Marriage is about love, not gender
"KIM MINGYUUUUU!!!"
Aku mematung menyaksikan ekspresi wajah Wonwoo-hyung yang tampak benar-benar marah padaku. Ya, aku tahu. Wajar ia bertingkah seperti ini. Wajar ia marah besar padaku bahkan sampai meninjuku seperti barusan. Aku bisa merasakan ujung bibir kananku basah sekaligus perih. Ini pertama kalinya ia berlaku kasar padaku. Ternyata jika ia marah, dia bisa lupa diri seperti barusan.
"Bisa kau ulangi sekali lagi apa yang sedang kau bilang barusan?" bentaknya melotot tajam padaku.
Aku menundukkan kepalaku. Kujatuhkan diriku duduk di sisi tempat tidur. Wonwoo-hyung mengerang kesal. Ia mengacak rambutnya sendiri dengan geram, membuat wajah pucatnya memerah. Seakan-akan seluruh darahnya sedang mengalir ke kepalanya, tentu saja karena emosinya yang saat ini sedang menyulut besar.
"Aku... ingin kau menuruti permintaan ibumu, hyung..." jawabku lemas. "Menikahlah dengan Yoo Hana ..."
Ia terlihat semakin marah. Mata sipitnya membesar karena tak percaya jika aku benar-benar mengatakannya lagi, "Aku tidak mungkin menikahinya... Aku hanya akan menikah dengan orang yang aku cintai..."
"Tapi ibumu hanya ingin kau menikah dengan..." aku memutuskan kalimatku karena tak kuat untuk melanjutkannya, "...wanita..."
[ Dua hari yang lalu... ]
Wonwoo-hyung merangkulku memasuki restoran mewah yang kami kunjungi malam ini. Di tanganku, aku membawa sepaket bunga yang aku beli sendiri. Untuk siapa? Tentu saja untuk ajummeoni, ibu Wonwoo yang sedang berulangtahun malam ini. Aku memang tak akan pernah ketinggalan untuk memberikan hadiah kepadanya. Dia adalah wanita yang sudah kuanggap sebagai ibuku sendiri.
"Mingyu-ya... aku akan ke toilet, tiba-tiba perutku sakit. Kau... cari eomma dan katakan padanya kalau aku tidak akan lama, eoh?" aku mengangguk menuruti permintaannya. Ia mengacak rambutku, lalu melemparkan senyuman kepadaku.
Aku melirik ke sekeliling meja di dalam restoran bintang lima ini. Di ujung kanan, seorang wanita paruh baya melambaikan tangannya kepadaku. Ajummeoni? Gumamku sambil melemparkan senyum kepadanya. Tapi, begitu aku menyadari jika dia tidak sedang sendirian, tiba-tiba senyumku menyurut. Wanita di sampingnya... kenapa dia hadir malam ini?
"Di mana Wonwoo, Mingyu-ya?" tanya ajummeoni menyambutku.
"Dia sedang ke toilet sebentar..." jawabku. Aku pun memberikan sepaket bunga yang telah aku siapkan kepadanya, "Saengilchukkahamnida, Ajummeoni..."
"Gomawo..." ajummeoni melemparkan senyum kepadaku. "Ah, kau sudah mengenalnya bukan? Dia Yoo Hana... teman Wonwoo yang baru kembali dari Indonesia..."
Aku menganggukkan kepalaku kikuk. Yoo Hana tersenyum padaku. Tentu saja aku mengenalnya. Dia adalah wanita yang dijodohkan dengan Wonwoo-hyung. Tapi Wonwoo-hyung tidak pernah setuju dengan perjodohan itu. Wonwoo-hyung selalu benci dan marah jika ia mendengar nama Yoo Hana, sekalipun itu keluar dari mulutku.
"Ajumma, aku akan mengangkat telepon sebentar, eoh?" kata Hana lalu pergi dari meja meninggalkan aku dan ajummeoni berdua. Selama beberapa detik suasana di antara kami hening, sampai akhirnya ajummeoni menemukan topik pembicaraan untuk kami.
"Dia sangat cantik bukan, Mingyu-ya?"
"Ne?" gumamku sedikit terkejut.
"Yoo Hana... bukankah dia sangat cantik?"
Aku tersenyum kikuk, "Ya... dia cantik..."
"Dan aku sangat berharap Wonwoo secepatnya menyadari jika Hana adalah pasangan yang tepat untuknya..."
Deg!
Bibirku tiba-tiba membeku begitu aku mendengar pernyataan ajummeoni barusan. Hatiku terasa ngilu. Kalimat singkat yang seakan-akan telah menjadi sebuah panah yang menusuk tepat ke ulung hatiku.
"Mingyu-ya..." panggilnya. Tangan ajummeoni meraih dan menggenggam kedua tanganku. Sorot matanya yang penuh kelembutan menatap tepat ke kedua bola mataku, membuat hatiku tiba-tiba merasa iba padanya. "Kau sudah kuanggap seperti putraku sendiri... kau juga sudah lama bersama dengan Wonwoo... Wonwoo selalu mendengarkan perkataanmu... tidak bisakah kau memintanya untuk segera menikahi Hana?"
*************
Begitu pintu gereja terbuka, sorotan mata seluruh hadirin yang ada di dalam gereja tersebut tertuju tepat ke arah seorang pria bertuksedo mewah. Jeon Wonwoo, ia berjalan dengan gagah menuju ke mimbar pemberkatan. Matanya menatap lurus ke depan, tak sedikitpun melirik para hadirin yang terpesona dengan ketampanannya. Ekspresinya dingin. Bertolak belakang dengan semua orang yang bersukacita melihatnya. Ini hari pernikahannya, bukankah dia seharusnya tersenyum?
Langkah kakinya berhenti tepat di depan mimbar, di mana pendeta yang akan memberkati pernikahan ini sudah menunggu. Ia berbalik, saatnya menantikan pengantin perempuan yang akan menikah dengannya. Mataku tak sedikitpun beralih darinya. Entah kenapa yang ingin aku lihat saat ini hanyalah dirinya. Mungkin hatiku sadar jika sebentar lagi, waktuku bersama Wonwoo-hyung tidak akan seperti dulu. Bahkan besar kemungkinan jika aku tak akan bertemu lagi dengannya.
Tak lama kemudian, alunan piano mengantarkan seorang pengantin perempuan yang baru masuk. Di saat itulah, Wonwoo-hyung menoleh ke arahku.
"Jadi... ini yang kau inginkan? Membiarkanku berdiri di sini bersama dengan orang lain?
"Ini yang terbaik untukmu, untuk kita..."
"Kurae. Aku hanya ingin bilang jika aku melakukan ini, adalah karenamu... karena kau yang menginginkannya..."
Aku melemparkan senyuman kepadanya. Ia membalasku dengan matanya yang berkaca-kaca. Dia sedang menahan tangisnya. Aku tahu itu, karena itu juga yang sedang aku lakukan. Mataku lembab. Berkali-kali aku menarik nafas panjang agar mereka tidak mengeluarkan sesuatu yang bisa menghancurkan upacara pernikahan hari ini. Tak mungkin kan aku menangis di tengah orang-orang yang sedang berbahagia?
Aku tahu apa yang sedang dirasakan Wonwoo-hyung saat ini. Kusadari jika saat ini adalah bagian terberat dalam hidupnya. Menikah dengan insan yang sama sekali tak dicintainya. Salah sendiri, kenapa dia mencintai insan yang salah. Kenapa dia mencintaiku, sahabatnya, seseorang yang sama dengannya. Seseorang yang tak akan pernah bisa berdiri di sana, bersamanya.
Tapi ini juga salahku. Kenapa aku juga mencintainya?
Seharusnya dari awal kami menghentikan perasaan kami. Hubungan seperti ini hanya akan membuat hidup kami menderita. Menderita karena cinta yang tak akan pernah bisa bersatu. Perih rasanya. Perih karena menyadari jika pada dasarnya... sebuah cinta sejati hanya boleh tumbuh di antara laki-laki dan perempuan.
END
KAMU SEDANG MEMBACA
Seventeen Love Stories
FanfictionAda banyak cerita cinta yang dialami manusia. Entah itu cerita cinta bertepuk sebelah tangan, cerita cinta jarak jauh, cerita cinta terkhianati, dan lainnya. Fanfiction ini akan mengemas berbagai macam cerita cinta dengan Seventeen sebagai pemeran...