[13] Terpaksa Kembali

17.8K 1.9K 106
                                    

Angin malam mendayun pelan. Di sebuah taman depan rumah, Zee duduk memegangi bola volinya. Bingung ingin melakukan apa. Mau bermain, tapi sama siapa? Hanya dia sendirian tanpa seorang teman. Zee berharap sosok itu ada di sini, menemaninya bermain voli. Itu saja.

Suara langkah kaki menyadarkannya. Dia berbalik senang.

"Rafa!!" Kegirangannya luntur setelah melihat siapa yang kini ada di dekatnya. Wajahnya betubah masa, tertekuk.

"Lo masih nyangka gue dia?" tanya cowok berjaket hitam mendekati Zee. Duduk di samping Zee.

"Mpi..." Zee menggigit bibir, merasa bersalah. Jelas-jelas tadi dia yang menyuruh Rafly untuk menemaninya bermain voli, lantas mengapa harus berharap kalau yang datang Rafa.

"Apa kedatangan gue gak cukup, Zee?" Rafly memandang ke depan. Tersenyum getir karena cewek di sampingnya malah berharap kedatangan orang lain.

"Bukan gitu, Mpi. Maaf ya." Tidak enak hati. Zee yang menyuruh Rafly datang kemari, tapi dia juga yang berharap sebuah keajaiban, Rafa yang datang. Sudah merepotkan Rafly, tidak mengharapkan kedatangannya pula.

"Hahaha. Selow aja kali." Rafly mengacak-acak rambut Zisha. Memilih melupakan, tidak dimasukkan ke hati. "Yuk main. One on one. Yang kalah dapat hukuman. Kayak biasa." Tangan Rafly mengambil bola voli dari tangan Zee. Berdiri, siap bermain. Dia berdiri di seberang net.

Zee ikut berdiri di tempatnya. "Makasih ya!" seru Zee di tengah taman yang terang karena lampu memadai.

"Anytime." Rafly memulai service pembuka pertandingan. Beberapa menit setelahnya, mereka sudah larut dalam permainan one on one yang berlangsung sengit. 

Semenjak Rafa pergi, Zee selalu bermain dengan Rafly. Memintanya agar menjadi lawan tanding voli kala malam hari. Jauh dalam hati, dia berharap Rafa yang menemaninya, bukan Rafly. Namun, di sisi lain, Rafly tidak peduli jika harus jadi opsi cadangan. Menemani Zee bermain voli, merasa dibutuhkan oleh cewek itu, semua lebih dari cukup.

***

Di siang bolong hari libur, biasanya Dru menghabiskan waktu bersama Bapak, beres-beres rumah, atau eksperimen di dapur yang lebih banyak gagalnya. Hanya saja, kali ini berbeda. Rafa datang dengan pakaian rapi. Meminta izin ke Bapak mengajak jalan putri semata wayangnya. Mendadak.

"Emang mau kemana panas-panas begini?" Bapak baru selesai makan siang.

"Mau ke tempat yang adem, Pak. Yang banyak AC-nya." Rafa nyengir.

Dru yang sedang makan, menatap Rafa kesal. Telur ditangannya sebisa mungkin ditahan supaya tidak melayang ke muka Rafa.

"Wahaha. Yang bener. Ke tempat apa yang jelas dong." Bapak menanggapi guyonan Rafa. Tetap meminta kepastian.

"Ke KUA boleh gak, Pak?" Rafa memasang wajah innocent.

Bapak tertawa. Dru beringsut dari posisinya. Ke dapur membawa piring kotor. Melangkah dihentak, geram.

"Uuuuu... Anak Bapak galak ya..." Tubuh Rafa bergerak ngeri melihat reaksi Dru. Bapak masih tertawa.

"Bapak jangan ketawa!! Mending usir aja tuh orang!" teriak Dru dari dapur.

"Kamu jangan gombalin anak saya mulu, Raf. Bukannya seneng, malah marah." Bapak menepuk bahu Rafa.

"Saya suka lihat muka Ucica marah, Pak. Cakepnya natural."

Dru makin panas mendengar omongan Rafa. Sok-sok mendekati Bapak, memuja-muja putri kesayangannya supaya diberi izin, supaya Bapak mengizinkannya pergi bersama Rafa. Trik licik. Dru naik darah.

Return Fall [1] : R and DTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang