Museum Misteri

6 1 1
                                    

Hari liburku akhirnya tiba setelah ujian semester 2 seminggu lalu. Mencoba menghirup udara segar di kamar kosku yang berukuran 3 x 4, tak begitu megah juga kecil. Cukup untukku sendiri juga berkas-berkas kuliahku yang menumpuk di lemari besarku, tak bisa rasanya. Bagaimana bisa jika memang di depan kamar kosku terdapat gunungan sampah kertas bekas tugas kuliahku yang gagal, terkena coretan pena oleh Dosen karena salah atau kurang pas. Merasa tak nyaman dengan pemandangan ini, aku membereskannya.

Satu-persatu sampah kertas kupungut, ku pilah pilih dimana yang diperlukan dan tidak. Kebanyakan dari sampah ini adalah tugas penelitianku yang belum kurevisi. Aku memasukkan tanganku ke dalam gunungan sampah itu, mengambil sesuatu yang sepertinya tak pernak kubuat sejak SMA. Origami pesawat terbang dari kertas kuning aneh, kuputar otakku kebelakang mengingat-ingat tentang pesawat terbang kertas ini.

"Oh iya pesawat terbang ini diberi oleh adik kecilku, reido." Ingatku.

Baru saja aku teringat tentang pesawat kertas ini yang diberikan Reido kepadaku. Waktu memang tak terasa, Dua tahun sudah umur pesawat ini. dibuat di tempat pariwisata ancol Jakarta saat menerima brosur tempat pariwisata dari orang berkumis miring tak dikenal. Merasa tak berguna, Reido membuat brosur ini menjadi pesawat kertas juga karena ketika itu, ia belum bias membaca.

" Oh iya, brosur itu!" Petikku sembari membuka origami pesawat kertas dengan segera

Lagi-lagi aku teringat akan masa lalu, tentang brosur pariwisata yang diberi orang berkumis miring tak dikenal itu. Kubedah perlahan, berharap masih bertahan keutuhan; kertas dari kelunturan warna, bentuk dan tulisan. Syukurlah, kertas ini masih selamat. Hanya saja seperempat kertas, buram karna debu. Segera kubaca, berharap pariwisatanya masih ada untuk mengisi liburanku di ibu kota Jakarta.

"Kunjungilah! Museum lukisan nusantara Jln. A. alan no. 23 Jakarta timur."alamatnya masih utuh museum lukisan nusantara." Penasaran akan lukisa tersebut, kukemas barang yang akan kubawa. Simpel saja, hanya sepatu pantovel, celana hitam, kemeja batik dan kacamata. Kunaiki sepeda motor tuaku hasil pemberian jerih payah bapakku. Sembari memakai helm, ku gas perlahan mencoba mengetahui apakah bensinnya masih ful? Syukur, bensinnya masih cukup untuk menuju museum. Kutarik gas sangat meyakinkan dan mulai pergi dari kos tempat tinggalku.

Kanan kiriku hanyalah gedung-gedung kaca bertingkat, ruko-ruko tinggi nan luas. Tak ada tanah kosong apalagi sawah pertanian. Jika ada, pasti telah ditempati proyek pembangunan besar. Inilah Jakarta, ibukota Indonesia. Tak lama, Tujuanku tercapai setelah aku bertanya kepada warga tadi sebelum sampai. Melewati rumah-rumah yang sangat rapat dan gang-gang kecil lagi sempit. Akhirnya, itu dia. Gedung putih tak bertingkat dengan banner di atapnya. "Museum Lukisan Nusantara."

Pengunjung museum kudapati hanya dua rombongan. Satu rombongan taman kanak kanak dan satu lagi rombongan keluarga. Jumlah yang sedikit bila dipatokkan dengan hari libur. Satpam penjaga berseragam militer berdiritegak di depan pintu utama, menjaga keamanan disekitar museum. Tak sabar untuk segera mengetahui isi museum yang katanya lukisannya dari Nusantara, aku segera masuk.

" Selamat pagi, pak!" Sapaku sembari tesenyum.

"Siapa anda?" tanyanya dengan suara keras mengagetkanku juga rombongan taman kanak kanak yang telah masuk terlebih dahulu.

"Saya, pak. Mahasiswa di Universitas sebelah." Jawabku gugup sembari menunjukkan kartu identitasku.

"Satori?" tanyanya terperenjap kaget setelah mengetahui jika Aku benar benar Mahasiswa di Universitas sebelah.

"Iya pak, Saya."

"Oh, maaf Mas. Silahkan masuk!" pak satpam berubah ramah seketika.

Hatiku sangat terkejut saat digebrak pak satpam tadi. Kusangka, aku adalah buronannya atau musuhnya sampai Aku akan diinterogasi.. Pintu masuk telah kumasuki, terbuat dari kayu bernuansa tradisional yang apabila kumasuki msih menyisakan luang untuk sekitar 3 orang lagi untuk masuk bersamaan.

Tak lama, Aku telah disambut dengan lukisan bertuliskan Aksara Jawa. Aku tak paham, hanya saja tanda seru setelah aksara-aksara itu yang kuketahui. Kujadikan aksara ini sebagai foto pertama yang kuambil di Museum ini saat masuk dalam ruangan, Aku memotretnya.

