Kumandang azan isya terdengar syahdu. Rafa yang baru saja mengantar Papa pulang--sehabis dari rumah sakit--segera menunaikan salat di masjid dekat rumah. Setelah kembali ke kamarnya, dia melihat seorang cewek sudah duduk di atas kursi depan komputer.
"Assalamualaikum." Rafa membuka pintu.
"Alaikumsalam!" Zee menyambut kedatangan Rafa, bergegas menghampiri si pemilik kamar.
"Eiitt... Jangan sentuh ya! Bukan muhrim, masih ada wudhu..." Dia menjauh dari Zee. Cewek itu cemberut. "Abis buka apaan lo di PC gue?"
"Cuma buka-buka foto gue, hehehe." Zee duduk di atas kasur. Siapa yang tidak tahu, banyak foto mereka berdua di dalam file-nya Rafa.
"Besok lo tanding voli gak, Zee?" Rafa duduk di atas jendela.
"Tanding kayaknya. Kenapa? Lo emang gak futsal?"
"Futsal,"
Setelah itu... hening...
"Lo suka sama cewek itu ya, Raf?" tanya Zee spontan.
"Cewek yang mana?" balas Rafa tenang. Tanpa menatap Zee, hanya menatap ke langit yang gelap.
"Yang anak kelas sebelas, anak IPS. Dru Padi." Zee menatap Rafa lamat-lamat. Memandang wajah Rafa yang sama sekali tidak menoleh ke arahnya.
"Ohhh... Ucica... Kaga," jawab Rafa cuek. Dan angin malam menggoyangkan helaian rambutnya.
"Hah?!" Zee terkaget.
"Kaga salah lagi maksud gue, hehehe." Kali ini, Rafa nyengir lebar.
Seperti ada tangan yang menghancurkan hati Zee.
"Lo jadian ama dia?"
"Kaga..."
"Kaga salah lagi?"
"Emang bener kaga, Zee. Dia gak suka ama cowok macam gue kayaknya."
"Bukannya dia emang gak pantes buat lo ya?"
Rafa tertawa pelan, "Pantas tidak pantas gak bakal ada yang bisa menilai. Emang harus ada tolak ukur yang dipatenkan biar bisa jadi alasan untuk membahagiakan seseorang?"
Sungguh, Rafa benar-benar bisa membungkam Zee.
"Terserah lo deh." Untuk pertama kalinya, Zee membiarkan Rafa senang dan memang. Dia menyambar tasnya. Bersiap pergi. "Gue pulang. Bye."
"Loh, kok lo marah?" Dengan perasaan bingung, Rafa memandang kepergian Zee.
***
Pagi itu Dru sudah sampai di sekolah pukul enam pagi, lima belas menit lebih cepat dari biasanya. Keadaan kelas kotor, posisi bangku tidak keruan, kelas mirip pemukiman.
"Pasti gak ada yang piket nih," keluhnya.
Karena dia orang pertama yang datang, mau tidak mau Dru harus merapikan kelas sebelum mengomel kepada petugas piket saat mereka datang. Dengan langkah gontai dan berat hati, Dru jadi petugas piket dadakan.
Di lantai bawah, Rafa masih berjalan santai sambil memakai dasinya. Itu juga karena disuruh guru yang piket.
"Rafa, kalau gak pakai dasinya, saya paksa kamu pakai tali tambang." Bu Gina memperingati. Rafa yang kepala batu mau tidak mau menurutinya.
"Raf! Futsal gak ntar?" teriak Haikal dari arah belakang. Rafa menoleh, menunggu si adik kelas sampai padanya.
"Futsal. Kenapa emang?" Rafa dan Haikal berjalan beriringan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Return Fall [1] : R and D
Teen FictionBertemu Dru merupakan takdir yang tidak pernah disangka-sangka oleh Rafa. Bermula dari hukuman Papa yang mengusir Rafa dari rumah, menjadi jalan awal bagi Rafa mengenal Dru. Melalui tingkah konyolnya, Rafa berusaha menggenggam hati Dru. Sayangnya, Z...