2

110 37 13
                                    

- Kiara's Point of View -

Hari ini senin, hari paling membosankan di setiap minggu.

Hubunganku dan Evan sejak hari itu menjadi makin dekat. Seperti kemarin, aku dan dia pergi untuk menghabiskan waktu malam Minggu. Aku tidak menyangka kalau orang yang melabeli dirinya culun itu dapat menjadi lelaki penyebar kebahagiaan di hidupku saat ini.

Evan berada di kelas 11 IPA 3, sedangkan aku berada di 11 IPA 2. Anehnya, ternyata selama ini keberadaan Aku dan Evan sangatlah dekat. Mungkin, aku benar-benar tidak menyadari dirinya dulu. Namun, sekarang berbeda karena Ia adalah sahabatku sekarang.

Malam minggu kemarin, aku dan Evan pergi ke bioskop. Sekilas, mungkin orang akan menyangka bahwa kami adalah sepasang kekasih. Namun, nyatanya Aku dan Evan hanya sepasang sahabat yang berbagi kebahagiaan.

Aku belum memperkenalkan Evan kepada Nisa. Bila Aku kasih tau Nisa bahwa aku sedang dekat dengan seorang laki-laki, mungkin Nisa akan sangat senang karena Ia tau seberapa tersiksa Aku setelah ditinggal dia.

Dia lagi. selalu dia yang dipikiranku ini. Aku berusaha sekuat tenaga menghilangkan pemikiranku tentang dia hingga akhirnya pikiranku dialihkan ketika orang yang berbaris di sampingku selama upacara memanggil.

"Eh nyet." Ternyata Evan.

"Eh.. ngapa?

"Ngelamun aja, mikirin gue?" Oh iya, Aku belum memberitahu Evan tentang dia. Belum ada saat yang tepat untuk memberitahunya akan hal itu.

"Percaya diri lu ketinggian Van haha. Btw kok lo ga bales line gue semalem?"

"Belajar gue, maaf ya." Ia tersenyum nakal. "Biasalah, anak pinter." 

Evan memang pintar. Aku baru tau kalau dia adalah juara tiga umum di angkatanku untuk jurusan IPA. Kelasku meraih juara dua umum, atas namaku. Tapi bohong.

Aku bisa dibilang siswa yang biasa-biasa saja. Kemarin, aku hanya memperoleh rangking 10, sangat jauh dari angka 1. Aku tak menyangka bisa berteman dengan dua orang pintar.

Tentu saja, Nisa adalah sang pemegang juara dua umum itu.

Aku bisa meraih rangkingku itu mungkin karena aku satu bangku dengan Nisa. Aku sungguh beruntung bisa berteman dengan dia. Nilaiku meroket. Padahal kelas 10 dulu, aku hanya meraih juara 15 besar.

"Ye, dia melamun lagi." Ujar Evan.

"Maaf Van, otak gue kepenuhan buat mikirin kata-kata apa yang pas." Aku tersenyum. "Lo kegantengan sih, sampe ada cahaya-cahaya neraka. Ups."

"Anjing lo."

"Mulai kata-kata ajaib lo keluar. Orang sepinter ini bisa jadi bangsat juga."

"Eh lo ini ribut banget dah Raaa! Ini lagi upacara looh!" Celoteh Nisa. Nisa yang berdiri di depanku lantas berbalik badan karena saking ributnya mulutku.

"Eh Nis, ini nih anak sebelah gue. Btw lo belum gue kenalin, Evan nih." Mereka saling tersenyum tanpa mengucap kata 'hi' sedikitpun. Perjuanganku seolah tak dianggap.

Upacara dan jam pertama telah selesai. Saatnya masuk ke pelajaran olahraga. Pelajaran yang kadang membosankan dan kadang menyenangkan akan dimulai. Aku harus bersiap.

Aku dan Nisa berganti pakaian di ruang ganti.

Guruku menginstruksikan untuk pemanasan. Seperti biasa, Nisa-lah yang menjadi instrukturnya. Nisa adalah orang yang sungguh berbakat. Aku cinta kau Nisa.

Setelah pemanasan, aku dan teman yang lain mengambil nilai lari. Ini salah satu keahlianku. Aku berhasil 5 kali keliling lapangan hanya dalam 5 menit. itu cepat, sungguh. Teman-temanku hanya mendapatkan 2-3 keliling, begitu juga Nisa. Namun, itu tak berlaku bagi anak laki-laki. Tentu mereka ada yang melebihi rekorku.

Sepulangnya dari sekolah, aku makan bersama mamaku di warung makan dekat sekolah. Mobilku sedang disita karena aku terlalu memfoya-foyakan uang beberapa waktu lalu.

Hal itu kulakukan karena rasa frustasi yang menggangguku. Berkat dia.

Aku membuka lembar demi lembar buku ini. Buku memoriku bersamanya. Kulihat di lembar pertama, tulisanku yang tertata begitu rapi menghantui hatiku lagi.

ADIT DIARIES.

Kata pertama yang akan ku lihat di lembar pertama buku ini.

-----
Ps. Your vote and comment really motivate us as an author

Love ya!

Hi, Dit!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang