Gadis itu mendekap lututnya menghalangi angin malam yang menggigit dingin.
Tubuhnya tinggi, wajahnya pucat dan rambutnya ikal kecoklatan. Garis pipinya tegas, menandakan dia wanita angkuh. Dia tidak akan menebar senyum kecuali kepada Rafa dan beberapa orang yang dikenalnya.
Iris abu-abunya menatap foto yang terpajang di atas meja belajarnya. Sepasang anak kecil yang sedang tersenyum saling merangkul. Di samping foto itu ada secarik kertas sobekan yang diatasnya terukir tulisan ceker ayam 'Rafa love Zee'.
"Kenapa sekarang kamu jauh ya, Raf?" tanyanya pada ruang yang hampa. Pada tembok yang bisu, pada benda yang mati. Selalu, hatinya merindukan masa yang lalu. Ketika Rafa selalu tertawa bersamanya seperti masa kecil mereka yang berwarna.
Dia meringkuk di atas kasur bergambar bintang. Kamarnya hanya diterangi sinar redup lampu tidur yang warna-warni. Ada banyak foto yang tertempel di dinding hasil hobi fotografi. Selain itu, ada juga piala dari kejuaraan voli. Zisha, seorang pemain voli.
"Hih! Anjir ngapa gue melow gini sih?!" Dia bangkit dari tidurnya lantas mengambil bola voli. Sebelum bermain, dia menelpon seseorang terlebih dulu.
"Temenin gue main voli. Kita ketemu di taman biasa."
Sambungan telepon berakhir. Dia segera beranjak keluar dari kamarnya.
"Mau kemana, Nak?" tanya sang papa yang sedang menonton telivisi di ruang keluarga.
"Mau main voli sebentar di taman depan."
"Udah jam berapa ini?" Pria yang memakai kacamata itu beralih pandang ke Zisha yang berdiri di ambang pintu memegang bola volinya.
"Baru jam tujuh, Pa. Nanti Zee pulang dibawah jam sembilan kok."
"Yaudah." Papanya hanya mengangguk. Asalkan Zisha jelas pergi kemana, itu tidak masalah. "Eh tunggu, kamu sudah minum obat belum? Ingat ya, kamu tidak boleh kecapekan loh. Kamu belum sepenuhnya..."
Zisha segera menyela, "Iya, iya, Zee tau kok, Pa. Papa tenang ya, Zee gapapa."
Papa menatap Zee ragu-ragu. Mengangguk setelah beberapa detik berlalu terpaku. Zisha senyum, lalu mengucapkan salam seraya keluar rumah untuk pergi ke taman yang ada di depan.
***
"Rafa! Makan yah!" teriak Amah melongokkan kepalanya ke kamar Rafa yang terbuka.
"Iya!" jawab Rafa berteriak dari kamar mandi.
Rafa pulang telat karena latihan futsal dulu tadi. Jadi, dia tidak pulang bersama Dru. Lagian, Dru juga gak mau pulang bareng Rafa.
Selesai mandi, Rafa menjemur handuknya di tali tambang yang disediakan untuk menjemur. Dia masuk ke rumah Amah dan makan bersama Abah.
"Gimana sekolahmu, Raf?" tanya Abah membuka percakapan sambil mencomot ikan asinnya. Oh ya, kalau masalah makanan, Rafa tidak pernah protes. Apa aja dilahapnya, asal halal. Duduk lesehan di ruang tamu Amah menjadi hal yang mau tidak mau harus menjadi kebiasaan Rafa.
"Biasa aja," jawab Rafa mengedikkan bahu.
Rafa mulai menerima kalau dia sedang tinggal di lingkungan yang berbeda. Tidur di kasur yang tak seempuk di rumah, makan tak selezat hidangan Mama, ataupun hiburan yang tak semenarik di kamarnya. Rafa mulai terbiasa.
"Abah, kerjaan Abah apasih?" Rafa penasaran.
"Ohh, Abah penjaga rel kereta api."
KAMU SEDANG MEMBACA
Return Fall [1] : R and D
Teen FictionBertemu Dru merupakan takdir yang tidak pernah disangka-sangka oleh Rafa. Bermula dari hukuman Papa yang mengusir Rafa dari rumah, menjadi jalan awal bagi Rafa mengenal Dru. Melalui tingkah konyolnya, Rafa berusaha menggenggam hati Dru. Sayangnya, Z...