Hawa malam yang dingin memasuki sela-sela dinding rumah. Seorang anak dan ayahnya duduk bersama di atas sofa empuk, berselimut kain tebal sambil menonton di depan televisi.
"Huh, dingin sekali," ucap anak laki-laki yang memeluk kakinya dalam balutan selimut.
"Dari sore hujan, wajarlah kalau dingin," sahut ayahnya laki-laki yang berumur hampir setengah abad itu dengan mata yang masih fokus ke arah televisi yang sedikit terganggu siarannya karena cuaca malam itu.
"Aku lapar, Yah. Mau keluar beli makanan mumpung hujan reda, bagi uang Yah," pinta anak itu.
"Mau cari kemana? Ini sudah malam, lihat sudah jam sembilan. Siapa juga yang masih jualan dingin-dingin sekarang?"
"Ayolah, Yah," rengek anak itu.
Ayahnya pun merogoh kantung celana yang ia kenakan saat itu, mengeluarkan sejumlah uang.
"Nah.""Ayah, ini mana cukup!" seru anak itu.
"Cerewet, sekalian Ayah juga mau makanan." Ayahnya pun menambahkan uang yang dianggap anak itu kuranglah cukup. Anak itupun beranjak dari tempat duduknya.
"Prakasa, jangan terlalu jauh mencari. Jika memang di sekitar sini orang yang berjualan sudah tutup semua."
"Baiklah."
Prakasa nama anak itu berpostur sedang, kurus dan berambut lurus dengan warna hitam legam, ia pun melesat menuju pintu, tak lupa membawa payung untuk berjaga-jaga. Saat membuka pintu, udara masuk melalui pintu yang Prakasa buka, rasa dingin makin menjadi.
Ia mulai berjalan keluar menelusuri jalan, tiupan angin menembus jaket berbahan denim yang ia kenakan. Dirinya mengepal erat tangan kirinya dan menggenggam erat gagang payung yang dipegangnya di tangan kanan.
Prakasa telah melewati jalan di perumahan yang ia tinggali, kini anak yang tubuhnya agak sedikit gemetaran akibat udara dingin itu, tengah berjalan memasuki jalanan umum. Ia mencari-cari pedagang yang berjualan. Namun, di sekitar yang ia lalui malam itu semua jualanan yang biasa ia hampiri tutup.
"Tutup lagi," gumannya. Ia terus melangkah ditemani lampu-lampu jalan yang menerangi jalan dan terus menelusuri jalan yang basah. Gemercik air dari sepatu yang memijak genangan air di jalan saat dirinya melangkahkan kaki, dan tiupan lembut meniup lembut daun telinga Prakasa, seakan ada seseorang yang membisikkan sesuatu. Mengiringi setiap langkahnya malam itu.
Ia akhirnya menemukan satu gerobak pedagang yang berada di persimpangan jalan, membeli dua porsi makanan untuk dirinya dan ayahnya.
Gelegar suara membentak langit malam, diikuti angin ribut dan tak lama kemudian ribuan tetes air hujan mulai membasahi bumi kembali. Prakasa membuka payung yang ia bawa, buru-buru melangkahkan kaki pulang setelah membeli makanan tadi.
Hembusan angin yang kencang membuat payung Prakasa seperti ditarik dari belakang, ia memegang erat gagang payungnya. Takut jika payung terlepas dan terbang dari genggamannya. Lampu jalan yang ia lalui redup redam seakan ada yang memainkannya. Tiupan angin yang membawa air hujan membasahi wajahnya, menyulitkan Prakasa untuk melihat dengan normal. Ia hanya bisa memicingkan mata saja.
Tiba-tiba dari kejauhan samar-samar, ia melihat ada seseorang sedang berlari berlawanan arah ke arahnya, mendekat dan mendekat.
BUUKK!!!
Orang tersebut menabrak keras Prakasa, membuat mereka berdua terjatuh. Payung yang digunakan Prakasa terlepas dari tangannya. Namun, ia masih memegang erat kantong plastik yang berisi belanjaannya tadi.
"Aduh, maafkan aku," ucap orang itu ternyata seorang gadis bermantel hitam panjang selutut dengan kacamata hitam berbentuk bulat, masih tetap terpasang di wajahnya walau habis terbentur keras sampai terjatuh bersama Prakasa . Gadis itu berdiri dan meraih tangan Prakasa, mencoba membantunya berdiri juga.
"Hei, kau! Jangan lari!" teriakan suara berat laki-laki dari ujung jalan yang sama, berlari dengan menggunakan jas hujan berbahan dasar plastik.
Gadis itu mendengar suara tersebut, ia pun bergegas kembali lari meninggalkan Prakasa. Prakasa hanya diam dan bingung, tidak lama dari itu, orang yang berteriak tadi menghampirinya.
"Huh ... Huh ... Dia berhasil kabur," ucap orang tersebut terengah-engah. Membungkukkan badan dan memegang lututnya. "Dia ... gadis itu membawa kantong darah dari rumah sakit di depan sana," ucapnya mengoceh sendiri lalu berbalik pergi meninggalkan Prakasa yang diam kebingungan.
"Mana payungku?!" Prakasa tidak sadar jika payungnya telah terbang dan hilang terbawa hujan angin yang deras dan kencang, karena kejadian barusan. Dirinya hanya pasrah dengan keadaan yang basah kuyup di sekujur tubuhnya.
Ketika hendak melangkah pulang, Prakasa melihat kacamata hitam bulat yang tergeletak. Persis seperti yang dipakai gadis yang menabraknya tadi, ia mengambil dan memasukan kacamata itu ke kantung jaketnya tanpa berpikir panjang lalu membawanya pulang. Prakasa pun berlari cepat pulang ke rumahnya dengan diiringi suara gelegar dan sekelebat kilat dari langit. Lalu beberapa saat kemudian ia telah tiba di rumah. "Huh, dingin sekali."
"Kenapa kau basah-basahan? Dari mana lama sekali. Dan mana payungmu?" tanya ayahnya khawatir.
"Anu, payungku terbang tadi. Hujannya deras sekali dan anginnya juga kencang. Ini makanannya, Yah," Prakasa menjelaskan kejadian tadi pada ayahnya dan langsung memberikan bungkusan belanjaannya.
"Sudah, keringkan dirimu nanti kausakit, besok sekolahkan?" suruh ayahnya.
"Iya, Yah." Prakasa pun menaiki tangga rumahnya menuju kamar tidur, ia mengambil handuk di belakang pintu kamar yang tergantung di paku.
Prakasa mengerikan kepalanya terlebih dahulu, dan ia kembali turun menuruni tangga hendak membilas rambut karena air hujan tadi. Setelah selesai mengerikan seluruh tubuhnya dan baju yang basah tadi telah diganti.
Prakasa pun menghampiri ayahnya yang masih berada di ruang keluarga, tetap asik menonton tv sambil melahap duluan makanan yang dibeli tadi. Prakasa juga segera menyantap makanan itu. Perutnya yang sejak tadi lapar, dibarengi dengan suhu tubuh yang dingin akibat kehujanan, membuat ia dengan lahap langsung menyikat habis makanan itu.
"Tidurlah Prakasa. Besok sekolah," ucap ayahnya dengan remote tv di tangannya, ibu jarinya terlihat sibuk menekan-nekan tombol mencari channel tv yang lain.
"Ini juga emang mau tidur, Yah." Prakasa langsung menuju kamar. Hawa malam yang dingin makin amat terasa sekarang, ia membawa selimut tebal yang digunakannya sambil menonton tadi. Prakasa membaringkan diri di atas kasur dipan empuknya, menarik selimut keseluruh tubuhn, memejamkan matanya dan tertidur pulas.
Tidak sedikitpun dibenaknya memikirkan soal kejadian beberapa menit yang lalu. Ketika ia bertabrakan dengan gadis berkacamata hitam. Prakasa juga tidak ingat jika ia menyimpan kacamata yang ditemukannya, dirinya langsung saja terlena dengan mudah.
.
.
.
.
.
.
.
.
.Hai hai readers, cerita ini udah lama end, yang pernah baca udah pasti tau sama cerita ini cuma 8 chapter. Kurevisi dan kuremake biar chapternya nambah, soalnya dari komentar alhamdulillah banyak yang bilang ceritaku bagus cuma sayangnya alurnya terlalu cepet aja. Jadi kubuat ulang biar lebih kerasa ceritanya dan judul juga kuubah dan mulmed di atas artnya (Yudha) yang udah bantu buat illustrasinya Prakasa. Ayo-ayo yang udah pernah baca dibaca lagi dan yang belum pernah, baca juga ya.
So, Jangan lupa tinggalkan jejak dan komentarnya berupa saran dan kritik semua kuterima asal sopan. Bye~ 😉😉
KAMU SEDANG MEMBACA
MINA FINCH: Butterfly
VampirePrakasa anak laki-laki yang buta warna bertemu dengan gadis aneh yang selalu memakai kacamata hitam. "Far, kau percaya vampir?" "Vampir? Seperti karangan Bram Stoker di novelnya?" "Gadis yang kaulihat tempo hari bersamaku. Dia itu vampir!" Mina F...