"Cit."bunyi kameraku

Lebih Masuk ke dalam, Aku diperlihatkan tulisan yang nyata. Jika Aku menatapnya, maka Ia (lukisan) juga menatapku, mengikuti arah tempatku berada. Benar benar nyata, seperti kepala yang dipajang saja. Kupalingkan wajahku ke atas, terdapat banner yang bertuliskan "selamat dating di lukisan sastra".cukup penasaran membaca tulisannya, ingin segera mengetahui lukisan tersebut. Sebagai seorang sastra, kumasuki bilik kecil tersebut.

"Ow" teriakku mengagetkan rombongan taman kanak-kanak, yang berada tak jauh di depanku.

Aku berteriak bukan karna jatuh atau terpleset. Tetapi, karena lukisannya bergerak nyata dalam figura. Aku melihat hewan berkaki empat yang entah apa itu tercabik cabik oleh burung burung bengis sehingga darah mengalir di sekujur tubuhnya.

"Lihat! Burung itu terbang bebas di dalam figura". Ucapku mencoba memberitahu rombongan taman kanak-kanak yang berada di depanku sedari tadi. Sontak , mereka bertanya tak percaya.

"Yang mana kak?" Tanya salah satu siswa taman kanak-kanak yang penasaran dengan ucapanku tadi.

"Itu, dek! Lukisan sastra." Jawabku sembari menunjuk lukisan hewan tercabik burung yang Kumaksud.

"Ah, Mana? Kakak bohong. Apanya yang bergerak?." Sahut salah satu siswa taman kanak-kanak.

"Adanya hanya mata kakak yang bergerak tak jelas." Kejar hina salah satu temannya

Aku jadi bingung, padahal di mataku lukisan itu masih tetap bergerak. Ah, untuk membuktikan bahwa tulisan itu benar benar bergerak, kurekam lukisan itu dengan handpone kesayanganku.

Kudapati rekaman lukisan itu berdurasi lima belas detik, kuputar di dalam handpone dan lukisan itu diam. Padahal ketika Aku melihat ke lukisan yang asli, Ia bergerak dan tetap bergerak. Aneh, sangat sangat aneh. Apa mataku yang salah? Kuusap mataku, kuraba dan kutekan. Biasa saja, tak ada yang tak beres. Sampai disini, bulu kudukku mulai merinding.

Sekarang kudapati ruangan lukisan perang. Tidak, semua lukisan disini bergerak. Mulai dari perang zaman dahulu hingga zaman empat lima tersedia disini. Rasa takut menggangguku, Mataku tak kuasa melihatnya. Kerja rodi, tanam paksa dan lain-lain. Tidak, seperti TV dinding saja lukisan ini. Bambu-bambu runcing pejuang yang mendarat di tubuh penjajah, tembakan jitu penjajah yang menyasar di badan pejuang hingga penjajah yang menyiksa rakyat jelata tak bersalah, membuat hatiku geram dan tak kuat. Kupilih saja jalan pintas. Keluar museum.

Aku berbalik badan dan kutemui ruangan lukisan sastra. Kupercepat langkahku menuju tempat Aksara Jawa. Tidak, Lagi lagi Aku dikejutkan dengan sesuatu yang pernah Kulihat dulu. yaitu munculnya manusia berkumis miring tak dikenal itu lengkap dengn jubah hitam yang dikenakannya dulu ketika memberi brosur kepada Adikku Reydo di Ancol. Apa mataku yang salah? Kuusap untuk yang ke skian kali, biasa saja.

"Jika anda sendiri, haruslah berhati hati." Ujarnya sembari tersenyum mengeluarkan gigi putihnya sedikit melirik ke arah aksara jawa itu. Disini, barulah Aku paham tentang aksara Jawa yang berakhir dengan tanda seru itu.

Aku tak yakin dengan kehadirannya. Kucoba memalingkan wajahku ke arah lain dan melihatnya kembali. A! Dimana Dia? Batinku mulai gelisah. Berpikir apakah dia Manusia atau sebangsa jin? Keadaan kian semakin mencekam, kularikan langkah menuju tempat parkir sepeda dan mulai pergi dari museum misteri.

"Heeii! Mau kemana?" Tanya pak satpam sembari mencoba mengejarku karena aku keluar dari jalur pintu yang salah.

"Dasar pencuri kau pemuda!" teriakknya saat gagal menangkapku setelah nyaris jatuh karena tergelincir.

Aku tahu jika akudisankanya pencuri. Padahal kenyataannya aku tak mencuri apa-apa kecuali gambaraksara dan rekaman lukisan sastra yang berdurasi lima belas detik, bukankahwajar jika pengunjung mengabadikan atau mengarsipkan apa yang dikunjunginya.Siapa yang salah? Aku atau Mereka "Museum misteri". Tak ada yang mau disalahkandalam hal ini. Aku memiliki hak sebagi pengunjung untuk puas di museum yangbilamana berkunjung, jangan menelusurinya dalam kesendirian.

Bebas TerbatasTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang