11. Sebuah Pertanyaan

626 60 5
                                    

vote dan comment di cerita ini*

"Setelah dia membuka mata, dan hari menjadi gelap, kuharap tiada lagi permusuhan antara kami."


Sejak hari itu, sebuah kenyataan mengubah jalan hidup seorang gadis untuk terus mensyukuri kehidupan. Dari seorang teman, membuatnya belajar. Dari sebuah penyakit, membuatnya berpikir untuk lebih bersyukur. Dari sebuah kehidupan, membuatnya memaknai sebuah kehidupan, bahwa kehidupan itu ibarat sebuah cerita. Tuhan sebagai dalangnya, kita yang menjadi pelakonnya, dan alur hidup sebagai skenario yang ditulis oleh Tuhan.

Seperti daun pohon yang mengering, menunggu untuk jatuh ke tanah, lalu menjadi debu yang membusuk dimakan waktu. Mungkin, seperti itulah hidup. Menunggu hingga saatnya kita jatuh dan mati bersamaan dengan kenangan yang seseorang buat bersama orang lain. Jika seseorang itu baik, maka dia akan terkenang oleh mereka yang masih bernyawa. Jika seseorang itu jahat, maka dia juga akan terkenang oleh mereka yang juga masih bernyawa.

Semua ada waktunya. Waktu bersama dengan mereka, waktu bersama dengan tawa, waktu bersama dengan duka, dan waktu bersama Tuhan. Semua ada waktu, kurang baikkah Tuhan memberi waktu itu?

"Hai, lo udah sehat?" tanya Zata.

"Kalau gue sakit, gue gak akan ke sini, bego!" seru Aika sembari tertawa puas.

"Sumpah, ya, kelas sepi tanpa lo." jawab Keno.

"Kelas sepi tanpa gue atau kelas damai tanpa gue?" tanya Aika dengan senyum senang.

"Kela-"

"Kelas damai tanpa lo." potong lelaki yang baru saja memasuki kelas.

Air muka gadis itu berubah pias, kecewa dengan ucapan sang ketua kelas yang merasa bersyukur tanpa dirinya.

"Bagus, semoga kelas ini makin damai kalau gue lebih sering absen." ungkap gadis itu sambil tertawa.

Semua orang yang berada di barisan itu tahu maksud tawa dari gadis itu. Sebuah tawa untuk menutupi rasa kekakuan yang tercipta.

"Lo apa'an, sih?" tanya Kara sinis.

Aika yang tidak mau keributan itu tercipta segera mengalihkan pembicaraan, ia merasa bersalah jika di hari pertama ia masuk sekolah, malah menjadikan biang keributan di kelasnya.

"Oh ya, Luna mana ya? Tumben dia belum datang." tanya gadis itu.

"Luna gak sekolah hari ini. Kata bokapnya, dia sakit."

"Sakit?" tanya gadis itu panik.

"Biasa saja kali mukanya. Gak pernah lihat orang sakit?" tanya Syara.

Aika mengerutkan kening, "Kalian gak tahu dia sakit apa?" tanyanya kembali.

"Enggak." jawab mereka kompak.

"Palingan dia demam." sambung Andito.

Rasa tidak tenang bersemayam di dalam hati gadis itu, dan cara satu-satunya yang berada di pikirannya, hanyalah bagaimana cara untuk kabur dari sekolah itu. Semenjak gue tahu fakta tentang lo, gue merasa tidak tenang dengan lo. Gue takut, lo duluan pergi sebelum harapan lo terwujud, batin gadis itu.

"Kalian tahu rumahnya?"

"Tahulah, rumahnya gak jauh dari sekolah. Dekat tokoh kue di persimpang tiga." jawab Syara.

"Izini gue, ya! Bilang aja gue belum bisa masuk sekolah hari ini."

"Gila lo!? Mau cari mati, ya? Gimana cara lo bisa kabur? Manjat dinding? lo gak tahu setinggi apa dinding sekolah ini? Tembok Cina pun kalah." seru Keno setengah teriak.

REUNITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang