Tentang Cintaku

1.2K 45 1
                                    

Mungkin orang mengira sudah tidak ada lagi cinta dalam diriku. Mengira aku beku dan sedingin es, bahwa aku tidak pernah merasakan kasih sayang.

Tapi mereka tidak pernah tau, ada cinta yang kukubur dalam. Cinta yang begitu membekas di hatiku. Cinta yang tidak pernah bisa aku lupakan. Cinta yang pernah menghangatkan hatiku. Meski cinta itu sudah lama pergi, dan perlahan pintu itu tertutup, terkunci, terlalu lama hingga kunci itu berkarat, mengurung cinta itu dan membuatnya kaku, beku dan dingin, tapi tidak hilang. Kekakuan itu muncul kepermukaan, itu lah yang mereka lihat. Sampai saat ini belum seorangpun yang bisa membuka pintu yang terkunci dan berkarat itu.

Semua itu berawal dari seseorang yang telah berhasil membuka hatiku untuk pertama kali. Dia masuk, bukan hanya kedalam hatiku, tapi menyusup disetiap nadi dan aliran darahku, dia merasuki setiap saraf, dan menguasai pikiranku. Dan aku masih mengingatnya bahkan setiap detail yang aku alami bersamanya, walau itu sudah bertahun-tahun yang lalu.

Aku bukan orang yang bisa menerima orang lain begitu saja. Meski mereka yang benar-benar mengenalku mengatakan aku orang yang humoris. Aku bukan orang yang terlalu ramah bagi orang yang baru aku kenal, dan aku bukan orang yang terbiasa membagi masalah peribadiku dengan oran lain, aku terbiasa menyimpannya untuk diriku sendiri. Tapi kebiasaan itu telah menjadi kesalahan yang tidak bisa kusesali.

"Ada yang mau kenalan sama kamu." Ica menghampiriku.

"Malas ah, aku udah punya banyak kenalan." Jawabku asal.

"Aduh Nila, kamu emang punya banyak kenalan, tapi kamu bahkan nggak ingat mereka, kalau ketemu lagi kamu akan bingung sendiri karena kamu nggak tau mereka. Lagian apa salahnya nambah teman."

"Aku malas Ca. Paling sama aja kayak yang udah-udah, belum apa-apa udah berani bilang sayang, padahal nama asli aku aja mereka nggak tau."

"Nilaa, yang ini tu beda."

"Beda apanya. Maksud kamu dia udah manggil aku sayang bahkan sebelum kenalan, gitu."

"Susah ya ngomong sama kamu."

"Kalau gitu nggak usah ngomong."

"Gini deh, aku janji ini yang terakhir. Cuma kenalan aja, dia udah dari dulu mau kenalan sama kamu, tapi kamunya ngeles mulu. Abis itu terserah kamu mau kamu apain juga, dan aku nggak akan maksa-maksa kamu lagi buat kenalan sama siapa aja, aku janji."

Aku hanya diam, tidak menanggapi kata-kata Ica, kembali sibuk dengan novelku yang sempat tertunda.

"Hai."sebuah suara yang belum kukenal membuatku terpaksa mengalihkan perhatian lagi.

Aku menengadah, melihat asal suara itu, yang tersenyum kepadaku, dan Ica juga tersenyum disampingnya. Aku tau Ica sudah bertindak sendiri, menganggap diamku sebagai jawaban 'iya', dasar Ica. Dan dengan malas aku membalas senyumnya.

"Hai." Balasku.

"Aku Miko."

"Nila."

"Susah banget ya buat kenalan sama kamu, butuh perjuangan juga."

'Akan butuh perjuangan yang lebih berat lagi kalau kamu tidak berhenti disini.' Tapi aku hanya mengucapkan kata itu dalam hati, sebagai balasan untuknya aku hanya tersenyum.

Mungkin perkiraanku salah, Miko tidak menyerah. Ica benar, dia beda. Miko tidak menyerah mengahadapi aku yang tidak bisa dibilang simpati, dia bisa mengatasi aku yang bersikap cuek, dan Miko bisa menciptakan kedekatan. Aku mulai merasa nyaman dengannya, bercerita tentang apa saja, tapi aku selalu menghindar dari masalah perasaan. Meski aku mulai menyadari ada yang berdetak lebih keras dihatiku saat bersama Miko, yang belum pernah aku rasakan sebelumnya. Aku merasa ada sesuatu yang asing masuk kedalam tubuhku, dalam setiap pori-porinya.

Just Short StoriesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang