Saat itu juga Pak Johan kembali membawa pisau dapur untuk memotong kue yang dibawa Mina dan tiga piring berukuran kecil serta garpu kecil.
"Kenapa gelap di sini?" tanya Pak Johan pada tiga orang anak yang berada di ruang tamu.
Mendengar suara ayahnya, Prakasa langsung kembali beranjak untuk menghidupkan lampu di ruang itu lagi. Setelah lampu kembali hidup, Pak Johan menaruh bawaannya di atas meja.
Prakasa, Fardy dan Mina mengambil masing-masing piring kecil dan garpu kecil yang dibawa Pak Johan. Sambil memotong kue coklat, Pak Johan bertanya kenapa mereka mematikan lampu ruang tamu tadi. Prakasa langsung saja menjelaskan pada ayahnya jika, ia hanya mencoba melihat warna dari fosfor pemberian Fardy.
"Mina, kau tidak risih memakai kacamata hitam di dalam ruangan seperti ini?" tanya Pak Johan kemudian. Melihat kacamata hitam bulat yang sering Mina gunakan terpasang menutupi kedua matanya.
"Ah, tidak juga. Aku sudah terbiasa, Pak," jawab Mina sembari menggaruk-garuk kepalanya yang tak gatal. Prakasa dan Fardy hanya bisa saling tatap mendengar itu.
"Ayo, kita potong dan makan kuenya," ajak Mina mengalihkan pembicaraan.
"Aku saja yang potong." Fardy menawarkan diri, lalu ia memotong kue dan meletakkan ke masing-masing piring yang sudah tersedia.
"Kau daritadi hanya sibuk menggambar," ucap Mina. "Makan dulu kuemu," perintahnya
"Itu untuk dijual saat pasar malam nanti," ucap Fardy. "Hei Mina, kau bisa makan kue ya?" ucapan Fardy membuat Prakasa berhenti sejenak dari kegiatannya.
Kini Prakasa dan Fardy menatap Mina penuh minat karena kedua remaja laki-laki itu penasaran, kenapa seorang gadis vampir bisa memakan kue, makanan manusia. Bukankah vampir cuma bisa minum darah manusia?! Pikir mereka.
"Hmm, kenapa tidak?" Mina malah balik bertanya. Ia kemudian merasa canggung melihat kedua manusia yang telah dianggapnya teman itu, memandangi dirinya aneh.
"Oh, aku mengerti." Ia tertawa kecil sebentar lalu melanjutkan bicaranya. "Kalian kira pasti aku cuma bisa mengkonsumsi darah, ya. Tidak juga. Aku berbeda dengan vampir kebanyakan, aku ini spesial tahu," jelas Mina dengan menyengir, terlihatlah gigi taringnya.
Untungnya pembicaraan itu hanya didengar oleh mereka bertiga karena Pak Johan telah beralih dengan kesibukannya sendiri, sejak tadi.
"Jadi, gambar yang kau buat ini, kau jual berapa?" Mina memegang salah satu kertas yang terdapat hasil goresan tangan Prakasa.
"Aku biasanya menjual murah."
"Sayang sekali, padahal gambaranmu bisa dihargai mahal." Mina meletakkan kembali kertas gambaran tadi.
"Ya, aku setuju, tapi pembelinya kebanyakan anak sekolahan. Jadi karena itu Prakasa menjual murah karyanya. Sesuai kantong anak sebaya kami," ucap Fardy yang menjelaskan lalu dia melanjutkan, "aku malah suka minta gratis pada Prakasa."
"Kalau begitu aku juga mau diberi gambaranmu secara gratis, Prakasa!" pinta Mina spontan. "Gambarin aku ya." Mina menepuk reflek lengan kanan Prakasa, membuat Prakasa nyaris mencoret gambarnya sendiri.
"Aku sudah selesai." Mina meletakan piring kecil dengan sisa krim kue yang menempeli alasnya, kuenya sudah habis dimakan. "Aku pergi dulu, ya." Mina beringsut dari duduk, berdiri merapikan mantel tebalnya yang kebesaran itu.
"Mau ke mana?" tanya Fardy. "Cepat sekali mau pergi lagi."
"Mau bertemu seseorang, aku mau mengajak mereka juga nanti ke pasar malam di sekolah kalian." Mina kemudian mengambil langkah dan melesat pergi.
KAMU SEDANG MEMBACA
MINA FINCH: Butterfly
VampirePrakasa anak laki-laki yang buta warna bertemu dengan gadis aneh yang selalu memakai kacamata hitam. "Far, kau percaya vampir?" "Vampir? Seperti karangan Bram Stoker di novelnya?" "Gadis yang kaulihat tempo hari bersamaku. Dia itu vampir!" Mina F...