sl 16

714 62 3
                                    












Pattie masih belum membuka suaranya hingga mereka tiba di bandara. Sebenarnya dia ingin sekali bertanya pada putranya itu mengapa Justin bisa dengan teganya melakukan semua itu kepada Alliana. Seakan Justin tidak dapat memperbaiki hubungan mereka kembali ataupun memberi kesempatan pada dirinya sendiri untuk memperbaiki kebahagia yang seakan sirna entah kemana. Namun ketika menyadari bahwa Justin pun tidak bersuara sama sekali selama di perjalanan, membuat Pattie menjadi ragu untuk bertanya. Dia takut merusak suasana hati Justin yang-mungkin sedang bersedih karena harus kembali berpisah dari anak-anaknya-oleh sebab itu Pattie membungkam mulutnya rapat-rapat.

Justin turun dari dalam taksi, membawa tas di punggungnya lalu setelah memberi beberapa lembar uang dolar kepada supir taksi tersebut, dia membiarkan Pattie melangkah di depannya. Senyumnya mengembang tatkala menyadari betapa masamnya raut wajah Pattie.
Dia tahu apa yang sedang Pattie pikirkan saat ini. Dan sungguh, Justin hanya ingin membuat ibunya menjadi kesal dan berspekulasi seorang diri. Melihat wajah masam ibunya menjadi hiburan tersendiri bagi Justin.

"Cepatlah!" Pattie membalikkan tubuhnya, berkacak pinggang dengan mata mendelik gemas ketika Justin berjalan sangat lambat di belakangnya. Pria itu terkikik
dalam hati. Dan kemudian mereka menunggu untuk beberapa menit sebelum penerbangan di bangku tunggu. Justin benar-benar tak dapat menahan tawanya lagi ketika melihat wajah Pattie yang terlipat kesal dan muram.

"Mom, ada apa denganmu?" Tanyanya sambil mengenyritkan kening bodoh. Berpura-pura seolah dia tak mengetahui isi pikiran ibunya.

"Menurutmu apa yang terjadi padaku?!" Balas Pattie ketus. Meskipun usianya tak lagi muda, tetapi Justin tidak bisa menampik kenyataan bahwa Pattie masih terlihat cantik dan modis. Mungkin itu salah satu faktor mengapa pada akhirnya Jeremy memilih kembali bersama Pattie. Ibunya benar-benar mengaggumkan.

"Kenapa kau jutek sekali." Gerutu Justin masih tetap bertahan pada kepura-puraannya. Terdengar decak sebal dari Pattie, dan hal itu membuat Justin diam-diam tersenyum geli.

"Kau membuatku seperti ini Justin!"

"Apa? Mengapa kau menyalahkanku?" Justin menyahut dengan mata memicing tak suka. Raut wajah Pattie semakin kentara marah, kesal, dan gemas disaat yang
bersamaan.

"Sudahlah. Pria memang tidak mengerti." Ketusnya lalu mengalihkan pandangan dari Justin. Pattie memilih untuk menatap pada puluhan orang yang berlalu lalang di hadapannya. Namun wanita setengah baya itu terhenyak ketika tiba-tiba merasakan tangan hangat Justin menarik jemarinya dan menggenggamnya dengan erat. Pattie menoleh.

"I'm so sorry, mom." Bisik Justin tulus. Benar-benar terlihat ketulusan dari pancaran bola matanya yang indah dan lembut. Pattie menaikkan satu alisnya tinggi-tinggi.

"Apa?" Katanya tak mengerti. Justin tersenyum. Mengusap buku jari-jari
Pattie yang berada dalam genggamannya, tatapannya yang lekat masih tak lepas sedikitpun dari bola mata Pattie yang jernih dan penuh kelembutan.

"Kau tidak perlu ikut kembali bersamaku."

"Apa-apaan yang kau katakan?!" Pattie memekik terkejut. Justin mendesah perlahan, lalu dia mengalihkan pandangannya lurus ke depan.

"Aku akan pergi seorang diri." Justin menyahut pelan. Dia memang sudah
memikirkan hal ini matang-matang sebelumnya. Dan keputusan ini adalah yang terbaik. Rasanya, dia sudah terlalu sering merepotkan Pattie dalam urusannya. Dia mengerti betapa letihnya wanita itu untuk terus berada disisinya sementara Justin tahu Pattie memiliki banyak urusan yang tidak bisa wanita itu tinggalkan. Pattie seorang perancang busana, pekerjaan yang selama dua bulan belakangan ini dia tinggalkan, sudah pasti membutuhkan pertanggung jawabannya. Oleh karena itu Justin memutuskan untuk pergi ke Kanada dan melakukan pemulihan kali ini seorang diri.

SAME LOVE ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang