"Raf..." Dru menarik bagian bawah kemeja Rafa. Dia tahu, ada yang Rafa sembunyikan darinya. Ketidaktahuannya mengenai hal yang sedang menimpa Rafa, sungguh membuat risi.
"Hm?" Rafa berbalik badan.
"Lo... Ada masalah ya sama Mpi?" tanya Dru hati-hati.
"Masalah biasa kok. Tenang aja." Rafa merapikan rambut Dru.
"Jangan bohong, Raf. Ada apa? Ada hubungannya sama Zee? Gue nggak suka dibohongin," ujar Dru tak berani melihat Rafa.
"Iya, gue ceritain. Tapi nggak di sini ya," jawab Rafa.
"Dimana?" Dru meminta kejelasan.
"Hmm... Rumah lo aja yuk. Nggak enak juga udah malam." Rafa memakai helmnya bersiap mengendarai motor. Setelah Dru duduk di jok belakang, Rafa tancap gas membelah jalanan ibu kota.
***
Sampai di rumah Dru, pukul setengah sembilan. Bapak sudah tidur di kamarnya. Menunggu Dru menyiapkan minum untuk Rafa, cowok itu berpikir sejenak untuk menyusun kata-kata yang tepat.
Dru keluar dapur membawa nampan berisikan air dingin dan beberapa cemilan kesukaan Rafa. Tanpa ba-bi-bu Rafa segera meneguk air dan memangku toples berisikan kue kering.
"Jadi, kenapa?" tanya Dru.
"Mpi marah sama gue gara-gara gue bikin Zee nangis," jelas Rafa sambil asyik mengunyah.
"Loh, emang lo melakukan apa ke Zee?"
"Gue cuma bilang kalau Zee harus berhenti buntutin gue. Zee punya kehidupan sendiri dan nggak boleh selamanya bergantung pada gue. Habisnya, kalau nggak digituin nggak bakal sabar tuh anak." Rafa melepas kancing kemejanya. Meskipun pakai kaus putih lagi, tetap saja itu membuat Dru hampir teriak kaget.
"Gara-gara itu, Zee nangis? Dan Mpi nggak terima? Dan akhirnya Mpi marah sama lo? Dan kalian musuhan?" Dru membordardir Rafa.
Cowok itu tertawa kecil, "Pintarnya, Ucica." Jeda sebentar, Rafa melanjutkan, "Oh ya, gue nggak pernah musuhin dia. Dia tetap sahabat gue."
"Kalian yang sahabatan dekat banget, bisa musuhan gara-gara cewek. Emang persahabatan cowok gitu, ya?" Dru sedikit penasaran.
"Kalau cowok sama cowok, sekali sahabat tetap sahabat. Nggak peduli berapa kali marahan, bahkan perkelahian kadang jalan satu-satunya menyelesaikan masalah. Nah, kalau cewek sama cowok sahabatan. Rasanya, bakal berpotensi friendzone." Rafa mengerutkan kening dengan apa yang ia katakan.
"Contohnya, Zee yang suka sama elo," sambung Dru menyandarkan punggung ke sofa ruang tamu.
"Tapi gue sukanya sama elo. Dan kita nggak friendzone," simpul Rafa.
"Justru gue merasa jadi biang masalah lo. Gara-gara kehadiran gue, lo kehilangan Mpi dan Zee. Walaupun gue percaya lo nggak ada hati sama Zee, tetap aja Zee sahabat lo." Hawa murung terpancar dari wajah Dru.
"Kalau gitu, salahin hati gue yang memilih lo." Rafa menatap Dru lekat-lekat.
Inilah yang Rafa khawatirkan, ketika Dru malah menyalahi dirinya sendiri. Padahal dia sama sekali bukanlah biang masalah ini.
"Maaf ya, Raf. Gue jadi penyebab retaknya hubungan lo dengan Mpi, dan hubungan lo dengan Zee." Dru menunduk ke arah Rafa.
Cowok itu meletakkan toples ke atas meja, lalu beralih menghadap Dru.
"Gue nggak bakal kehilangan Mpi. Gue yang tahu dia kayak gimana. Dan gue yakin, lambat laun Zee bakal menyadari apa yang gue omongin. Gue yang harus minta maaf, sudah menyeret lo ke dalam masalah gue." Jemari Rafa menyisir rambut Dru. Dia baru sadar, rambut Dru lebih panjang dari awal pertemuan mereka.
KAMU SEDANG MEMBACA
Return Fall [1] : R and D
Novela JuvenilBertemu Dru merupakan takdir yang tidak pernah disangka-sangka oleh Rafa. Bermula dari hukuman Papa yang mengusir Rafa dari rumah, menjadi jalan awal bagi Rafa mengenal Dru. Melalui tingkah konyolnya, Rafa berusaha menggenggam hati Dru. Sayangnya, Z...