sl 11

625 55 5
                                    

"I gave my best to you, nothing for me to do.. But have one last cry."























Justin Bieber

Jangan tanyakan aku apakah rasanya menyakitkan atau tidak. Karena jawabannya sudah pasti sangat menyakitkan. Melihat Alliana menangis tanpa henti dalam dekapanku saat ini, tangannya melingkar erat memeluk tubuhku seakan dia tak ingin melepaskannya
barang sedetik pun. Bibir manisnya yang tiada henti memohon agar aku tidak menyerah pada keadaan yang seperti ini.

Andaikan dia mengerti betapa sulitnya berada di posisiku saat ini. Dan seberapa besar cintaku padanya. Keputusan yang kuambil ini, bukan hanya keputusan sesaat ketika
aku merasa emosi melihat kondisiku sendiri. Tetapi keputusan ini telah kupikirkan begitu matang. Aku amat yakin, jika perpisahan yang saat ini kami butuhkan.

Aku ingin melihatnya tenang dan terlepas dari belenggu permasalahan yang melukai perasaannya ini. Dengan terusnya dia hidup bersamaku, hanya akan membuatnya tersiksa dalam bahaya. Aku merupakan bahaya untuknya. Aku sadar betul bagaimana keadaanku
saat ini. Aku seorang pengguna. Aku memiliki dua orang malaikat kecil yang ingin kulindungi. Itu sebabnya aku akan pergi menjauh dari mereka meskipun rasanya benar-benar menyakitkan ketika harus melepas mereka yang begitu kucintai. Aku mengorbankan perasaanku dengan membiarkan aku kehilangan mereka. Lantas, apakah ini yang terbaik? Ya, ini yang terbaik.

"Kau-aku benci kau!" Alliana menjerit dalam dekapanku. Dia memukul-mukul dadaku dengan tangannya yang lemah. Aku memejamkan mata hingga air mata meluncur bebas
dari kedua sudut mataku.

"Hey, look at me." Aku berbisik pelan, melepaskan dekapannya kemudian merengkuh wajahnya yang kacau karena air mata. Dia membuang muka, seakan enggan untuk
menatapku walau sedetik saja. Aku tersenyum, meraih jari-jemarinya lantas menggenggamnya dengan erat. Percayalah, ini sangat berat untuk kami lakukan. Namun aku tahu, dengan keputusan bercerai ini akan menjadi jalan yang mudah kedepannya.

"Aku sayang kau." Lirihku mengecup permukaan tangannya. Alliana menoleh padaku dan matanya berkabut oleh air mata. Bibirnya nampak bergetar karena menahan
tangisannya agar tidak pecah. Aku membalas tatapannya, memberikan isyarat melalui sorotan mata bahwa aku hanya menginginkan yang terbaik kedepannya. Aku benar-benar
jatuh untuk saat ini. Dan bahkan aku tidak yakin apakah aku bisa bangkit kembali dari keterpurukkan ini.

"Kau bilang kau mencintaiku. Aku juga mencintaimu. Apa yang terjadi? Kau pergi meninggalkanku. Kau melepasku dan menyerah begitu saja Justin. Kau tahu apa? Sakit sekali. Di sini." Alliana bergumam pelan sembari menyentuh dadanya. Aku bisa merasakan ketika dia menyeka air mata yang jatuh dari kedua sudut mataku. Menarik napas berat, aku menyentuh pipinya dan mengelusnya dengan lembut. Sekuat apapun dia mencoba untuk melawan keadaan, kenyataannya akan tetap sama. Ini semua begitu sulit untuk kami lewati.

"Maafkan aku," akhirnya hanya dua kata itu yang mampu ku ungkapkan padanya. Alliana nampak menggeleng tak percaya. Dia menangkup wajahnya dengan kedua tangan dan meredam tangisannya di sana. Aku ikut menangis, kembali menarik dirinya mendekat lantas melindunginya melalui dekapan hangatku. Membiarkan dia meluapkan semua beban yang seakan menumpuk di hatinya. Membiarkan dia melampiaskan rasa sakit yang telah kuperbuat.

"I love you."




---




Aku menatap lurus pada selembar kertas yang kini sudah benar-benar ditanda tangani oleh Alliana. Surat perceraian kami. Semuanya akan di proses sebentar lagi. Mungkin, ibu dan ayahku sangat menyayangkan keputusan akhir yang telah kubuat. Mereka tidak begitu setuju mengapa pada akhirnya aku harus merelakan Alliana pergi dari kehidupanku bersama anak-anak. Mungkin juga, kalian menyebutku sebagai pria bajingan yang egois. Tetapi sungguh, kalian hanya tidak mengerti bagaimana rasanya menjadi aku.

SAME LOVE ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang