Setapak demi setapak, Ara dan Doyoon berhasil keluar dari dasar lembah. Kedua manusia itu terkapar kelelahan sesaat setelah menginjakkan kakinya di tanah berbatu, dekat dengan lereng lain.
Ara segera ambruk. Nafasnya naik turun. Ia sudah berjalan dari senja ke senja berikutnya. Dan sekarang kakinya serasa mau patah. Tubuhnya lelah luar biasa.
"Kau tak apa-apa?" Doyoon terbaring terlentang. Dadanya naik turun. Nafasnya tersengal.
Karena tak mendapat jawaban dari gadis yang terbaring di sisinya, ia bangkit dan beringsut ke arahnya.
Mata gadis itu setengah terpejam, ia terlihat kesulitan mengatur nafas.
"Hei," Doyoon menepuk pipinya dengan lembut. Ada nada khawatir pada nada suaranya.
"Kepalaku pusing," akhirnya gadis itu menjawab lirih.
Doyoon menelan ludah. Pemuda itu bangkit, lalu dengan sisa tenaga yang masih ia miliki, ia mengangkat tubuh gadis mungil itu, menggendongnya sambil melangkah perlahan, membawanya ke tempat yang lebih nyaman.
Setelah menemukan tanah datar dekat pohon, ia menurunkan tubuh gadis itu dengan hati-hati.
"Kau mampu duduk?" Doyoon kembali bertanya. Ara mengangguk.
"Aku hanya merasa sedikit pusing karena lelah. Aku perlu waktu untuk memulihkan tenaga," jawabnya.
Doyoon mengambil botol air minumnya yang masih tersisa sedikit lalu menyodorkannya ke arah Ara. Awalnya Ara menolak minum, tapi setelah dipaksa, akhirnya gadis itu bersedia minum beberapa teguk.
Doyoon meneguk sisa air, lalu ikut duduk di sisi Ara. Keduanya terdiam sesaat. Sibuk memulihkan tenaga.
"Firasatku mengatakan bahwa jalan raya tak jauh lagi," lelaki itu memecah keheningan.
"Dari mana kau tahu?"
"Telingaku sudah terlatih. Aku bisa mendengar deru mobil dari puluhan kilometer. Jadi sudah bisa dipastikan, jalan raya tak jauh lagi." Ia menatap Ara dengan yakin. "Aku tak ingin bermalam di hutan. Jadi, aku takkan menunggu sampai tenagamu pulih. Aku akan menggendongmu ke sana, ke jalan raya, kemudian mencari tumpangan, dan ... pulang." lanjutnya lagi.
Ara tak menjawab.
"Ngomong-ngomong. Kemana aku harus mengantarkanmu pulang?"
"Eh?" Ara terlihat bingung menjawab.
"Di mana kau tinggal? Aku akan mengantarkanmu ke sana dan memastikanmu selamat sampai rumah." Ujar Doyoon lagi.
Ara terdiam. Mendengar kata 'rumah' dan 'pulang', air matanya nyaris tumpah.
Rumah?
Pulang?
Kemana ia akan pergi?
Ia tak punya siapa-siapa. Satu-satunya alasan ia sampai bertahan hidup hingga saat ini adalah keberadaan Vernon.
Dan sekarang? Ia bahkan tak tahu pemuda itu ada di mana.
"Ara?"
Panggilan itu membuyarkan lamunan Ara. Gadis itu tergagap.
"Kau tak apa-apa?"
Ia menelan ludah. "Aku ..." kalimatnya tertahan ketika tiba-tiba Doyoon bangkit dan sikap tubuhnya terlihat waspada. Pemuda itu menatap sekeliling dengan was-was.
"Ada apa?"
"Ada yang datang," ia berbisik lirih. "Dan aku mencium ... aroma vampir," lanjutnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Nephilim
FanfictionYoon Ara, gadis biasa yang baru duduk di kelas 2 SMA telah menjadi yatim piatu sejak setahun yang lalu. Kedua orang tuanya meninggal karena sebuah kecelakaan lalu lintas. Dengan hanya berbekal dana santunan dari pihak asuransi, selama ini ia hidup d...