Chapter 13

31 0 0
                                    

"CUKUP!"

Seila menjerit dengan sekuat tenaga, ia sudah tidak sanggup melihat kekerasan yang tiba-tiba terjadi di depannya. Kedua orang itu menghentikan gerakannya. Mereka kini sudah terduduk di lantai dengan sudut bibir yang berdarah. Tetapi Perhatian Seila lansung tertuju pada Levine yang tengah tertunduk, dengan rasa khawatir Seila menghampiri Levine dan berlutut dihadapan Levine seraya memegang wajah pria itu dengan lembut. 

Levine melihat mata sembab milik Seila tengah menatapnya dengan khawatir, ia terpaku dengan wajah itu yang kini sangat dekat. Jemari halus Seila menyusuri setiap inci dari wajah yang kini sudah terdapat lebam dan darah disudut bibirnya. Levine dibuat berdebar ketika mata Seila menatapnya lekat-lekat dengan jarak sedekat itu. 

"Cukup Lev," Ujar Seila lirih dengan air matanya masih mengalir deras di pipinya.

Melihat Seila seperti itu sungguh memicu rasa amarah Levine. Hatinya seperti teriris setiap kali gadis itu terisak dan meneteskan air mata. Mengingat percakapan mereka tadi membuat nya kembali mendidih, ia ingin sekali menghajar Gavino lagi. Levine ingin membalas setiap rasa sakit yang Seila alami akibat pemuda itu. Walau setiap dari pukulannya tak akan pernah cukup, tapi setidaknya Gavino juga harus merasa hancur dan sakit walau itu hanya fisiknya saja.

Seila masih memegang wajah Levine dengan hati-hati takut jika sentuhannya itu akan membuatnya sakit. Seila beralih mengusap darah yang mengalir di sudut bibirnya. "Kita ke UKS ya.." bisiknya, suaranya penuh dengan kecemasan. "Luka kamu harus diobatin."

Tangan Levine mengepal kuat-kuat, ia kembali berusaha mengontrol emosinya. Ia tidak mau membuat Seila semakin khawatir dan takut. Levine meraih tangan Seila dan menurunkan tangan itu dari wajahnya. Sudut bibir yang berdarah itu tersenyum tipis meskipun rasa sakit masih terasa di setiap gerakan, Levine mengangguk menyetujui permintaan Seila.

"Gue baik-baik aja,"

"Engga Lev, bibir kamu berdarah apa yang baik-baik aja?" Ujar Seila melihat Levine yang mencoba berdiri dengan tangan mereka yang masih bertaut.

Bukannya menjawab Levine kini menatap tajam Gavino yang juga sudah berdiri terlebih dahulu. Tatapannya seolah mengakatan jika saat ini ia tidak bisa menyentuh atau bahkan bertemu dengan Seila. Levine menarik Seila untuk berdiri dibelakang punggungnya lalu mengeratkan genggaman nya.

"Jangan pernah lo sentuh Seila lagi." Ujar Levine menekankan setiap katanya, tatapan tajam itu tidak memberikan ruang untuk perlawanan. Ia tidak main-main dengan ucapannya, Levine tidak akan membiarkan Gavino bertemu dengan Seila sesuka hati selama ia berada disekolah ini untuk mengurusi berkas pertandingan pada Kompetisi Liga Basket.  

Lentera International Highschool memang satu yayasan dengan Kencana International Highschool itulah mengapa para siswa siswi nya dapat dengan mudah berpindah untuk belajar sementara pada salah satu sekolah diantara keduanya. Seperti hal nya sekarang Gavino dan dua teman lainnya mengkontrak perpindahan mereka selama seminggu untuk belajar disekolah ini selagi mereka mengurusi berkas pertandingan. 

Karena hal itu juga Levine menjadi was-was, ia sedikit cemas jika kehadiran Gavino dapat mengganggu ketenangannya. Terlebih jika Gavino berani mengusik Seila dihadapannya dan membuatnya menangis seperti sekarang. Levine bersumpah tidak akan tinggal diam jika hal itu sampai terjadi.

"Lo siapa Vin? Lagian Seila juga bukan pacar lo, jadi lo ga punya hak buat ngatur orang-orang yang deket sama Seila!" 

Mendengar itu Levine tersenyum miring, apa Gavino baru saja menantang nya? Pernyataan itu cukup mengusik ego nya. Haruskah dirinya menyatakan kepemilikan atas Seila dahulu untuk bisa membuat pemuda itu diam?

"Gue emang bukan pacar Seila, tapi udah sepantesnya orang brengsek kaya lo itu gue usir jauh-jauh dari lingkungan ini. Lo masuk wilayah gue aja, harusnya lo lebih bijak dalam bersikap." Ujar Levine memperingati.

Tak sadar, ternyata orang-orang yang berada di aula sedari tadi sudah  memperhatikan mereka disini. Namun tidak ada seorangpun yang berani ikut campur untuk melerai. Tetapi melihat kehadiran Ezra Nathanael membuat orang-orang disana bisa bernafas sedikit lega. Masalahnya hanya dia satu-satunya orang yang bisa menahan Levine jika pemuda itu sedang berada di titik didih amarah nya. Hanya Ezra, teman yang mendapat toleransi dari Levine untuk diijinkan berbicara jika ia sedang diluar kendali. Levine hanya mempercayai Ezra, karena sudah menganggap pemuda itu seperti saudaranya sendiri.

Ezra datang tanpa banyak bicara, dengan wajah datar nya ia langsung berdiri menghadap Gavino lalu mengucapkan sesuatu yang membuat pemuda dihadapannya berdecih sinis. Namun kelihatannya ucapan itu berhasil membuat Gavino tidak lagi bersuara dan bahkan ia sekarang pergi meninggalkan tanda tanya bagi semua orang.

 Levine menundukan kepalanya, pelipisnya itu berkedut dan menimbulkan rasa ngilu. Ia mengiris seraya mengusap sudut bibirnya untuk mengecek apakah sobekan itu masih mengeluarkan darah atau tidak. Ternyata tidak sederas saat pukulan kedua yang Gavino layangkan padanya.

Ezra berbalik dan terkekeh melihat Levine yang terluka. Pemuda itu seperti sudah memprediksi kejadian seperti ini akan terjadi, dan ia juga tidak akan heran melihat Levine mengamuk seperti tadi. 

Bagaimana tidak, ketika Ezra memberitahu informasi mengenai perpindahan tiga pelajar dari sekolah Kencana itu saja sudah berhasil membuat Levine memasang wajah tidak suka sepanjang ia berbicara. 

Apalagi saat Levine mengetahui jika sosok Gavino yang pindah adalah rival abadi nya dan juga ternyata pemuda itu adalah mantan kekasih Seila. 

Kenyataan diperkuat saat Ezra menyaksikan sendiri pertikaian yang kedua insan itu lakukan. Jelas Levine akan terpancing jika ada hal yang menyangkut Seila. Walau Levine tidak mengatakan secara terang-terangan bahwa ia menaruh hati pada Seila, tetapi semua orang bisa melihat tindakan yang Levine lalukan jika ada sesuatu yang bersangkutan dengan gadis itu. 

Contohnya seperti sekarang, Levine tanpa segan menghajar siapapun dan dimanapun. Ezra sangat yakin, jika tadi Levine masih menahan ledakannya dihadapan Seila. Hal itu terbukti saat ia melihat Gavino masih bisa berdiri dan berbicara. J

Jika Seila tidak ada disana, sudah dipastikan Gavino tidak akan bisa berprilaku seperti itu bahkan ia hanya akan terkapar tak berdaya. Jelas, itu adalah bentuk rasa cinta dan kasih sayang Levine terhadap Seila. Tetapi bodohnya, Levine selalu saja mengelabuhi perasaan itu dengan berbagai penyangkalannya.

"Cemas kau dek..dek.." ledek Ezra yang langsung mendapat tatapan sinis dari sosok bermata elang. Levine tidak mengindahkan  ejekan Ezra, ia beralih mengecek keadaan Seila yang sedang menghapus jejak air mata dipipinya. Rasa cemasnya berkurang karena Seila sudah tidak lagi menangis seperti tadi. Ia jadi bisa sedikit bernafas lega.

Tanpa aba-aba tangan Seila terulur pada lengan kekar milik Levine, gadis itu tidak berbicara apapun lagi dan hanya menarik Levine untuk pergi menuju UKS. Levine dapat merasakan tangan hangat milik Seila yang melingkar dipergelangan tangannya. Ia tersenyum, merasa nyaman dengan apa yang ia rasakan saat ini. Tetapi ia juga tidak bisa menjelaskan rasa resah tersembunyi dihatinya, karena entah mengapa sosok Seila mulai mempengaruhi kehidupan nya.


Chole PlegmaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang