2

8.7K 376 10
                                    

 Aku mengatur napasku dengan tenang, dan mulai berkutat kembali dengan pekerjaanku sebagai sekretaris CEO. Berusaha menetralkan pikiranku yang sedari tadi kacau.

"Hei Rein, selamat pagi," sapa Axel lelaki yang sudah menjadi sahabatku sejak 2 tahun yang lalu.

"Pagi juga, mana Diandra?" tanyaku masih terus sibuk membuat diagram kenaikan jumlah keuangan perusahaan.

"Tadi aku akan menjemputnya, tapi dia menolak dia ada urusan lain," jawab Axel dengan muram.

"Do you have a problem?" tanyaku menatapnya yang tengah gelisah.

"Aku takut, ketika kami menikah nanti Diandra malah tidak bisa merawat keluarga dan bahkan tak menutup kemungkinan dia tak peduli denganku maupun anak kami nanti ..." ujarnya ragu.

"Kamu harus percaya dengan janji Diandra, aku yakin seorang Diandra pasti akan menepati janjinya!" dan Axel mengangguk pasti.

"Axel, Reina!" teriak seseorang yang mulai berlari mendekati kami. "Ada apa Dimas?" tanyaku.

"Diandra korban tabrak lari!"
               

***

Kami seperti orang gila saja, terus berlari di antara koridor rumah sakit yang ramai. Berkali-kali tubuh Axel menabrak orang yang lewat di depannya, aku hanya menggenggam erat jemarinya berharap agar ia bisa sedikit bisa tenang.

Kami sampai di ruangan yang dimaksud perawat itu, tanpa permisi lagi Axel langsung menerobos masuk bersamaku yang ditariknya.

"Sayang, apa yang sebenarnya terjadi? Aku sangat takut sesuatu buruk menimpamu," ucap Axel yang masih tersengal. Diandra menatap kami dengan menahan tawanya. Apa maksudnya? Kami sangat mengkhawatirkannya!

"Kenapa kamu senyum begitu sayang? Apa ada yang lucu?!" pekik Axel kesal.

"Aku hanya terkilir tadi, kenapa kalian menatapku seakan aku terluka begitu parah?" tanyanya polos tanpa sedikit pun merasa bersalah.

"Yang benar saja, Dimas bilang kamu korban tabrak lari!" ucapku yang sudah tak sabar lagi.
   
"Iya memang, tapi aku tadi berusaha menghindar ya korbannya kakiku ini ..." jelasnya sembari tersenyum.

"Di, aku dan Axel tadi sampai kayak orang gila dan sekarang kamu merespons tindakan kami dengan senyuman?" ucapku dengan sebal.

"Aduh ... Maaf ya, aku hanya geli melihat ekspresi kalian berdua. Axel dan kamu biasanya kan serius, lucu aja lihat wajah panik kalian ...."

Pletak..

Satu jitakan di kepalanya berasal dari Axel, "Lucu, memangnya kami pelawak? Kalau kamu terluka parah bagaimana dengan pernikahan kita yang tinggal tiga hari? Kamu mau aku menjadi duda bahkan sebelum aku menyentuh istriku sendiri?!" sekarang giliranku yang menahan tawa melihat kemarahan di wajah Axel.

"Iya sayang, maaf ... Aku janji bakal hati-hati lagi," lirih Diandra bagaikan anak kecil yang takut dimarahi ibunya. Sesaat suasana pun berganti cair.
    
Drttt..

Aku menatap pesan yang baru saja dikirim pemiliknya,

'Ini belum seberapa, sebentar lagi kamu dan sahabat wanitamu akan menyaksikan bagaimana kematian Axel.'

Dan pesan itu sukses membuatku menegang di buatnya. "Aku ke toilet dulu ya, Xel, Di ..." pamitku berusaha untuk tetap tenang. Dan mereka langsung mengiyakan permintaanku.
   
"Halo," suara dinginnya kembali kudengar setelah beberapa jam yang lalu pertengkaran kami.

"Kita perlu ketemu!" ucapku tak ingin berbasa-basi lagi.

"Di kafe biasa, jam satu!" perintahnya dan langsung menutupnya begitu saja.

"Sampai kapan kamu akan terjebak pada hidup lelaki itu Rein?" tanyaku pada diriku sendiri yang berdiri di depan cermin.

Aku menghela napas panjang, mungkin selamanya aku akan terjebak menjadi sosok yang kedua baginya.

***
 

Aku langsung duduk di meja itu, "Kukira kamu tak akan datang," gumamnya tanpa repot-repot menatap kehadiranku.

"Apa sebenarnya keinginanmu Vin? Bukankah aku sudah memberimu pilihan, dan aku sudah yakin kau takkan pernah memilih untuk bersamaku jadi keputusannya hubungan kita berakhir sampai di sini!" tegasku.

"Yang membuat perjanjian itu aku sayang, jadi kau sama sekali tidak berhak memutuskan apa pun di sini!" ujarnya dingin sembari menggebrak meja.
 
"Apa pun yang kau lakukan tak akan merubah keputusanku! Aku tidak ingin lagi bersamamu Vino!" aku mulai memberanikan diri mengingat keselamatan sahabatku Diandra yang tak main-main.

"Benarkah sayang? Padahal baru saja aku mengirimkan pesan kepada algojoku untuk menghabisi nyawa sahabat laki-lakimu itu. Wow! aku bahkan membayangkan sosok Diandra yang gagal menikah dan tatapan bencinya kepadamu ketika menyadari Axel terbunuh karenamu," ucapnya kejam.
    
"Tidak Vin, kumohon jangan lakukan itu ..." lirihku sembari memegang kedua tangannya yang masih sibuk mengutak-atik ponselnya. Aku panik seketika.

"Jadi, bagaimana Rein kau masih dengan keputusan bebalmu, ingin berpisah denganku?" tanyanya santai namun tidak pada kedua matanya yang menatapku tajam seakan ia ingin aku menjawabnya tidak.

"Baik jika itu keputusanmu, itu hakmu bukan?" dia bangkit berdiri dan hampir saja pergi.

"Aku menyayangimu Vino, mari kita kembali ke rumahmu aku sangat merindukanmu ..." ucapku tercekat.

Vino memeluk tubuhku erat, hingga bisa kucium harumnya yang memabukkan, "Aku juga merindukanmu sayang."

***

Aku masih terjaga dalam tidurku, membalikkan tubuhku dengan hati-hati. Kulihat Vino masih tertidur di sampingku, tangannya masih setia bertengger di perutku. Bayangan percintaan kami semalam benar-benar memenuhi segala memori di otakku, ya setelah kejadian aku kembali dengannya ia langsung membawaku ke rumahnya. Entahlah, mungkin aku memang gadis bodoh dengan mudahnya kupercayakan tubuhku padanya. Pada dia yang sudah pasti takkan pernah serius denganku.

"Kau sudah bangun sayang?" tanyanya dengan parau, aku mengangguk dan ia langsung mencium bibirku dengan rakus.

Tangannya kembali menyentuhku di sana-sini, "Vino ..." panggilku dengan lirih.

"Aku menginginkanmu lagi sayang," bisiknya semakin parau. Dan ia melakukan hal itu lagi.
 
  ***
    
"Rein, nanti kamu temani aku ya untuk belanja perlengkapan pernikahan!" ajak Diandra di sela percakapan kami.

"Memangnya Axel tidak bisa ya?" Diandra menggeleng pelan disertai senyum bersalahnya.

"Entahlah, dia yang begitu ngotot ingin menikah tetapi aku sekarang yang repot!" dengus Diandra kesal. Aku mengacak pelan rambutnya, "Seharusnya kau bersyukur diluar sana masih banyak orang yang ingin meresmikan hubungannya tetapi tidak akan pernah bisa." Ya, dan mirisnya aku membicarakan diriku sendiri.

"Rein, maafkan aku ... Aku tidak bermaksudn" ujar Diandra memegang kedua bahuku.

"It's okay Di, aku percaya suatu saat aku akan menemukan cinta sejatiku," dan tanpa sadar tangan Diandra sudah menghapus air mata yang entah sejak kapan sudah mengalir begitu saja.

"Bahkan aku tidak yakin dengan ucapanku, adakah lelaki yang mau denganku setelah tahu jika aku sudah tidak murni lagi? Dan kapan aku bisa lepas dari Vino Di?" lirihku dalam tangis.

Diandra memeluk tubuhku yang bergetar, "Aku yakin, suatu saat kau akan menemukannya sayang, perempuan sebaik dan setulus dirimu akan mendapatkan laki-laki baik. Kau hanya perlu bersabar dan menunggunya, aku yakin tidak selamanya takdir Tuhan itu buruk ..." Diandra ikut menangis dalam pelukan kami.
   
***
EXO Suho as Vino

My True LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang