Trapped

15 3 0
                                    

"Setiap orang pasti punya sesuatu yang terlupakan olehnya, yang dibiarkan hilang atau berusaha ditemukan kembali"

Lexa duduk disudut ruangan memerhatikan dua orang pelanggan cafenya yang sedari tadi menjadi pusat perhatian disana. Dia mengenal kedua orang tersebut, Nathaniel Arvano Abiputra dan Revalisha Arega. Walaupun ini cafenya dan kedua manusia itu cukup mengganggu, dan dari tadi menyuguhkan adegan-adegan aneh, namun dia tidak mungkin menegur keduanya saat ini. Tidak bisa, mengingat siapa salah satu diantara mereka. 'Inilah jadinya kalau lo punya sepupu yang pinternya ketulungan kayak Nathan, eh ralat, li to the cik, licik,' desahnya dalam hati.

Dia menyendok sesuap ice cream vanilla kemulutnya, lalu sesuap lagi, segar, lembut, yummy. Dia sangat menikmati sensasi dingin dan lembut itu dimulutnya. Memperhatikan dua anak manusia yang sedari tadi kisruh, kurang lebih sedikit menguras emosinya. Dia merapalkan 'sabar,sabar,sabar' berulang kali didalam hati. Tatapannya kembali beralih kearah mereka. Mereka tidak lagi berdua, kini sudah ada seorang lagi yang ikut bergabung bersama mereka. Lagi-lagi itu sosok yang tidak asing. Ryzuel Elga Yoza.

Kalau Lexa tidak duluan tahu alasan mereka bertiga berkumpul, pastilah sekarang dia menganggap pemandangan dihadapannya ini sebagai suatu hal yang ganjil. Nathan-Reva yang tidak pernah akur, ditambah Ryzu yang jarang bicara bahkan sekarang terlihat mengulum senyum kearah keduanya.

Lexa masih asik memperhatikan kejadian ganjil dicafenya itu ketika i-phonenya berdering. Ini sudah kesekian kalinya Silveryne –panggilan Lexa untuk i-phonenya- meraung tidak jelas karena id caller yang sama. Dengan malas dia menjawab panggilan tersebut. "Hallo.."

"Hallo, Lex. Akhirnya lo angkat juga... " sapa suara diseberang terdengar lega.

"Lexa, please" balas Lexa memotong dengan cepat. Oh no, kenapa semua orang harus diingatkan sekedar untuk memanggil secara benar.

"Sorry Lexa, lo dimana? Mau gue jemput? Lo nggak lupa kita ada janji dinner kan?"

"First, bukan urusan lo gue lagi dimana. Second, gue nggak lupa, gue belum pikun. Third, well, gue punya mobil, gue bisa nyetir, gue juga punya supir. But Fyi, gue nggak punya niat dinner bareng elo" Nada suaranya lembut, tajam, dan penuh penekanan pada setiap kata-katanya.

Belum sempat penelpon diseberang membalas kata-katanya, "Lo pasti mau nanya kenapa, klasik. Alasan gue sih simple, gimana lo mau ngajak cewek ngedate kalau manggil namanya aja nggak bener, lo butuh belajar lagi, bye"

Lexa memutuskan sambungan teleponnya dengan santai, sama sekali tidak peduli dengan nasib teman kencannya tadi, ralat mantan teman kencan. Ini bukan kali pertamanya kejadian seperti ini terjadi, juga sudah tak terhitung kali keberapa. Heartbreaker angel, mereka menyebutnya seperti itu, tapi Lexa sama sekali tidak peduli. Bukan salahnya kan, dia tidak merasa mematahkan hati siapapun, mereka yang menyukainya, memujanya, mengatakan sayang juga cinta. Dan sekali lagi, Lexa sama sekali tidak peduli.

Dia mendesah nafas jengah, menolehkan wajahnya pada lampion-lampion redup yang menghiasi halaman cafenya. Dia baru memulai menjalankan bisnis cafe ini awal tahun lalu, sekedar mengisi kebosanan dari renggangnya rutinitas perkuliahannya di semester akhir. Dia juga tidak menyangka akan mendapat respon yang baik, terlihat dari pengunjung cafenya yang tidak pernah sepi.

"Mbak, mbak yang ada disampul majalah Prophecy itu kan?" Lexa tertegun karena pekikan beberapa remaja labil yang entah sejak kapan sudah mengelilinginya. "Mbak, foto bareng dong mbak, boleh ya mbak"

"Iya mbak, mbak kan cantik, siapa tahu kita-kita juga bisa ketularan cantiknya, ya mbak?" tambah temannya.

Lexa mengangguk lalu tersenyum ramah. "Boleh aja, satu-satu atau keroyokan nih?" candanya. Lalu dimulailah sesi-sesi foto-foto, atau lebih tepatnya selfie sana-sini.

The SeasonWhere stories live. Discover now