Sorry for typo.
[Nanti baca Intermezzo yang dibawah ya]******
Kami kompak untuk diam tak bersuara. Aku bergeming dan ia yang mengajakku duduk menikmati senja kelabu dengan secangkir kopi pun ikut serta.
Sejak kami tiba di kedai kopi ini, ia tergeming, tak menatapku. Sibuk menatapi rintik hujan yang membuat jendela kedai kopi ini menjadi buram. Dan aku sibuk menatapnya dan menata hatiku.
"Aku pikir kamu jadi Ibu Camat," ujarnya memulai obrolan kami. Tetapi ia konsisten tak menatapku.
Aku diam tak menjawab. Membuatnya menengok ke arahku.
"Kenapa diam?"
"Aku nggak ambil IPDN," jawabku singkat. Kulihat ia kembali menyeruput kopinya lalu diletakannya cangkir kopi itu kemudian menatapku dalam.
Kupikir ia akan berbicara setelah meletakan cangkir kopinya itu, tetapi ia hanya diam menatapku dengan sorot mata yang sendu.
Kupandangi mata cokelatnya. Matanya begitu bening hingga aku bisa menangkap refleksiku di dalamnya.
"Kukira kamu nggak akan sudi jemput aku dan ajak aku minum kopi kalau kamu nggak ada maksud lain selain lihatin aku," kelakarku dengan ketus. Kutatap manik cokelat terang itu yang sampai saat ini masih jadi bagian favoritku dari seluruh tubuhnya.
Ia tersenyum. Senyum yang pernah ditunjukannya saat aku dekat dengan Dika saat kami kelas satu SMA. Senyum getir yang aku benci.
"Harusnya saat kamu menyatakan cinta, aku jawab iya saja, ya? Aku bilang aku juga cinta sama kamu dan aku sembunyikan kenyataan bahwa aku akan menikah," ucapnya lirih dan bergetar. Ia menunduk sejenak menatap hitam pekat kopinya, lalu ia dongakkan lagi kepalanya menatapku.
"Harusnya gitu aja ya, Ca. Dengan begitu akan ada kita di kisah ini."
Aku tertawa. Bukan jenis tawa bahagia. Ini jenis tawa paradoks yang berlainan dengan yang dirasa hatiku.
"Kamu pernah dengar tentang jodoh dan maut ditangan Tuhan kan?" kulihat ia mengangkat sebelah alisnya. Keningnya berkerut tanda ia sedang menyimakku dan menanti kelanjutan ucapanku.
"Walau saat itu kamu bilang seperti yang kamu katakan tadi, hal itu nggak akan mengubah akhir kisahnya .... "
"Atau kalau saja saat SMA kita sama-sama bilang cinta dan kita pacaran, itu juga nggak akan mengubah takdir kita. Walaupun kamu awalnya bersamaku ... di akhir, Tuhan akan mematahkannya."
Kulihat ia tertegun. Bahkan aku sendiri pun begitu. Kata-kata itu keluar tanpa aku pikirkan. Begitu mengalir seolah-olah itulah yang kurasa. Walau seyogyanya aku merasa sebaliknya. Aku merasa munafik dengan kata-kataku sendiri.
Aldi tersenyum tipis. Tipis sekali sehingga jika aku tidak melihatnya tepat waktu, maka kukira hanya halusinasi saja.
Ia menatapku dengan manik cokelat terangnya. "Bagaimana kamu tahu kalau dia akan jadi jodohku? Bagaimana jika kurang dari 2 bulan ini ada sesuatu yang mengakibatkan kami tidak jadi menikah? Atau bagaimana jika kami tetap menikah tetapi dalam perjalanan pernikahan itu kami bercerai?"
Aku tersentak saat mendengar rentetan kalimat itu. Apa yang barusan dibicarakannya?
"Menerutmu apa definisi jodoh itu? Apa kamu kira kalau aku menikah dengan Melody aku berjodoh dengannya? Bagaimana jika kami bercerai lalu aku menikahi kamu setelahnya? Siapa jodohku sebenarnya?"
Aku menatapnya sengit. "Dan kamu mau perjalanan cintamu seperti itu?" tanyaku tajam.
"Kalau harus berakhir denganmu, kukira aku berkenan menerimanya," sahutnya santai, bahkan sangat santai. Seolah-olah itu adalah hal lumrah.
KAMU SEDANG MEMBACA
Jannisa
General FictionJannisa Nasution (24 tahun) mencintai Achmed Aldino Riyadh sendirian selama 6 tahun hidupnya. Mencintai sahabat sendiri. Terdengar klise. Sampai di suatu ketika Jannisa berani mengatakan keresahan hatinya. Apakah kisah ini akan seperti dongeng disne...