Namaku Desember

1.2K 45 3
                                    

Namanya Desember, tapi orang-orang lebih mengenalnya dengan nama Dee. Dia adalah gadis manis berusia 16 tahun. Dee tinggal di panti asuhan Sinar Kasih. Dee tidak pernah tau bagaimana dia bisa ada di sana. Yang dia tau ketika dia mulai mengingat dia sudah ada di sana. Dee pun tidak pernah menanyakannya. Bagi Dee semua yang ada di panti asuhan itu adalah keluarganya. Dia menyayangi mereka semua, begitupun mereka sangat menyayangi Dee. Bunda, kepala panti, bagi Dee perempuan itu adalah ibu sekaligus ayah untuknya. Pengurus-pengurus panti buat Dee adalah keluarganya, dan semua anak-anak yatim lain yang tinggal di panti itu adalah adik-adiknya. Dee memang yang paling tua di antara mereka.

Dee tidak pernah menonjolkan dirinya. Dia adalah pribadi yang tertutup, pendiam, lebih suka menyendiri. Dee selalu menutup dirinya. Dee adalah orang yang suka berdiam di sudut dan tidak diperhatikan orang lain. Mungkin itu sebabnya tidak ada yang mengadopsinya, sehingga Dee menjadi anak tertua di panti itu. Sementara teman-temannya yang dulu ada di panti sudah mendapat orang tua angkat. Tapi, itu tidak membuatnya sedih. Dee senang tinggal di sana, panti itu adalah rumahnya dan semua yang ada di sana adalah keluarganya.

Desember adalah bulan ketika Dee ditemukan, dan juga kata yang tertulis di kalung yang di genggam erat bayi mungil itu 16 tahun lalu. Dee tidak pernah tau lebih dari itu. Dia tidak perduli bagaimana dia bisa ada di panti, apa yang ada saat ini adalah apa yang dia miliki, dan itu lah kehidupannya sekarang. Tidak perduli seperti apa dan bagaimana masa lalunya.

Hari ini Dee masuk ke sekolah barunya. Dia pindah dari sekolah lamanya karena mendapat beasiswa atas prestasi akademisnya. SMA Victoria, kalau bukan karena beasiswa bermimpipun Dee tidak sanggup untuk sekolah di sana. Tidak ada satu orangpun yang tidak tau sekolah itu. Salah satu sekolah termewah dan termahal di kotanya. Yang isinya hanya anak-anak pejabat dan pengusaha, karena hanya orang-orang seperti mereka yang sanggup mengeluaran uang sebanyak itu hanya untuk sekolah.

Dee melangkahkan kakinya memasuki gerbang sekolah barunya dan langsung disambut halaman sekolah yang sangat luas. Jauh berbeda dengan sekolahnya yang dulu. Pelataran parkir yang lebih di penuhi mobil dari pada motor, dan bangunan besar dan mewah yang berdiri angkuh di depannya. Dee merasa agak kecil menghadapi apa yang ada di depannya, walau dia tau dia telah dijamin sekolah di sana, mulai dari biaya sekolah hingga semua yang menunjang kepentingan sekolahnya. Dee menarik nafas panjang untuk mengembalikan kepercayaan dirinya. Beberapa pasang mata memperhatikannya, saat menyadari ada wajah baru di sekolah mereka. Dee mengabaikannya dan melangkah pergi.

"Silahkan perkenalkan diri kamu." Bu Farida, wali kelas baru Dee mempersilahkannya.

"Nama saya Desember, tapi biasa dipanggil Dee."

"Desember ?, bukannya sekarang masih bulan Juli." Celetukan itu langsung disambut tawa yang lain, Dee berusaha mengacuhkannya.

"Saya pindahan dari SMA Cempaka."

"Oh, sekolah gembel. Kok bisa nyasar ke sini." Dan kembali kelas menjadi gaduh.

"Tenang anak-anak, tenang." Bu Farida berusaha menenangkan kelas. "Dee ini mendapat beasiswa atas prestasi akademisnya.silahkan duduk Dee." Katanya mempersilahkan Dee.

"Gembel, jangan pernah mimpi. Selamanya itik nggak akan pernah jadi angsa." Mungkin hanya Dee yang mendengar kata-kata itu.

Dee melihat ke asal suara itu, seorang cewek yang walaupun dengan seragam sekolah terlihat modis, menatap sinis padanya. Dee bisa merasakan suasana yang tidak bersahabat. Memang beginilah mereka, pikir Dee. Anak-anak orang kaya yang menganggap dunia hanya milik orang-orang yang punya uang. Sementara orang miskin hanya dianggap debu yang mengganggu pandangan mereka. Dee sudah biasa menghadapinya. Orang-orang yang memandangnya sebelah mata, hanya karena dia tinggal di panti asuhan. Tapi buat Dee itu bukan hal yang buruk, dia memang tinggal di panti asuhan, tapi dia punya orang-orang yang menyayanginya. Sedangkan mereka yang menganggap punya segalanya, justru sebenarnya tidak punya apa-apa. Dan itu kadang membuat Dee merasa kasiahan.

Just Short StoriesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang