Chapter 14

12 0 0
                                    

Bel masuk sudah berdering ketika Seila dan Levine dalam perjalanan menuju UKS. Tetapi Seila bersikukuh untuk tetap pergi ke UKS untuk membawa pemuda itu kesana. Levine pun tidak banyak bicara dan hanya mengikuti langkah Seila yang tergesa-gesa. 

Levine terkekeh melihat Seila yang menyeret lengannya seperti ini. Gadis itu tampak khawatir, padahal Levine rasa luka ini tidak seberapa parah. Namun melihat Seila seperti itu membuat Levine jadi gemas sendiri. Tak sadar kini mereka sudah sampai tempat tujuan. Seila mendudukan Levine pada ranjang tiur dan menyuruhnya untuk menunggu karena Seila akan menyiapkan peralatan medis.

Mata pemuda itu mengikuti gerak-gerik gadis yang tengah bolak-balik mengambil sesuatu hingga kini tangannya penuh dengan segala macam benda. 

Seila kembali dengan peralatan medis di tangannya. Seila sambil duduk di samping Levine, kemudia tangan Seila terulur meraih wajah Levine untuk mengarahkan wajah itu menghadapnya. 

Deg Deg

Posisi mereka yang sangat dekat membuat Levine bisa melihat dengan jelas wajah Seila. Dengan lekat Levine menatap  mata Seila yang sedang fokus, tatapan itu turun menuju hidungnya yang mungil, dan hal terakhir yang paling mendebarkan adalah bibir pink yang tampak lembut itu. Levine mengerjap merasa jantungnya berdetak lebih cepat, ia menelan ludah nya kikuk. 

Seila mengambil kapas dan antiseptik, mulai membersihkan luka di lengan Levine dengan wajah yang tampak serius dan penuh perhatian. "Ini mungkin sedikit sakit," katanya lembut.

Levine meringis sedikit saat antiseptik menyentuh lukanya, kembali tersadar akan keadaannya. Dia berusaha keras untuk tidak terlalu ketara jika saat ini Levine sangat kikuk, Levine berdeham mencoba berbicara, "Makasih, tapi lo ga perlu repot-repot."

Seila tersenyum tipis, matanya masih fokus pada lukanya. "Kalo gitu lo harusnya gaperlu sampe pukul Gavino tadi." jawabnya sambil melanjutkan pekerjaannya.

Mendengar nama itu Levine kembali merasa gerah, ia menaikan sebelah alis nya dan menghentikan pergerakan tangan itu. Maksud Seila, ia tidak boleh memukul Gavino si sialan itu? Padahal ia sudah babak belur begini tapi Seila malah menyalahkannya. Namun yang dilihat Levine berikutnya adalah Seila terkekeh pelan.

"Jadi luka kan wajah kaku lo. Sayang banget.."

Levine menatap Seila tanpa berkedip, "Iya sayang juga.."

"EH.." Seila tiba-tiba kikuk, sedikit terkejut mendengar sahutan pemuda dihadapannya.

"Kenapa? Ya sayang ini wajah ganteng gua jadi bonyok, muka gua nanti waktu pas foto kelulusan gimana ya? Asik banget nih pasti gue menor sendiri." Ujar Levine beralibi, padahal saat ini ia sedang  mengutuki diri karena kespontanan nya ia tiba-tiba menyahut omongan Seila yang sebelumnya.

Seila tertawa pelan, ia menyimpan kapas yang sebelumnya sudah digunakan, tangannya beralih meraih wajah yang memili rahang tegas itu. Ibu jari miliknya mengusap lembut pipi kanan milik Levine guna mengecek apakah salep tersebut sudah meresap atau belum.

"Selesai.." Ujar Seila tersenyum puas, setelah itu ia membereskan kembali peralatan yang telah ia gunakan. Gadis itu hendak mengembalikan kotak P3K itu, namun sebuah tangan menahan kepergiannya.

Seila menoleh kebelakang dan mendapati Levine yang tengah menatapnya serius. Seila menaikan sebelah alisnya bingung dengan maksud Levine yang menghentikannya.

"Duduk, ada yang mau gue omongin." ujar Levine datar namun terkesan sangat memerintah. Tanpa banyak bertanya Seila menurut, ia kembali duduk ketempatnya dengan tangan kekar yang masih menggenggaman pergelangan tangannya. 

Mata elang itu menelesik setiap inci dari permukaan gadis dihadapannya, ada rasa khawatir dan takut yang menyelimuti hatinya. Levine termenung sejenak, sebenarnya apa yang ia rasakan terhadap Seila? Tidak pernah seingatnya, dirinya begitu perhatian pada orang disekitar sampai seperti ini. Biasanya ia rela babak belur untuk mempertahankan harga diri dan ego nya, tapi kali ini, ia rela hanya karena ingin melindungi Seila. 

"Untuk saat ini selama si brengsek itu masih berkeliaran di sekolah ini, gue minta lo jangan jauh-jauh dari pandangan gue atau Ezra."

Seila merasakan genggaman tangan Levine yang semakin mencengkramnya, ia tahu jika saat ini Levine benar-benar serius dengan ucapannya. Seila melihat ada api kemarahan dimatanya, seolah jika saat ini ada yang mengusiknya, ia tidak akan pandang bulu untuk menghajarnya.

Gadis itu tersenyum lembut, mencoba menenangkan Levine dengan mengelus lembut tangan kekar itu. "Gue tahu lo khawatir, tapi gue bisa jaga diri, Lev. Setelah kejadian tadi gue yakin Gavano nggak akan berani macam-macam lagi," jawab Seila, meski dalam hatinya ia juga masih merasa khawatir dan takut.

Levine menggeleng, tatapannya semakin tajam mencoba membuat Seila mengerti bahwa kejadian tadi bisa saja terulang atau lebih parah. "Gue nggak mau ambil risiko. Lo nggak tahu apa yang Gavano bisa lakuin."

Seila merasakan detak jantungnya semakin cepat. Ia tahu betapa seriusnya Levine dalam hal ini. Dan setelah dipikir ulang, ia juga sepakat dengan Levine. "Jadi, mulai sekarang gue harus selalu ada di radar pantauan lo?" tanyanya setengah bercanda, mencoba meredakan ketegangan.

"Ya, itu tujuan gue sekarang." jawab Levine tanpa ragu. "

Seila kembali terdiam, menyadari betapa besar perhatian Levine terhadapnya. Meski kadang terasa berlebihan, ia bisa merasakan ketulusan di balik setiap kata yang diucapkan Levine. Seila juga tidak mau sampai membebankan masalah ini pada Levine. Mungkin dengan ia menuruti perintah nya, Levine juga tidak akan kesulitan untuk menjaganya. 

Gadis itu mengangguk menyepakati, "Gue akan lebih hati-hati, tapi lo juga harus janji satu hal." 

Levine menaikan sebelah alisnya, "Apa?"

"Bahwa lo gakan gegabah yang mengakibatkan lo jadi terluka kaya tadi, gue mau lo juga ga perlu terlalu khawatirin gue. Dan gue minta lo juga bisa jaga diri ya, Lev. Gue gamau liat lu kaya gini lagi." Seila berujar lirih saat menyampaikan kekhawatirannya pada Levine.

Mendengar itu Levine terkekeh, ia melepas genggamannya dan mencubit gemas hidung mungil gadis dihadapannya. "Itu banyak hal, bukan satu hal Seila Renatyaaa."

Seila terkejut dengan tindakan yang tiba-tiba itu, ia ingin sekali memukul pemuda itu namun ia hanya menggapai angin kosong karena Levine buru-buru beranjak pergi dan berjalan kearah pintu dengan kekehannya. Bukannya kesal Seila justru tertawa dan mulai ikut mengekor dibelakang pemuda jangkung itu. 

"Janji dulu Levinee.." Seila mengacungkan jari kelingkingnya yang tidak digubris. "Janji cepetan.."

"Katanya satu hal, itu sih kebanyakan, gamau gue." sahut Levine tanpa memperhatikan Seila yang bertingkah seperti anak kecil yang menaggih janji untuk dibelikan permen. 

"Loh kan satu paket maksudnya gituloh.. tapi yaudah kalo gamau." Ujar Seila pura-pura marah, ia mengentikan langkahnya guna mendramatisir keadaan agar Levine mau mendengarkan permintaannya. "Yaudah kalo gitu gue juga gakan nurutin permintaan lo."

Sesuai dugaan Levine terganggu dengan ucapannya, ia membalikan badan nya menghadap Seila dan berujar "Bocil kaya lo bisa ngancem gue juga ternyata.." 

Levine menaikan jari kelikingnya sesuai dengan permintaan Seila sebelumnya untuk mengesahkan keputusan keduanya. Dengan senang Seila menyambut kelingking itu dengan wajah yang ceria seperti pemandangan yang selalu Levine sukai.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Sep 03 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Chole PlegmaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang