Sebuah pilihan yang Rafa ambil tidak akan bisa ia kembalikan lagi. Dia sadar betul akan hal tersebut, hanya saja rasa menyesal malah menyergap ia ke dalam lembah penuh kebimbangan. Salahkah ia kembali ke rumah sakit untuk meminta maaf kepada teman masa kecilnya itu?
"Aku gak tahu apa yang terjadi di antara kamu dan adik aku karena dia juga gak mau buka mulut. Apapun itu, aku yakin kamu udah nyakitin dia," ketus Zura yang wajahnya dipenuhi rasa kesal terhadap Rafa. Zura yang baru pulang dari luar negeri, segera pulang ke Indonesia saat tahu Zee sakit. Kebetulan juga dia sedang libur kuliah.
"Kak, gue gak bermaksud buat nyakitin hati adik lo..." Rafa mencoba menjelaskan kepada Zura, sayangnya, cewek berambut pendek itu tidak akan mau mendengarkan. Dia akan menjauhkan apa pun yang telah membuat hati adiknya sedih. Bahkan Rafa sekalipun.
"Lalu kenapa kamu balik lagi? Menyesal atas apa yang telah kamu perbuat? Dia tidak mau bertemu kamu, Raf." Zura bersidekap, menyandarkan punggung pada dinding rumah sakit yang dingin.
Mata Rafa terpejam nyeri, keningnya berkerut bingung. Kebodohan yang telah ia lakukan membuatnya tak enak hati.
"Memangnya kamu apakan dia?" tanya Zura pada akhirnya.
"Gue bilang kalau dia harus lepas ketergantungan terhadap gue. Bukannya apa, kadang gue merasa Zee gak bisa lepas dari gue. Dia punya hidupnya sendiri, kak," jelas Rafa pelan. Dia harus menyaring kata-katanya.
"Jadi kamu anggap adik aku benalu?" Pertanyaan Zura menusuk Rafa. Sangat.
"Enggak--" Mulut Rafa tergagap.
"Rafa... Rafa... Gak ingat apa dari kecil juga kamu ama dia nempel terus. Giliran sudah besar, kamu buang dia gitu aja..." Senyum Zura miris sekaligus meremehkan.
Raut wajah Rafa berubah tidak senang. Tangannya terkepal kuat. Ada gejolak emosi yang berpusat pada dadanya. Kalimat itu berhasil menjadi api yang membuat ubun-ubun Rafa panas. Tersinggung ia atas perkataan Zura.
"Gue gak sebrengsek yang lo bilang. Gue gak pernah ngebuang Zee. Gue cuma mau menyadarkan Zee kalau sekarang dia punya jalan hidupnya sendiri dan gak berhak ngatur-ngatur jalan hidup orang lain." Intonasi suara Rafa penuh penekan tanda ia menekan emosinya dalam-dalam.
"Terserah. Zee di dalam gak mau ketemu siapa pun. Pergi sanah. Sia-sia aja kamu ke sini." Tatapan Zura bermakna kalau Rafa harus enyah dari sini.
Akhirnya, terpaksa Rafa pergi bersama rasa kesal bercampur sesal yang menghancurkan kebahagiaannya hari ini. Dia sudah punya feeling kalau balik ke rumah sakit pasti akan diusir. Tapi, tetap saja dia nekat ke rumah sakit hanya ingin memastikan perkiraannya itu.
Rafa hanya tak enak hati dan cukup tahu diri telah menggoreskan luka melalui kata.
***
Pagi hari ini, Rafa masuk kelas tiga menit sebelum bel masuk. Wajahnya berseri-seri, semalam klub bola favoritnya menang.
"Mpi! Traktir gue di kantin!" sahut Rafa duduk di sebelah Rafly.
Cowok itu hanya mendengus kesal.
"Nggak usah bete gitu dong! Kalah mah kalah aja!" sambung Rafa lagi menonjok bahu Rafly.
Tidak ada respons dari Rafly, dia hanya memandang ke depan dengan tatapan yang tidak suka. Rafa paham, mungkin Rafly dilanda bete gara-gara terlalu percaya diri klub bola favoritnya masuk final.
Sepanjang jam pelajaran hari ini, Rafa merasakan perbedaan dari tingkah Rafly. Dia tidak ikut ke kantin, wajahnya ditekuk masam, yang paling parah, Rafly tidak sekali pun berbicara ke Rafa. Selalu Rafa yang bertanya lebih dulu, itupun hana dijawab sekenanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Return Fall [1] : R and D
Fiksi RemajaBertemu Dru merupakan takdir yang tidak pernah disangka-sangka oleh Rafa. Bermula dari hukuman Papa yang mengusir Rafa dari rumah, menjadi jalan awal bagi Rafa mengenal Dru. Melalui tingkah konyolnya, Rafa berusaha menggenggam hati Dru. Sayangnya, Z...