Sembilan

11.6K 954 49
                                    

Hari berikutnya, mereka berpamitan pada Pak Koco untuk kembali ke Surabaya. Namun sebelumnya mereka akan jalan-jalan di kota Semarang terlebih dahulu dan menginap semalam baru melanjutkan pulang ke Surabaya.

Ada rasa sedih pada diri Seva saat harus meninggalkan Bandungan dan kembali ke ramainya kota Surabaya. Dia sudah terlanjur jatuh cinta pada desa ini dengan segala keindahan alam dan suasananya. Begitupun Brama. Bukan karena dia menyukai tempat ini tapi setelah dari sini tidak ada alasan bagi dia untuk bertemu Seva lagi.

Sampai di kota Semarang mereka langsung menuju tempat-tempat yang biasa dijadikan destinasi wisata. Seperti saat ini tujuan pertama mereka ke masjid Agung Semarang.

Brama sudah memarkirkan mobil lalu berjalan memasuki kantor masjid Agung untuk menemui salah satu ustad yang juga kenalannya. Seva di belakangnya berjalan dengan gelisah membuat Brama menghentikan langkahnya saat sampai di depan pintu kantor lalu berbalik.

"Kenapa?" Tanya Brama bingung.

"Kamu kok nggak bilang sih kalau kita mau masuk ke sini? Lihat aku. Aku nggak pakai jilbab bahkan bajuku nerawang gini." Ujar Seva sambil menunjukkan hem biru muda yang tipis hingga menunjukkan tank top sebagai dalaman.

Brama terlihat diam mengamati Seva dari atas ke bawah. "Tunggu dulu di sini. Jangan kemana-mana." Perintahnya lalu meninggalkan Seva masuk ke kantor.

Tak berselang lama Brama kembali keluar membawa satu kain panjang dan satu kerudung terusan. Dia menyerahkan itu pada Seva.

"Pakai ini atau kamu mau nunggu di mobil." Kata Brama tanpa ekspresi.

Seva menerima itu dengan bengong namun dengan cepat dia mengenakan kerudung itu untuk menutupi kepala hingga setengah dadanya lalu mengenakan kain panjang menutupi pundak hingga atas perutnya.

Dia mengikuti langkah Brama kembali masuk ke dalam kantor masjid dengan berbagai pertanyaan karena Brama tidak menjelaskan siapa dan tujuan apa dia ke mari.

Sampai di dalam mereka disambut oleh seorang ustad yang mengenakan gamis di atas mata kaki, peci warna putih dan kacamata minus membingkai matanya. Brama menyalami ustad itu lalu berpelukkan. Sedangkan Seva menangkupkan kedua tangannya dan sedikit membungkuk tak lupa tersenyum pada ustad itu.

"Gimana kabar anta? Sehat?" Tanya ustad itu merangkul bahu Brama.

"Alhamdulillah sehat wal afiat. Kamu sendiri?" Tanya balik Brama.

"Tidak kurang suatu apapun. Alhamdulillah." Lalu kedua tertawa renyah bersama. "Anta bawa teman?" Tanya ustad itu sambil melihat Seva yang tengah salah tingkah karena merasa diabaikan.

"Oh iya, dia Seva teman ana dari Surabaya." Ujar Brama sambil menunjuk Seva.

"Masya Allah, anta pinter cari teman ya. Ayo silakan masuk."

"Se, kamu tunggu di sini dulu nggak papa ya? Aku ada perlu sebentar. Di sana ada beberapa toko dan pijat refleksi kalau kamu bosen lihat-lihat di sana." Kata Brama menunjukkan beberapa toko dan tempat pengobatan secara islami yang berada di lobi kantor.

"Oke." Jawab Seva mengembangkan senyumnya.

Brama dan ustad itu berjalan beriringan memasuki kantor. Mereka terlihat sangat akrab dengan saling melempar guyonan. Seva mengikuti petunjuk Brama untuk memasuki toko yang menjual pakaian muslim dan souvenir untuk menunggu Brama.

"Jadi ada apa anta ke mari?" Tanya ustad to the point setelah mendudukan diri di sofa kantornya.

"To the point sih, Zam. Pelan-pelan dong. Nggak deket lho aku bisa sampai ke sini." Brama terkekeh setelah mengatakan itu.

I Love You but I'm AfraidTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang