Chapter 2: Kacamata Hitam

740 199 136
                                    

Di pagi yang basah dan dingin, Prakasa telah bangun bersiap-siap mandi dan pergi ke sekolah. "Ayah, aku pergi," pamitnya pada ayahnya yang sedang merumput di luar teras.

"Iya, hati-hati," sahut Ayahnya.

Saat itu dilihatnya cuaca diselimuti gumpalan awan gelap yang terlihat bergerak-gerak di atas langit, pertanda akan datang hujan di pagi itu. Prakasa mempercepat langkahnya, takut jika dirinya akan kehujanan di jalan.

Dan langit pun mulai runtuh menurunkan hujan, namun hanya gerimis. Prakasa sesekali berlari kecil dan bintik-bintik kecil basah akibat hujan membasahi seragam sekolahnya. Lama-kelamaan hujan gerimis itu berubah menjadi rintik deras.

Prakasa bergegas lari memejamkan mata, sesekali menutupi mukanya dengan tangan untuk menghindari serbuan air hujan yang menerpa basah wajahnya.  Tapi, seketika ia merasa dirinya tidak dijatuhi air hujan lagi. Ia memperlambat gerak kakinya berhenti berlari dan menengok ke atas. "Hah, payung?!" Prakasa terkesiap karena ia sempat mengira kalau hujannya tiba-tiba berhenti.

"Hei!" Seseorang menyapanya tiba-tiba. "Aku yang semalam. Apa kau melihat kacamataku yang terjatuh?" tanya orang yang menyapa Prakasa, ternyata gadis yang bertabrakan dengan dirinya malam tadi.

"Kau gadis aneh." Prakasa baru teringat akan kacamata yang ditemukannya tergeletak  di jalan semalam. "Kacamatamu ... aku menyimpannya di rumahku," ucap Prakasa berekpresi datar.

"Oh, ayo kita ke rumahmu sekarang, Perkasa," ajak gadis itu dengan menyebutkan nama yang salah.

"Prakasa bukan Perkasa! Tau dari mana namaku?" tanya Prakasa kebingungan.

"Itu, terlihat jelas di seragam sekolahmu," jawab gadis itu menunjuk dada Prakasa yang seragam sekolahnya terdapat bordiran benang hitam, terukir nama Prakasa.

"Ah, iya bodohnya aku," ucap Prakasa dengan helaan kecil.

"Jadi, ayo kita ke rumahmu." Gadis itu kembali mengajaknya.

"Aku akan ke sekolah. Bagaimana kalau nanti saja?" ucap Prakasa karena pada saat itu di arloji hitam yang digunakan di tangan kirinya, hampir menunjukan jam 7 pagi, 10 menit lagi.

"Kapan?" gadis itu berbalik bertanya.

"Sepulang sekolah," balas Prakasa yang berada di bawah payung yang sama dengan gadis itu. Lebar payung yang digunakan gadis bermantel hitam itu, cukup untuk badan mereka berdua yang terbilang sama-sama kurus.

"Baiklah, aku akan mengantarmu sampai ke sekolah," tawar gadis itu pada Prakasa, yang tidak membawa payung, sedangkan pagi itu hujan deras. Prakasa menerima tawaran gadis yang tidak ia kenali, lalu mereka berdua berjalan menggunakan payung bersama.

Prakasa dan gadis itu telah tiba di gerbang sekolah. "Aku akan menunggumu," ucap gadis itu dengan senyum di wajahnya.

"Baiklah, terserah." Prakasa lalu bergegas lari masuk melewati gerbang sekolahnya.

Beberapa jam dilalui, lonceng sekolah berbunyi pertanda jam istirahat untuk para murid di sekolah. Seluruh siswa-siswi termasuk Prakasa keluar dari kelas mereka.

Keadaan yang masih terbilang pagi kala itu, dilihat Prakasa cuaca masih saja mendung dan berawan.
"Kita sudah di musim hujan, Ya. Hujan terus beberapa hari yang lalu." Prakasa menoleh ke samping, ia melihat temannya yang sedang berbicara.
"Celana dalamku sekarang saja lembab." Mendengar gurauan temannya, Prakasa hanya tersenyum kecil memperlihatkan sedikit giginya.

"Aku mau ke kantin. Mau ikut?" ajak Prakasa.

"Boleh."

Prakasa dan temannya berjalan bersama di koridor sekolah menuju kantin. Sesampainya, mereka berdua memesan dua porsi nasi goreng dan duduk di meja makan kantin, menyantap nasi goreng bersama, nasi goreng yang harganya lumayan untuk kantong anak sekolahan.

"Pas di depan tadi, itu siapa?" temannya angkat suara.

"Hah?" Prakasa sedikit tidak mendengar ucapan temannya yang bernama Fardy itu karena riuh suara murid yang mengobrol di kantin.

"Yang di depan tadi. Yang mengantarmu," ucap Fardy dengan sendok yang tertahan masuk ke mulutnya.

"Oh, itu entahlah rumit," jawab Prakasa enggan menjelaskan.

"Sepupu, ya?" tanya Fardy masih penasaran.

"Apakah tadi saat kita keluar kau sempat melihatnya masih di depan gerbang?" tanya balik Prakasa yang baru saja selesai menelan suapan terakhir makanannya.

Fardy hanya menggelengkan kepalanya. Dan mereka pun kembali ke kelas saat selesai makan.

Prakasa berjinjit dan mendongakan kepalanya di depan pintu kelas, mencari gadis yang bertemunya semalam dan mengantarnya sampai ke gerbang sekolah tadi pagi. Masih menunggu seperti katanya atau sudah pulang karena menunggu terlalu lama.
"Sudah pulang," pikir Prakasa

Jam demi jam berlalu kemudian lonceng Jam sekolah berbunyi lagi. Namun, kali ini tanda bubarnya aktifitas sekolah. Prakasa berjalan santai keluar kelas segera ingin pulang.

"Aku duluan ya," pamit Fardy berjalan cepat mendahului Prakasa.

Prakasa hanya memanggutkan kepalanya.

"PERKASA!" terdengar lengking seorang yang berteriak menyapanya, ternyata gadis tadi. "Tunggu aku," ucapnya.

"Berhenti memanggilku Perkasa! Sudah kubilang Prakasa!" Prakasa menggeram kesal.

"Maaf heheheh." Gadis itu menyeringai sambil menutup mulutnya.

"Kau tidak merasa aneh dengan kacamata hitam yang kau gunakan sekarang?" tanya Prakasa sinis.

"Kenapa?" tanya gadis itu.

"Kau terlalu mencolok. Apa kau tidak sadar? Dari tadi orang memperhatikanmu." Prakasa memperjelas kalimatnya, membuat gadis itu menoleh ke arah orang yang memperhatikannya. Tapi gadis itu mengacuhkan pandangan mereka yang memperhatikan.

Prakasa dan gadis itupun berjalan bersama tapi tak bersampingan, gadis bermantel hitam itu berjalan di belakang Prakasa sambil bermain-main, memutar-mutar payung yang dibawanya.

Setelah beberapa saat mereka berdua tiba di rumah dengan teras depan yang di penuhi pot-pot yang ditanami bunga mawar dan berbagai tumbuhan berwarna hijau lainnya.

"Tunggu sebentar, aku akan mengambil kacamatamu." Prakasa segera membuka pintu rumahnya dan masuk mengambil kacamata gadis itu. Sedangkan gadis itu menunggu di depan pintu rumah yang terbuka.

"Ayah, jaketku semalam di mana?" tanya Prakasa karena di dalam saku jaketnya tersimpan kacamata gadis itu.

"Ayah taruh di wadah baju-baju kotor di situ," tunjuk Ayahnya. "Siapa itu Prakasa?" tanya ayahnya melihat gadis yang berdiri di depan pintu rumah yang terbuka.

"Kenapa tidak kausuruh masuk?" suruh ayahnya.

"Dia hanya perlu ini, Ayah." Prakasa menunjukan kacamata gadis itu pada ayahnya dan Prakasa segera menghampiri gadis yang sejak tadi berdiri di depan.

"Ini, kacamatanya. Maaf membuatmu menunggu," ucap Prakasa memberikan kacamata itu.

"Terima kasih." Gadis itu lalu memasukan kacamatanya yang memiliki lensa bulat dan berwarna hitam persis seperti yang ia gunakan saat itu ke dalam saku mantelnya, namun bedanya bingkai kaca dari kacamata itu agak sedikit karat.
"Kita belum sempat berkenalan. Aku Mina," ucapnya memperkenalkan diri

"Sepertinya, aku tidak perlu menyebutkan siapa namaku lagi, kan," ucap Prakasa. "Mau masuk dulu?" tawarnya basa-basi pada Mina.

"Terima kasih, tapi aku pulang saja."

"Baiklah."

Ketika hendak pulang dari rumah Prakasa, cuaca saat itu mendung berawan kelabu.

"Wah, mau hujan lagi. Untung saja aku membawa payung. Sampai jumpa Prakasa." Mina pun melangkah pergi meninggalkan kediaman Prakasa.

"Gadis itu kenapa memakai mantel kebesaran dan gayanya kuno sekali, aneh." ucap ayah Prakasa datang ke depan pintu saat Mina telah jauh pergi. "Gadis itu seperti manusia yang berasal dari masa lalu," sambungnya.

.
.
.
.
.
.
Next 😉

MINA FINCH: ButterflyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang