Akhir

20K 1.1K 59
                                    

Sudah sejak subuh tadi Meilina terus bersikap tak wajar di mata Seva. Tiba-tiba Bundanya itu mengemasi semua pakaiannya dan Seva. Memasukkan semua keperluan sehari-hari Seva ke dalam koper besar tanpa ditata terlebih dahulu.

"Bun, we need to talk. Maksudnya apa sih kita harus pergi dari sini? Aku masih harus ngurus kerja. Kalaupun aku bisa resign nggak semudah itu, Bunda."

Meilina memutar tubuhnya dan langsung berhadapan dengan putrinya itu. Mata Meilina bengkak karena semalaman menangis tanpa mau menjelaskan apa yang membuatnya menangis pada Seva.

"Harusnya Bunda sadar dari dulu untuk tidak menyetujui kamu kuliah dan kerja di Jawa Timur. Bunda pikir di sini akan jauh dari jangkauannya."

"Jangkauan apa dan siapa sih, Bun? Ya Allah, nggak bisa ya Bunda jelasin ke aku? Please, Bun. Kasih aku tahu kenapa aku harus pergi dari sini, keluar dari pekerjaanku bahkan kalau perlu kita pindah kota." Pinta Seva dengan menggenggam erat kedua tangan Meilina. Memang dia sering merengek kepada kedua orang tuanya, tapi itu adalah rengekan manja yang terkadang sengaja dia lakukan untuk menghibur kedua orang tuanya. Namun kali ini, Seva memohon dan menuntut penjelasan.

Meilina menatap iba Seva. Dielusnya pipi kanan Seva lalu menyelipkan anak rambut yang berantakan ke belakang telinga Seva. Meilina langsung membawa Seva dalam pelukannya sambil menangis sesenggukan. Berkali-kali dia mengucapkan kata maaf yang justru menambah kebingungan Seva.

"Please, Bun, jangan nangis. Aku nggak suka liat Bunda nangis kayak gini." Ucap Seva yang mulai ikut larut dalam tangisan Meilina. "Oke, aku turutin apapun mau Bunda tapi janji jangan nangis kayak gini ya. Please, aku nggak kuat liatnya." Tambah Seva melepas pelukannya lalu menyeka air mata Meilina.

"Maafkan Bunda sama Ayahmu yang egois ya, Nduk. Kami melakukan ini demi melindungimu, menyelamatkanmu karena kami sangat sayang sama kamu."

Seva hanya menganggukkan kepala walau dia masih tidak mengerti untuk apa semua kata maaf itu. Dan apa yang telah orang tuanya lakukan hingga membuat Meilina menjadi kalang kabut seperti ini?

Kini mereka tengah berada di Stasiun Kereta Api Wonokromo untuk perjalanan menuju Banyuwangi, tempat saudara jauh Meilina. Hanya ada dua jadwal keberangkatan, yang pertama tadi subuh dan terakhir pukul setengah tiga sore. Masih ada waktu tiga jam untuk menunggu kereta.

Seva menghubungi Gilang mengatakan untuk izin kerja selama tiga hari. Pikir Seva tiga hari akan cukup untuk merubah pikiran Bundanya yang masih tidak dia mengerti.

"Bun, masih tiga jam lho ini. Cari makan dulu yuk." Ajak Seva dengan raut wajah bosan.

"Makan di sini saja."

"Mahal, Bun, makan di dalam stasiun gini. Aku pengen Richees Factory yang di Maspion Square. Kan deket banget dari sini. Ke sana aja yuk." Ajak Seva dengan nada yang dibuat ceria.

Meilina menggeleng dengan tatapan mata tegas. Seva mengerti dengan tatapan itu. Tidak ada negosiasi model apapun untuk bisa meluluh lantahkan pertahanan Bundanya. Dan akhirnya Seva menghabiskan waktu tiga jamnya untuk tidur dengan bersandar di bahu Meilina.

Dielusnya pucuk kepala Seva dengan sayang oleh Meilina. Anak yang sudah dia besarkan selama dua puluh lima tahun bersama suaminya, yang sudah dianggap seperti anaknya sendiri. Satu-satunya permata hati dan keluarga paling dekat yang dia miliki. Tentu dia tidak ingin berpisah dengan Seva dalam jarak berapapun.

Ponsel Meilina berdering sebentar menandakan ada SMS masuk. Dari suaminya, ayah Seva yang bernama Purnomo. Dia memberitahu kalau sudah perjalanan dari Yogayakarta ke Banyuwangi untuk menyusulnya dan Seva. Purnomo tak kalah terkejut setelah Meilina memberitahu kalau Seva telah berhubungan bahkan pernah bertemu dengan Tjokro Arta Sasongko.

I Love You but I'm AfraidTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang