Chapter 06

346 40 0
                                    

Seorang gadis berpiyama motif katun jepang berwarna hijau polos, terlihat tengah terduduk diatas kasur dengan beberapa tumpukan buku majalah dan kertas yang bertebaran mendominasi area sekitarnya. Dengan wajah serius ia menggunting beberapa kertas foto bergambar beberapa tempat destinasi wisata populer. Tak terlewat ada juga beberapa kertas foto yang bergambar lukisan, hasil itu didapatnya saat ia mengunjungi pameran atau galeri, Seila senang mengabadikan benda-benda itu dengan camera digital miliknya.

Setelah tergunting hingga menjadi beberapa bagian Seila mulai menempeli gambar-gambar itu dalam sebuah modul tebal bersampul biru tua yang transparan, tak tertinggal ia juga sedikit menambahkan beberapa pernak-pernik. Rutinitas itu sudah dilakukannya sejak Seila menginjak Sekolah Menengah Pertama hal ini dikarena ia sangat menyukai tempat-tempat yang bertemakan alam dan seni. Terbukti jika ia lebih senang pergi ketempat terbuka yang penuh dengan tumbuhan hijau. Bahkan dekorasi kamarnya pun dibuat dengan tema Biophilic yang memadukan warna putih dan hijau, tak luput kamar nya pun diberi penambahan berbagai macam tanaman hias sehingga membawa kesan yang segar.

Helaan nafas lega keluar sesaat tubuh kecil nya itu direnggangkan. "Akhirnya selesai."

Jam dinding kini menunjukkan pukul sepuluh malam dan diwaktu seperti itulah rasa kantuk mulai menyerang nya. Seila menguap kecil seraya mulai membereskan tempat tidurnya. Usai memilah sampah dan memasukannya kedalam kantung plastik, Seila bergegas menuruni anak tangga. Namun saat kakinya hendak menginjak anak tangga terakhir, sebuah suara berat yang memanggil namanya membuat langkah itu terhenti.

"Baru selesai?" Ujar seorang pemuda yang seolah sangat tahu dengan kegiatan yang biasa dilakukan Seila. Siapa lagi kalau bukan Kakak lelaki satu-satunya yang menyebalkan, keras kepala, nan cerewet yang bernama Jerrel Mahendra.

Bukannya menjawab Seila justru menatapnya sebal, tak hanya itu Seila mengambil langkah mendekat. Bagaikan badai yang datang tanpa aba-aba, Seila langsung merampas kalengan soda yang sedang digenggam hangat oleh sang Kakak.

"Eh La! Jangan dibuang--Itu jatah terakhir gue bulan in--Seilaa!" Jerrel berteriak histeris kala melihat isi kalengan yang jatuh tanpa hambatan ke dalam bak cuci piring. Tanpa mempedulikan pemuda yang kini berwajah masam, Seila justru tersenyum puas seraya meremas kuat-kuat kaleng merah itu hingga penyok tak berbentuk. Persetan dengan jatah terakhir, kali ini Seila tidak akan tertipu dengan muslihat manusia aneh itu.

"Harusnya nggak kaleng ini aja. Semua sisa yang ada di kulkas itu juga harus dapet eksekusi yang sama." Ujar Seila berapi-api, ia belari kecil dengan segudang kecurigaan yang tertuju pada kulkas kecil yang berada diatas meja pantry.

Sesampainya Seila langsung membuka pintu kecil itu dan betapa terkejutnya ia mendapati isian kulkas yang dipenuhi kalengan soda. Ia melirik sadis pada sang Kakak yang tengah berdiri mematung. Rasa kesal tak tertahan membuat Seila menutup pintu itu dengan membanting nya.

"Jatah terakhir?" Seila menyahut sinis, rasanya sekarang ia ingin sekali melempari pemuda itu dengan kalengan soda yang belasan jumlah nya.

Jerrel mengacak-acakan rambutnya. Ia gelisah sekaligus takut jika benda yang berwarna merah menggoda itu lenyap akan di tangan adik nya sendiri. Padahal ia sudah bersusa payah untuk memasukan benda terlarang itu ke sini, masa iya dibuang begitu saja, demi apapun Jerrel tidak akan rela. Lagi pula penambahan stok minuman itu bukan tanpa alasan.

"La, La, gue bisa jelasin.. Itu semua gue sediain karena temen gue mau nginep.. hari ini."

Seila menaikan sebelah alisnya sebelum memincingkan matanya untuk mencari titik celah kebohongan pemuda itu. Namun raut wajah Jerrel yang putus asa, akhirnya berhasil membuat hatinya mencelos kasihan. 

"Nggak usah sok sedih gitu mukanya, iya deh tererah. Tapi kalo sampe sakit lagi, Seila gamau ngurusin." Sesudah mengatakan itu, Seila mendelik sebal seraya berjalan meninggalkan Jerrel yang kembali mematung dengan perasaan bersalah.

Jerrel jelas sekali berbohong saat mengatakan jatah terakhir. Padahal secara diam-diam Jerrel masih mengkonsumsi minuman kalengan itu setiap hari. Namun jika berbicara teman yang akan menginap, Jerrel memang tidak berbohong.

Pintu rumah terbuka dan saat itulah desiran angin malam yang mengenai permukaan kulit berhasil membuat Seila merinding sesaat. Ia memutuskan untuk segera menuju bak tempat sampah yang berada di depan gerbang rumah dan membuang bongkahan tersebut dalam sekali lempar.

Selesai dengan itu, Seila kembali melangkah memasuki halaman rumah. Ia sedikit merenggangkan tubuhnya seraya menghirup dalam-dalam udara dingin itu kemudian menghembuskannya dengan perasaan lega.

Beberapa detik kemudian sebuah suara yang memanggil namanya berhasil membuat Seila terkejut. Terlihat seorang pria yang muncul dari halaman belakang rumah.

"Paaak Esa! Ngagetin deh.." Seila merengek dan mencerutkan bibirnya.

Pria berusia itu tertawa, "Bapak kira teh tadi Bi Mira.. eh taunya Lala."

Seila menggeleng dan terkekeh saat pria tersebut mengira bahwa dia adalah Bi Mira, istrinya sendiri. Pak Esa adalah salah satu pekerja andalan di rumah ini. Beliau bisa dibilang serba-bisa dan terpercaya, sebab sudah puluhan tahun Beliau bekerja di sini, Seila tidak pernah mendengar adanya desas-desus masalah yang dilakukan oleh nya.

"Pak Esa sendiri habis dari mana?" Seila bertanya ringan, namun beberapa detik setelahnya ia mendadak jadi tidak enak hati, "Jangan bilang, habis dipanggil Jerrel diem-diem buat selundupan coca-cola?"

Pria itu kembali tertawa lalu menggeleng cepat, "Tadi Bapak dipanggil Erel, katanya temen nya yang dari Bali itu sebentar lagi sampai. Jadi Erel minta tolong Bapak buat bukain pintu dan sambut tamunya."

Seila membelalak terkejut, "Loh ternyata hari ini, kirain besok. Pake acara disambut segala lagi, nggak sekalian tabur bunga terus gelar karpet merah?"

Seila tidak habis pikir dengan Kakak lelaki satu-satunya itu, bisa-bisa nya dia memiliki rencana untuk menyambut kedatangan tamu nya. Padahal ia tidak pernah melakukan hal yang serupa saat orang tuanya pulang ke rumah. Namun saat pria itu hendak menyahut, sebuah suara klakson mobil membuat kedua nya serentak menoleh kearah gerbang.

Panjang umur, ujar Seila dalam hati.

"Permisi ya La.. Bapak mau buka gerbang dulu." Pamit Pak Esa yang langsung berlari kecil menuju gebang.

Pagar besi itu dibuka dengan lebarnya, sorot lampu yang menyala tajam dengan suara deru mesin yang terdengar halus membuat mobil sport berwarna hitam itu kini menjadi pusat perhatian Seila. 

Kendaraan itu terpakir tak jauh dari tempat Seila berdiri hingga dalam beberapa detik kemudian munculah satu sosok pria jangkung besar dengan kemeja putih bergaris. Pria itu mengambil langkah gontai mendekati Seila yang tengah berdiri kaku dengan ekspresi panik bercampur canggung. 

"Lo pasti Seila, adiknya Jerrel 'kan?" Sapanya hangat, dengan senyum tipis Seila mengangguk, kemudian dilihatnya sebuah tangan kekar tengah terulur dihadapannya. 

Seila menatap wajah yang nampak lelah itu kini tersenyum lebar, manis. Tak ingin membuat tangan itu tergantung lama, Seila memutuskan untuk meraih tangan itu. "Salam kenal, gue Daniel."

Setelahnya kedua tautan itu terlepas. Seila kembali tersenyum canggung, mengingat pria itu adalah teman Kakaknya jadi ia harus berlaku sopan 'kan.  Mengingat perbedaan umur yang terpaut cukup jauh, mungkin sekitar empat hingga lima tahun? Entahlah, Seila hanya mengira-ngira saja. 

"Ayoo masuk.." Seila mempersilahkan pria itu untuk mengikutinya dengan mengekor dibelakang. Tak berapa lama, tepat saat keduanya sudah menginjakkan kakinya di ruang tamu sebuah suara yang menggelegar heboh dengan kata sambutan membuat keduanya tersentak terkejut.

"My Brooo!" Jerrel berujar bersemangat menyambut kedatangan teman kampusnya itu. Kemudian ia mengambil langkah mendekat seraya merentangkan tangannya, lalu mereka berpelukan ala lelaki.

"Welcome home.."

Chole PlegmaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang