13

4.1K 249 5
                                    

Vino mengangguk sebagai jawabannya, "Tapi aku bisa merubah Adrian sepenuhnya mencintai diriku," sontak kalimatku membuat Vino kembali menajamkan manik matanya.

"Kau tidak akan bisa Rein, aku mohon menjauh darinya ..., dia lelaki brengsek!"

"Bukankah kau juga brengsek?" gumamku kesal. Ia terkekeh menanggapi ucapanku, tanpa kusadari ia mencium bibirku. Melumatnya lembut dan menggigitnya.

"Aku sangat merindukanmu, maafkan aku waktu itu emosi Rein ...," ucapnya tatkala menyentuh rahangku yang masih membekas. Aku memalingkan muka darinya, seakan tak tahan dari posisi ini.
    
"Vino, apa yang kau lakukan?!" pekikku saat ia meletakkan tubuhku di atas tubuhnya, bahkan punggungku merasakan getaran jantung di dadanya.

Tangannya membelai lembut rambutku, kemudian kedua tangannya memeluk perutku dengan posesif. Kemudian cepat ia mencium sisi samping leherku, mengirim sinyal gelenyar panas di sana.
"Aku baru bisa tidur jika posisi kita seperti ini," bisiknya lembut.
                      
***
    
Aku membuka mataku segera saat mendengar suara gedoran pintu di mansionku. Aku segera bangkit dari tempat tidur dengan susah payah karena pelukan Vino yang begitu erat. Namun, sebuah tangan kekar menarikku kembali, "Itu Adrian," gumamnya dingin.

"Aku akan mengatakan jika aku sedang sakit dan tidak ingin diganggu," ucapku meyakinkan.

"Jangan lama-lama, kurasa 10 menit cukup untuk berdebat dengannya. Kalau lebih, konsekuensinya aku akan keluar dari kamar ini dan berhadapan langsung dengannya." Aku mengangguk setuju dan langsung menuju ruang tamu.
    
Pintu terbuka dan Adrian langsung masuk dengan wajah datarnya. Hatiku sangat sakit melihat ekspresinya itu, "Tak tahukah aku mencarimu kelimpungan seperti orang gila," ujarnya dingin.

"Maaf," cicitku lirih.

"Aku minta penjelasan Rein, bukan ucapan maafmu!" Jika saja ini bukan di mansionku sungguh aku akan melarikan diri dari situasi menegangkan seperti ini.
    
"Saat kau pergi, aku merasa tidak enak badan dan sepertinya penyakit ususku kambuh, jadi aku memutuskan pulang dan beristirahat di rumah."

"Aku bisa panggilkan dokter!" geramnya seketika membuat tubuhku beringsut menjauhinya.

"Aku tahu aku salah Adrian, tapi kenapa kau tampak mengurusi hidupku?! Kau! Baru beberapa hari mengenalku dan sudah berani mengatur hidupku!"

Aku menghirup udara di sekitar dengan rakus berharap meredakan emosi yang membuncah dadaku.
    
Pandangan Adrian sangat terkejut dan detik berikutnya tatapan matanya kembali dingin. Ia tertawa pelan namun tidak pada kedua matanya yang lebih menyiratkan ... Kekecewaan. "Baiklah jika itu yang kau inginkan, aku tidak akan lagi mengaturmu. Aku memang salah di sini, silakan lakukan apa saja sesuka hatimu aku tidak melarang lagi," ujarnya dingin. Dan tubuhnya pun berangsur menjauh dari pandanganku.
    
Aku kembali menuju kamarku, "Kenapa?" tanya Vino duduk di sisi ranjang.

"Dia kecewa denganku, aku malah mengatainya yang tidak-tidak," gumamku, aku merutuki sendiri ucapanku tadi.

Sungguh aku tidak bermaksud mengatakan hal itu, aku hanya frustasi menghadapi banyaknya masalah yang kuhadapi. Belum lagi Vino dan Adrian malah semakin menambah bebannya. Malah mereka berdua adalah pusat masalahku.

"Dia remaja labil, abaikan saja kata-katanya, mungkin 3 hari akan bersikap seperti sedia kala," gumam Vino yang membaringkan tubuhnya kembali.

"Ya kuharap kalimatmu benar adanya."
                    
***
    
Berkali-kali aku menekan tombol backspace di bidang keyboard komputer rasanya hari ini pekerjaanku tidak ada yang beres sedikitpun. Lelaki yang biasanya menjailiku kini telah pindah kerja di perusahaan tak jauh dari sini.
"Di, bisa kau gantikan pekerjaanku kali ini saja. Ada urusan lain yang harus kuselesaikan," pintaku dengan penuh permohonan. Ya, Diandra adalah sekretaris kedua setelahku.

My True LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang