya yang biasa telah tercermin bahwa dia adalah kutu buku juga pintar. Prestasi di Universitas ini dia raih dengan mudah, entah apa jimatnya sehingga ia mendapat beasiswa sampai lulus nanti. Apakah karena peringkatnya yang selalu best one di fakultas kedokteran? Entah. Hanya dosen yang tau akan masalah itu.

Jam 14.30 aku selalu menunggu jemputannya di depan gang rumahku. Seperti biasa, dengan hem kotak-kotak dan celana hitam dia muncul di depanku. Berbonceng padanya melintasi jalan raya yang macet amat menyenangkan bila ia menghiburku dengan leluconnya. Universitas negeri, tempatku juga dia menjadi mahasiswa muda Negeri. Rambutku berantakan dielus angin pagi, seiring sepeda motor ini berjalan ke kampus. Itu dia, kampus dengan fakultas terbanyak di negeri ini, kampusku juga dia.

Berjalan masuk menuju kelas fakultas kedokteran dan duduk berdua, berbincang dengannya mengenai masa depan. Bukan tentang pernikahan, melainkan tentang syarat kelulusan di universitas ini. Bertanya ini dan itu, demi hari esok.

Ini adalah alasannya mengapa aku rela menjadi kekasihnya, tak mungkin lama, mungkin hanya sampai lulus lalu setelah itu putus. Mempermainkan perasaannya dan memanfaatkan otaknya, itulah aku yng hanya mengambil enaknya saja.

Perbincangan terpaksa dihentikan seiring masuknya dosen khusus bagian kepala di kelas ini. Mengajar hanya sebentar, hanya 2 jam namun gaji dosen ini mencapai 15 juta. Itulah gaji dosen khusus di universitas ini, enak sekali. Mendengarkan acuh tak acuh, mengikuti arus air, begitulah aku setiap harinya, karena aku berpikir bahwa dibelakangku masih ada kekasihku.

"Tugas kali ini adalah membuat kliping tentang kesehatan kepala! Mengerti semua?" Tegas pak Waryo, guru khusus kepala.

Tugas itu sangat tak berarti untukku. Seperti biasa, aku menyerahkan tugas ini kepada Dodit, kekasihku untuk dikerjakannya. Itulah pemanfaatan cintaku untuknya. Jika dipikir, cintaku padanya hanya sekedar orang kenal, memanfaatkan cintanya karena aku memiliki alasan lain yang lebih baik dan pas untukku.

Kuliah telah berakhir baru saja. Aku juga baru diantarkannya ke tempat semula, gang depan rumahku. Salam miniku, kuucap untuk mengingatkan tugas klipingku yang harus sudah selesai esok. Sok manis, aku melontarkannya.

"Jangan lupa tugasnya!"

"Siap, Bu." Balasnya membuatku muak mendengarnya.

Masuk dalam rumah dan segera berkemas untuk sesuatu yang telah kupersiapkan lama. Secepat mungkin aku berkemas, waktuku tinggal 10 menit lagi untuk pergi bersamanya. Kupilih gaun terindahku, berwarna biru tua. Entah mengapa aku memilih gaun ini? Perhiasan-perhiasanku, kupasang rapi di leher, gelang dan jariku. Serasa telah rapi, indah nan anggun, aku siap menunggu dan berangkat.

Seperti biasa, aku menunggu di gang depan rumah. Duduk manis menunggu orang yang istimewa, kekasihku yang sesungguhnya. Tak lama karena ia adalah orang yang disiplin waktu, jika 3 maka 3. Dipanggilnya aku dari mobil sedan miliknya. Dari kejauhan, dia melambaikan tangannya sembari menebarkan senyum mempesona. Perlahan, ia keluar dari mobil dan datang menjemputku.

"Sudah siap, yang?" Tanyanya membuatku geli.

"Tentu." Jawabku singkat dan padat.

Digandengnya aku ke dalam mobil sedannya. Duduk dan mulai berangkat perlahan menuju pusat perbelanjaan, Plaza. Berjarak kurang lebi 1,5 km dari rumahku, amat jauh bila ditempuh dengan kaki telanjang. Namun, lain lagi ceritanya bila ditempuh dengan mobil sedan ini. Tak sampai 7 menit jam tanganku, sampailah kami di pusat perbelanjaan ini.

Kanan-kiriku kulalui hanya gedung-gedung perkantoran. Memang seperti itu ibukota Indonesia, Jakarta. Lampu sorot dimana-mana membuat cahaya terang di langit ibukota ini. Untung saja, perjalanan tadi tak macet yang membuat kami cepat sampai di tempat, pusat perbelanjaan.

Bertingkat tiga lonjong ke atas, Plaza ini berdiri kokoh. Langkah pertama kuangkat dengan membuka pintu otomatis. Aku dan Rio menjelajahi lantai pertama sebagai langkah awal. Tempat pakain, itulah penghuni lantai satu ini. Satu-persatu baju dan gaun memekakan mataku dan menggodaku untuk membelinya. Untung saja, aku tak gila harta, tak manja untuk meminta Rio membelinya meski ia berkali-kali menawarkanku untuk memilah-milih. Sudahlah, Aku bukan wanita seperti itu.

Lantai pertama kuakhiri dengan membeli sebuah roti dan es teh. Itupun karena terpaksa karena Rio yang ngotot hendak menteraktirku. Menaiki eskalator menuju lantai kedua. Tak ku sangka, lantai dua ini telah terbanjiri dengan batu akik yng akhir-khir ini tren kembali. Semua akik mulai dari bacan, zamrud, hingga sulaiman madu tersedia disini. Kami adalah pasangan yang tak suka dengan batu-batu itu. Kami naiki lagi eskalator menuju lantai 3, tempat area permainan.

Rata-rata disini adalah permainan anak balita yang bila dicocokkan dengan umur kami, sangatlah membuat kami tak terhibur, membuat bosan saja walaupun warna-warni gambar menghiasi area ini. berkeliling sebentar, kami lekas turun untuk mempersingkat waktu.

"Apa yang kamu mau agar malam ini menjadi terkenang untuk selamanya?" Tanyanya menawar untuk yang sekian kalinya.

Sudah kukatakan aku bukan wanita murahan. Meninggalkan plaza berkaca dan pulang kerumah masing-masing serasa lebih baik setelah melihat jam yang menunjukkan pukul 22.23. menaiki mobil dan tancap gas dari plaza ini. Istirahat dari kepenatan juga kelelahan.

"terimakasih untuk malam ini!" pesanku khusus menghiburnya,

Rio pergi dengan Sedannya mengingatkanku tentang Dodit. Apakah tugasnya sudah siap? Daripada hanya menjadi tanda Tanya, kutelpon ia lewat handpone kecilku.

"Dit, tugasnya siap?" sapaku untuknya.

"santai nyonya, beres." Jawabnya membuat kuping ini lagi-lagi muak mendengarnya, membuatku segera basa-basi dan menutup telponnya, terimakasih Dit,

"tut... tut... tut..." Suara kecil handpone mungilku seiring putusnya hubungan telepon dengannya.

Malam bertabur bintang dan angin sepoi-sepoi mengantarkanku ketempat peristirahatan, kamar kecilku. Mengingat dua lelaki sebelum tidur sudah menjadi kebiasaan untukku. Dodit dengan vespanya dan Rio dengan sedannya. Mau pilih yang mana?

Bayangan dua lelaki yang berbeda ini mengakhiri malam sunyiku seiring terlelapnya aku dalam tidur. Berdoa semoga dua lelaki itu tak mampir di mimpiku telah kubaca jauh tadi. Semoga saja aman, nyaman dan nyenyak. Tak ada satupun nyamuk yang menyentuh kulit putihku.

Entah, apa yang membuat waktu terus berjalan, arah jam yang selalu berputar ke kanan dan siang malam yang selalu bergantian. Tak disengaja, aku bangun cukup siang kali ini. Sudah dua hari aku terlambat bangun, apakah gara-gara malam yang padat? Kuperhatikan jadwal kuliahku hari ini, tak kusangka hari ini jam masuk pagi, tepatnya jam 09.00. Mengapa aku selalu menggunakan sistem cepat? Terpaksa hari ini aku harus tancap gas.

Semua persiapan telah berada pada tempatnya, aku menunggu jemputan Dodit kekasihku yang pertama. Tunggu, bukankah semalam aku telah mengatakan untuk tak dijemput hanya hari ini? Iya, aku mengatakannya. Tenang, taksi-taksi banyak berlalu-lalang disini, hanya tinggal memberhentikannya dan mengatakan lokasi tujuan. Simpel dan mudah, kan?

Taksi berwarna biru kunaiki, kukatakan dengan sangat jelas lokasi kuliahku, Universitas Negeri. Gedung-gedung tinggi menyapaku hari ini, taman sekitar jalan menyemangatiku untuk segera sampai ke tempat kuliahku. Semua pemandangan sudah biasa kulihat, menjadi kebiasaan yang tak tertarik lagi untuk dilihat. Tetapi tunggu dulu, ada pemandangan tak biasa di Plaza, pusat perbelanjaan, tepatnya di tempat parkir. Ada Sedan yang sering kunaiki juga Vespa yang kuyakini milik kedua kekasihku. Tampak dari kejauhan, mereka sedang bersama seseorang. Siapa mereka? Tanda Tanya juga rasa penasaran menghampiriku. Langsung saja kukatakan pada pak supir untuk berhenti dan menurunkanku disini.

Berlari ke arah mobil dan vespa itu berdiam dengan kencangnya, aku hampir terjatuh menabrak mobil-mobil lain yang sedang parkir disini. Kupaksa kaki ini berjalan mendekati mereka walaupun sebenarnya hati ini mulai sakit. Beberapa langkah, aku berhasil mengagetkan mereka dengan kehadiranku disini. Dua wanita yang tak pernah kukenal tengah berada disamping Rio dan Dodit, aku bersedih melihat mereka.

Berjalan semakin mendekati mereka yang kali ini gugup, mengintrogasi mereka yang tertangkap basah selingkuh bersama wanita lain. Aku kecewa kepada mereka. Apa yang menyebabkan mereka menduakanku? Bukankah seharusnya aku yang mempermainkan mereka? Cinta ini sungguh membingungkan. Tak usah basa-basi lagi Karena memang aku tak butuh penjelasan mereka. Langsung saja kuputuskan dua buaya ini dengan pukulan tangan lembutku. Sudahlah, tak perlu menangis dan tak perlu ditangisi. Karena sesungguhnya, aku masih memiliki simpanan yang ketiga.

Bebas TerbatasTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang