03. Hai, Gue Aika!

1.7K 241 273
                                    

"Terserah pendapat kalian tentangku, aku ya tetap aku, kamu tetaplah kamu. Kita tidak akan bisa menjadi diri orang lain."


14 Januari 2009
Hari ini, semester keduaku di sekolah baru. Ini sudah ketujuh kali aku berpindah sekolah. Dimulai dari SMP. Kuharap, ini  sekolah terakhir yang aku geluti sampai tiga tahun nanti. Malu juga sih, kalo pindah dikarenakan kasus kejahatan di sekolah. Bolos, tidur di saat pelajaran guru killer, main kartu di kantin sampai keciduk penjaga kantin. Kenapa aku bisa sebejat itu? Lalu kenapa aku merasa bahagia melakukannya?


Hari pertama sekolah baru rasanya seperti masuk ke dunia lain bagi Aika. Ya, semua orang menatapnya dengan tatapan asing bak seorang alien yang baru mendarat di sekolah mereka. Tatapan penuh tanya terpancar dari mata mereka yang membuat gadis pindahan tersebut super risih dengan keadaan tersebut. Apalagi ditambah dengan lirikan bahkan godaan dari cowok-cowok super idiot di sekolah itu.

Tidak ada yang menarik dari sekolah barunya saat ini. Murid-murid yang heboh sendiri, cewek-cewek yang sibuk mengikuti gaya anak korea, dan cowok-cowoknya malah membahas dunia perfilman yang entah film apa itu. Ah... dunia remaja.

"AIKAAA!!!"

Gadis yang dipanggil namanya tersentak kaget mendengar teriakkan seseorang yang nyaris membuat telinganya tuli. Sekali lagi, telinganya hampir tuli akibat toa masjid super jumbo merasuk begitu saja di gendang telinganya.

"Lo kok bisa pindah ke sini?" tanya seseorang yang sekarang beralih ke samping Aika.

"Emang ini sekolah nenek moyang lo sampai gak boleh? Eh, ngomong-ngomong lo ngapain di sini?" tanya Aika yang berbalik bertanya.

"Gue sekolah lah bego!" jawab orang itu sarkastik.

"Oh, kirain cuma lewat doang." jawab Aika cuek.

Orang itu adalah Zata, ia sangat bahagia bertemu kembali dengan sahabat seperjuangan,  sahabat cerita, dan sahabat di kala apapun. Tentunya karena dapat satu sekolah lagi dengan Aika. Meski bahasa pembicaraan mereka cukup kasar, mereka sudah saling mengerti hingga tiada yang merasa tersinggung.

Aika terus berjalan menelusuri seluruh ruang-ruang kelas di sekolah barunya. Banyak orang yang memperhatikan gerak-gerik Aika dari depan gerbang hingga tempat di mana ia berjalan sekarang. Ada yang dari lantai atas maupun lantai bawah, dari dalam kelas bahkan dari dalam toilet. Emm.., yang terakhir lupakan. Mungkin, hal itulah yang membuat seluruh orang memperhatikannya. Seragam yang berbeda, knit cap yang dipakainya di kepala, sweater rajut berwarna merah marun yang tidak pernah lepas dari style-nya. Dan satu lagi, bola basket yang ia pegang di tangan kiri.

Di tengah kesibukannya berkeliling sekolah. Tiba-tiba saja, seseorang berkumis hitam-tebal yang kumisnya mengalahkan hutan rimba menghampiri gadis itu.

“Aika Azzura, kan?”

Gadis itu spontan saja melirik ke arah sumber suara. Ia yakin, orang yang berada di hadapannya sekarang adalah kepala sekolah. Terlihat dari kening yang jenong, rambut yang panjangnya hanya 3 senti meter dengan polesan minyak rambut yang teramat banyak hingga kelihatan klimis, dan baju resmi dinas.

“Mana orang tuamu?”

“Sibuk, Pak.” jawab Aika bohong.

Sebenarnya, orangtua Aika tidak berada dalam kesibukkan. Mereka hanya malu mengantarkan Aika ke sekolah barunya. Apalagi, Aika memiliki catatan buruk dari sekolah sebelumnya.

REUNITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang