06. Terima Kasih

1K 127 64
                                    

“Aku memang tidak pandai untuk mengucapkan terima kasih, tapi aku tahu cara berterima kasih tanpa mengucapkannya.”


4 Februari 2009
Pertama kali, aku merasa penasaran dengan rupa dibalik kaca hitam itu. Lalu aku bertanya dalam hati setiap kali aku memikirkannya.

“Halo..” ucap seorang gadis yang masih mengejapkan matanya karena siluet cahaya terang masuk dari jendela kamar.

“Halo, Ai! lo sekarang dimana?” tanya seorang dari ujung telepon.

“Di kamar, kenapa?” gadis itu balik tanya.

Orang yang berada di ujung telepon itu berteriak histeris, membuat ponsel yang dipegang gadis itu  hampir terhempas dari atas kasur.

OH MY GOD!! ELO MAU DI SATE LAGI HARI INI!! CEPET BERANGKAT SEBELUM ELO TE—”

Tuuuttt...

Gadis yang masih setengah sadar itu langsung mematikan ponsel yang ia pegang ketika matanya tanpa sengaja melirik ke arah arloji di kamarnya yang telah menunjukkan pukul enam lewat  dua puluh menit.  Buset!! Gue telat, pekiknya dalam hati.

Gadis itu langsung saja terperanjat dari tempat tidur, tangannya pun langsung menyibak perlengkapan sekolah yang berada di sampingnya. Dengan rambut yang ia kuncir cepol saja, ia sudah siap pergi ke sekolah. Jangan tanya gadis itu  jika ia telat bangun, ia sudah terbiasa hal ini. Apalagi, jika orang tuanya tidak berada dalam rumah atau ia sedang berhalangan solat. Ia pasti hanya membasuh muka, lalu segera berangkat pergi.

Penghuni dalam rumahnya sangat sepi, hanya ada dirinya di dalam rumah. Gadis itu kembali teringat jika orang tuanya semalam berangkat ke Bandung, sedangkan sang kakak sudah pasti pergi duluan meninggalkannya.

“Sial.” gumamnya saat melirik kamar kakaknya yang sudah rapi tanpa jejak kaki.

Ia langsung berjalan cepat menuju halte. Ralat, ia malah berlari ke arah halte. Ia sangat cemas jika ia kembali berdiri di tengah terik matahari di halaman upaca. Apalagi, pesan guru BP beberapa hari lalu terus terngiang di kepalanya.

“... Saya tidak bisa beri dispensasi lagi.

Tuhann... Bantu hamba.., mungkin itulah isi dari pikiran gadis yang duduk cemas menunggu kedatangan bis.

Lima menit menunggu ia masih setia dalam halte, sepuluh menit berlalu ia mulai was-was duduk di dalam halte, hingga ke lima menit selanjutnya ia hanya bernapas pasrah. Apapun hukumannya nanti, ia akan tetap melakukannya. Sekalipun membersihkan toilet sekolah yang dikenal toilet paling legenda di sekolah-sekolah.

Sebuah sepeda motor merah bermerek terkenal melaju pelan ke arahnya, wajahnya pun tak terlihat dari bola mata gadis tersebut. Hingga ia tersadar ketika pengendara itu berhenti tepat di hadapannya.

“Ayo naik! Lima menit lagi gerbang ditutup!” seru orang yang berhelmet senada dengan sepeda motornya.

Gadis itu terbelalak kaget ketika melirik ke arah arloji tangannya yang hampir menunjuk ke angka tujuh. Tanpa ba-bi-bu-be-bo ia langsung menerima tawaran itu tanpa pikir panjang lagi.

Pengendara sepeda motor itu langsung tancap gas membelah jalan raya yang padat dengan kendaraan bermesin.

R E U N I

REUNITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang