8

4.8K 283 9
                                    

"Jelaskan padaku apa maksud Sesil?!"

Diandra menahan lenganku saat aku ingin keluar dari lift.

"Maaf Di, sebenarnya aku memang menginap di rumahnya Adrian." Pasrah sudah dengan kemarahan Diandra nantinya.

"Apa?! Kenapa bisa?" Diandra terkejut, matanya melotot tajam.

"Karena taruhan kita waktu itu. Dia menang, dan aku akan mengabulkan lima permintaannya, termasuk menginap di rumahnya selama seminggu."

Aku tak mampu menatap wajahnya, sudah tentu ia kecewa dengan sikapku. Sejenak aku merasakan kehangatan di tubuhku, Diandra memelukku erat, bukan menampar wajahku.

"Rein, aku sahabatmu, aku sudah menganggapmu seperti adikku. Dan sudah tentu bukan, jika seorang Kakak akan melindungi adiknya 'kan? Aku tidak ingin kau kenapa-kenapa." Aku membalas pelukannya. Menganggukkan kepala, membenarkan kata-katanya.

"Iya, aku salah Di. Seharusnya aku percayakan padamu," akuku.

"Sudah, lain kali jangan diulang ya? Ingat ketika kau ada masalah kau tinggal tengok ke belakang selalu ada aku dan Axel yang siap membantu dan menjagamu."

Aku tersenyum bahagia dan merasa tersentuh akan ucapan Diandra.

"Soal Adrian, kakakmu ini setuju kalau kau dekat dengannya. Sepertinya lelaki itu tulus," ujarnya sembari menyikutku, aku meliriknya tajam.

"Hahaha, adikku ini memang judes! Aku hanya bercanda  tapi jika kenyataan pun rasanya aku tidak keberatan kalian serasi--"

"Diandra, sudah!" kesalku pada akhirnya, dan ia hanya menanggapinya dengan kekehan geli.

"Adrian itu seperti adikku sendiri umurnya saja masih terhitung belasan!" ucapku lagi.

"Oh, Reina sejak kapan cinta dan jodoh memandang umur? Kau jangan meremehkan umur, sikap kedewasaan itu tak memandang berapa banyak umurnya. Dan Adrian itu sudah memiliki sikap dewasa!"

"Stop to talk about him!" Tepat saat pintu lift terbuka lebar, aku berlari keluar dari tempat itu dengan segera.
                       
***
    
"Permisi," ucapku saat memasuki ruang kerja Adrian.

Seperti di apartnya kemarin ia sudah sibuk dengan laptopnya aku heran, ke mana larinya sikap kekanak-kanakan dan malasnya itu?

"Apa nanti ada meeting atau sejenisnya?" tanyanya tiba-tiba.

"Kulihat di schedule-nya tidak ada, tapi kita masih menunggu konfirmasi dari perusahaan Yamada dari Jepang, mereka bilang akan mengajukan permohonan untuk presentasi tentang bisnis lokomotifnya."

Aku mengecek kembali tabel di layar monitor ini, dan hasilnya tetap sama.

"Emm, baguslah jika begini bisa pulang cepat dan tepat pukul 5 nanti kita akan terbang ke Texas," ujarnya sembari melirik arloji merk Adidas di tangan kanannya.
    
"Mengapa pernikahan Pak Vino dipercepat, bukankah kudengar akan diadakan satu bulan lagi ya?" tanyaku dengan sedatar mungkin.

"Mana aku tahu, tetapi kata Oma ini untuk mempererat hubungan bisnis antara keluarga Adams dan Fellix," jelasnya.

Ya aku sadar, aku tidak memiliki status sosial tinggi, mungkin ini sebabnya Vino lebih memilih perempuan itu. "Kenapa melamun? Atau jangan bilang, kau menyukai Vino dan kau kecewa ya atas pernikahannya?"

Tentu saja aku kecewa, tidak, aku tidak menyukainya karena jelas-jelas aku menyayangi dan mencintainya setulus hatiku.
    
"Apa kau mulai pandai bergosip?"

Ia tergelak, dan entah sejak kapan sikapnya kembali lagi. Mana Adrian yang tadi serius?

"Tidak, aku hanya menduga. Namun, kalaupun kau menyukai Vino, kujamin Vino akan menolakmu. Mana mau dia dengan wanita pembangkang, ketus sepertimu. Lebih baik Dara, cantik, sexy dan ramah lagi."

My True LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang