Memeluk Bulan

1.1K 29 0
                                    

Kau bukanlah untukku

meski ku tau ku menyayangimu

cinta tak mungkin terjadi diantara kita berdua

 

dirimu kini telah bersamanya

begitu pula aku telah memilikinya

 

kini ku sadari semua ini tak mungkin

dapat terwujud dalam kisah kasih kita

kini ku mengerti tulus cinta ini

hanyalah mimpi panjang yang tak pernah usai

karena 'tuk bersamamu

bagaikan berharap memeluk bulan

(Rossa, Memeluk Bulan)

 

Mendengar lagu itu yang kuputar secara acak dari daftar laguku mengapa terasa begitu­­­­—begitu mengena.  Aku buru-buru mematikannya. Bagaimana aku harus mengatakannya. Karena apa yang diungkapkan lagu itu tepat seperti apa yang aku rasakan saat ini, sebuah kisah yang beum tuntas tapi jelas tidak lagi bisa bersama. Hanya saja perasaan itu mengganguku. Andai aku bisa mengabaikannya begitu saja, semuanya pasti akan lebih mudah.

Aku memikirkan lagi semuanya. Saat ini aku punya seorang lain yang menemaniku,tempatku berbagi perasaan. Tapi disisi lain aku masih saja memikirkan seorang lain dari masa laluku, sekuat apapun aku berusaha untuk melupakannya. Aku merasa seperti penghianat, tapi perasaan tidak bisa dipaksakan atau dibuat-buat. Bukan maksudku untuk menghianatinya, bukan berarti perasaanku saat ini padanya hanya kepura-puraan, hanya pelarian, karena kenyataannya aku benar menyayanginya.

Sesuatu yang belum tuntas ini jelas menggangguku. Sekuat apapun aku mengabaikan dan berusaha melupakannya, itu tidak pernah berhasil. Dan aku takut itu akan mengganggu hubunganku saat ini nantinya. Aku tidak pernah menginginkannya. Tidak ada cara lain selain menyelesaikannya, menghindarinya jelas tidak berhasil selama ini. sekali saja, hanya untuk sekali saja, aku menyakinkan diriku sendiri. Aku tidak menghianati siapapun, aku hanya ingin menuntaskan karena tidak ingin perasaan ini akan menjadi penghalang nantinya. Meyakinkan diri sekali lagi, aku meraih ponselku dan mencari nomor kontaknya. Jantungku berdegup keras seiring nada sambung yang terdengar dari ponselku. Ingin sekali aku menekan tombol merah itu dan mengakhiri saja. Tapi tidak, aku tidak boleh bersikap seperti pengecut lagi, aku harus menghadapinya.

"Halo." Jantungku seperti melonjak saat mendengar sapaan darinya.

"Maaf mengganggumu. Ada yang ingin aku bicarakan, hubungi aku kapan kamu punya waktu, terima kasih." Aku bicara hampir tanpa jeda lalu segera memutuskan hubungan telpon tanpa menunggu tanggapan darinya.

Tidak lama ponselku berdering, nomor yang sama dengan yang baru saja aku hubungi. Pasti dia bingung dengan sikapku, dalam hati aku merutuki diri sendiri. Aku memandangi ponselku yang masih berkelap-kelip menunggu untukku menjawab panggilan itu. ragu aku mengangkatnya.

"Ya." Kataku lirih.

"Hei, ada apa ?. suaramu terdengar kaku dan—gugup, benarkah ?. apa yang ingin kamu bicarakan ?."

"Aku tidak bisa bicara di telpon, aku perlu bertemu langsung."

"Baiklah, aku punya waktu siang ini, bagaimana ?. Makan siang bersama ?."

"OK." Jawabku, setelah dia menyebutkan tempat kami akan bertemu, kemudian langsung mematikan ponsel yang sudah basah itu. tanganku terasa dingin, penuh keringat. Hanya telpon saja, dia sudah berhasil membuatku sport jantung.

Just Short StoriesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang