Setelah Air Mata Mengering

952 37 3
                                    

Aku tidak pernah bisa menangis lagi, airmataku kering sudah. Air mata itu mengkristal, mengeras begitupun hatiku. Sementara luka perih masih berdarah di hati yang telah mengeras. Luka yang berusaha aku sembunyikan dari setiap orang.

Aku beranjak dari beranda masuk ke dalam rumah, yang aku sendiri tak yakin masih layakkah disebut rumah. Bangunan sempit  yang telah miring tak lagi kokoh tegaknya, dengan dinding penuh tambalan, dan bila hujan kami duduk berkumpul di sudut agar tidak basah ditimpa air hujan, karena atapnya pun yang hanya terbuat dari daun rumbia telah remuk dimakan rayap dan waktu. Aku menuju dapur, ku lihat Emak tengah sibuk memasak, entah apa yang disulap Emak agar bisa mengganjal perut-perut lapar kami, sementara aku tau sudah lebih seminggu tidak ada sebutirpun beras di rumah ini.

Bagiku emak adalah wanita yang sangat mengagumkan, jauh lebih hebat dari wanita-wanita atau orang-orang yang disebut-sebut hebat  dan diagung-agungkan, karena mereka tidak merasakan apa yang Emak rasakan, mereka tidak mengalami apa yang Emak alami. Emak begitu sabar dan tabah menghadapi hidup yang begitu sulit. Tidak sedikitpun ku dengar keluh Emak meski hidup ini tidak bisa dibilang membahagiakannya. Mungkin jika orang lain, atau aku sendiri menjadi Emak, pastilah sudah terpikir untuk menenggelamkan diri di sungai, biarlah gembung oleh air, atau lesap ditelan buaya. Tapi, Emak tidak. Emak tetap tabah, dan dari Emaklah aku belajar untuk tetap bertahan meski angin dan badai begitu keras menderaku.

Dulu hidup kami tidak seperti ini, meski tidak bisa dibilang lebih, tapi masih pantas disebut cukup. Setidaknya kami tidak harus pusing memikirkan apa yang akan kami makan nanti. Ayah bekerja keras mengolah tanah sepetak yang tidak begitu luas, tapi cukup menghidupi kami dan juga membiayai sekolahku dan adik-adikku.

Masihku ingat senyum manis Emak dan Ayah yang duduk di beranda melihat kami bermain kejar-kejaran di halaman petang-petang hari. Suara tawa tidak pernah lepas dari telingaku, tawa renyah tanpa beban itu, bersuka hati. Dan ketika hari mulai gelap, Emak akan bersusah payah menghalau kami agar segera mandi, dan tawa tetap tak lepas dari mulut kami.

"Nai, cepatlah kau bawa adik-adik tu mandi, hari dah pun mulai gelap." Perintah Ayah padaku sambil berdiri dan masuk ke dalam rumah.

Kalau sudah begitu aku akan langsung menggiring adik-adikku untuk mandi, tak perlu Ayah perintah dua kali.

Malamnya kami berkumpul mengelilingi hidangan yang telah disiapkan Emak. Hidangan itu tidaklah mewah, hanya goreng ikan sungai diberi sambal dan sayur daun ubi yang dipetik Emak dari belakang rumah serta kerupuk sebagai pelengkap, sementara Ayah lebih suka menggigit pucuk-pucuk kayu dari hutan yang dipetiknya tadi siang sebagai ulam dan merangkap sebagai sayur juga.

Enam orang menghadapi hidangan sederhana itu, aku dengan ketiga adikku serta Emak dan Ayah makan dengan lahap. Tapi suasana malam itu sedikit terganggu dengan ketukan di pintu dari luar. Siapa kira-kira yang datang malam-malam begini.

"Pak Cik, dipanggil Pak Ngah Alim ke rumahnya. Katanya penting." Ternyata Bang Eman yang datang, tampak napasnya terengah-engah.

"Apa pasal Man ?. sampai Ngah Alim menyuruh datang malam-malam ni."

"Tak tau lah Pak Cik. Baik Pak Cik langsung ke sana."

Ayah meninggalkan makannya yang belum selesai dan bergegas pergi. Dalam hati aku bertanya, apa yang terjadi ?.

Ngah Alim, yang aku panggil Pak Ngah adalah kakak Emak. Walaupun begitu Ngah Alim dan keluarganya tidak begitu dekat dengan kami. Hidup Pak Ngah jauh lebih baik dari kami, dia punya harta melimpah, tanah berhektar-hektar, yang kata Emak tak tau dari mana asal. Tapi, Emak tak pernah memusingkannya. Emak selalu bilang 'biarlah, asal jangan mengganggu kita'. Pak Ngah tuan tanah yang kaya, tapi tak pernah tergerak hatinya untuk membantu keluarganya yang kurang mampu.

Just Short StoriesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang