Enam

12.2K 920 34
                                    

Dimulai dari part ini dan seterusnya akan menggunakan sudut pandang Author.

*

Dalam tidurnya, Brama seperti mendengar suara isakan tangis seorang perempuan. Dia juga bisa merasakan sentuhan pada punggung tangan kanannya. Sekuat tenaga Brama ingin membuka mata. Namun kedua matanya seperti lem super yang susah untuk dibuka.

"Sebaiknya anda pulang dan beristirahat Bu Seva."

Brama masih bisa mendengar. Kali ini suara bariton laki-laki yang dia yakini seseorang yang dia kenal.

Seva hanya menggelengkan kepala dan semakin mengetatkan genggaman pada tangan Brama.

"Banyu sudah melewati masa kritisnya. Dia akan segera sadar." Kata Bayu berusaha menenangkan Seva.

Sekarang sudah lewat tengah malam. Seva masih mengenakan pakaian kantornya tanpa ingin mengganti dan hanya bisa duduk sambil menatap kosong sosok Brama yang lemah di atas tempat tidur rumah sakit.

Seva diliputi rasa bersalah mendalam mana kala dia berhasil melarikan diri untuk mencari pertolongan namun saat dia kembali Brama sudah dalam keadaan penuh darah dan hampir tak sadarkan diri.

Sekali lagi dalam hidupnya, Seva melihat seseorang terluka dan mengucurkan darah segar dari balik tubuhnya. Namun kali ini karena harus melindungi Seva.

Perlahan Brama berhasil sedikit membuka matanya namun hanya beberapa detik kemudian dia kembali terpejam. Bayu langsung memanggil perawat untuk mengecek keadaan Brama. Perawat itu mengatakan kalau Brama masih dalam pengaruh obat bius operasi.

"Tusukan Bram- eh, Banyu untungnya tidak mengenai organ vitalnya sehingga dia akan cepat pulih." Timpal dokter Bian yang juga adik dampit Brama.

"Saya akan tetap di sini menunggu sampai Banyu sadar." Keukeuh Seva tanpa melepas pandangannya dari Brama.

Bayu melirik Bian untuk memberi kode agar keluar dari ruangan. Setelah mereka keluar dan memastikan Seva tidak akan mendengar percakapan mereka, Bayu berkata, "kamu tidak apa-apa, Bi?"

"Ini yang ketiga kalinya saya melihat kakak saya diambang kematian. Mungkin bisa dikatakan saya hampir kebal." Jawab Bian dengan senyum getir.

"Saya sangat mengerti perasaanmu. Dan saya juga yakin kamu mengerti tugasmu."

"Tentu saja, Pak. Saya sudah meminta dokter lain yang akan menangani Kak Bram dan tentu saja merahasiakan siapa saya. Apakah itu Seva saksi yang sedang dilindungi Kak Bram?"

"Ya, dia Seva Libria."

"Saya yakin kondisinya jauh lebih buruk dari kakak saya."

Bayu mengerutkan dahinya, "kenapa?"

"Saya sudah melihat catatan medis Seva saat dia dulu dibawa ke mari karena pingsan di ambulan. Kondisi psikisnya kurang baik saat itu. Dan jika dilihat kenapa dia perlu kakak saya untuk mengawalnya, pasti kondisi Seva bertambah buruk."

"Benar yang kamu katakan, Bi. Bram juga memberikan laporan serupa."

"Saya sarankan untuk memberikan waktu yang banyak bagi Seva agar rileks. Dia bisa mati muda karena stres." Kata Bian sambil menaikkan bahu. "Baiklah, Pak Bayu, saya percayakan kakak saya kepada Anda. Saya akan kembali bertugas."

Bian memberikan hormat kepada Bayu dan hanya dibalas dengan anggukan kepala. Bian berjalan meninggalkan kamar inap Brama sambil dalam hati terus berdoa untuk keselamatan dan kesehatan kakaknya.

Seva terbangun dan menyadari kalau dirinya sekarang berada di atas tempat tidur Brama. Dia duduk dan melihat sekitar kamar dengan perasaan bingung.

I Love You but I'm AfraidTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang